6. Jaya

17 4 0
                                    


Saat ini Rumi tengah berada di koridor kelas sebelas yang lumayan sepi. Hanya ada segelintir orang yang berkeliaran. Pasalnya jam belajar masih berlangsung. Lalu kenapa Rumi berada di sana?

Hari itu pelajaran seni budaya berlangsung. Materi kali ini adalah menggambar. Guru seni mereka mempersilahkankan mereka untuk keluar kelas untuk mencari objek yang ingin mereka gambar. Rumi sengaja melarikan diri dari teman-temannya. Moodnya sedang tidak bagus, ia ingin sendiri. Jadi saat semua berbondong-bondong menuju taman, Rumi memilih ke arah sebaliknya.

Cewek itu mengedarkan pandangannya mencoba mencari objek yang menarik dan mudah untuk digambar. Tak jarang dia mengintip kelas-kelas yang ia lewati. Tapi nihil. Tidak ada yang menarik baginya. Hingga akhirnya tungkai kakinya membawa dia ke dalam perpustakaan. Rumi langsung memilih duduk di bangku dekat jendela lalu mengamati lingkungan di luar sana. Fyi, Perpustakaan ini terletak di lantai dua tepat di atas kelas sebelas.

Matanya mengamati ke luar jendela sedangkan pikirannya tengah fokus membayangkan sketsa yang hendak ia buat dan bagaimana ia dapat mengarsirnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Rumi ketika ia tengah berpikir, tangannya tidak akan diam. Ia akan mengetukkan tangan ke meja atau memutar-mutar alat tulis di tangannya seperti yang dia lakukan kali ini pada pensilnya.

Asik memutar-mutar pensilnya, ia tidak sengaja malah menjatuhkannya. Ia menunduk untuk mengambilnya. Namun, belum sempat ia meraihnya seseorang malah mengijak pensil tersebut. Rumi mendongak untuk melihat siapa pelakunya dan mendapati seorang cowok yang cukup familier. Wajahnya seperti blasteran dan cukup tampan. Kulitnya putih, hidungnya mancung dan bibirnya sedikit tebal.

Setelah menyadari telah mengijak sesuatu langsung mengambilnya dan mengembalikan benda itu pada Rumi.

"Sorry," ungkapnya.

Rumi hanya berdehem ringan. Ia kembali menerima pensilnya. Tak lagi memusingkan keberadaan lelaki itu, Rumi mulai menggoreskan pensil itu membentuk objek yang ia inginkan. Suara deritan kursi yang ditarik di depannya. Cowok tadi duduk tepat di depan Rumi. Tetapi Rumi acuh dan tidak memperdulikannya.

Keadaan hening. Baik Rumi maupun cowok itu fokus pada urusannya masing-masing. Setelah beberapa menit goresan pensil telah membentuk suatu pemandangan indah. Walaupun hanya diarsir oleh pensil, hasilnya masih tampak baik. Yah, tidak terlalu sempurna sih tapi layaklah untuk mendapat nilai rata-rata.

Setelah melakukan finishing pada gambarnya Rumi meregangkan badannya yang cukup pegal karena menunduk cukup lama. Ia memerhatikan jam dinding di perpustakaan itu. Masih ada lima belas menit sebelum jam yang ditentukan gurunya untuk mereka kembali. Masih ada cukup waktu untuk dia bersantai.

Mata Rumi tidak sengaja memandang cowok didepannya. Cowok itu terlihat sangat amat fokus. Tangan kirinya mengangkat kertas hvs a4 yang Rumi yakini sebagai soal dan tangan kanannya sibuk menulis. Wajahnya tertup kertas itu awalnya.

Tanpa sadar Rumi terus memperhatikannya. Saat cowok itu selesai mengerjakan persoalan itu, kertasnya di turunkan lalu Rumi bisa melihat cowok itu tersenyum. Rumi seketika panik. Bukan. Ini bukan karena ia dipergoki karena telah lancang memandanginya bukan juga karena senyuman itu begitu mempesona. Tetapi karena cairan merah yang mengalir keluar dari hidung cowok itu.

"Hidung lo,"

Mendengar hal itu cowok itu menyentuh hidungnya, ketika tangannya terdapat noda merah ia buru-buru mendongak dan menutup hidungnya dan berharap darah itu berhenti keluar. Rumi buru-buru mengeluarkan tisu dari sakunya dan beranjak membantu cowok itu menghentikan darahnya.

"Masih kuat jalan ke UKS?" tanya Rumi.

Cowok itu menggeleng. "Ga perlu."

Rumi berdecak kesal. Bagaimana bisa dia bilang tidak perlu ke UKS. Tetesan darahnya bahkan sampai mengenai seragamnya cukup banyak. Rumi mencoba memaksanya, ia juga memanggil petugas perpustakaan namun sayangnya petugas itu tidak ada di tempat dan cowok itu masih enggan untuk pergi.

Harsa RumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang