Heart

13.6K 897 88
                                    

Disclaimer : Nama tokoh, waktu ataupun tempat semua hanya untuk kepentingan cerita, do not bring the story into real life 💚









.






Malam baru saja menyapa menggantikan senja. Lampu-lampu jalan maupun penerangan lainnya mulai dinyalakan, menerangi pengguna jalan dan menghalau kegelapan. Haechan berlari kecil menuju ruang ICU. Pasien berusia di bawah dua belas tahun yang berada di dalam Intensive Care Unit diperbolehkan untuk ditemani oleh salah satu dari orangtuanya. Haechan sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian khusus yang telah disediakan untuk memasuki ruang ICU, namun ketika Haechan sedang membuka pintu, bahunya disentuh seseorang.

Haechan mendapati suaminya, Mark yang juga sudah berganti pakaian di ruangan lain. Tampaknya Haechan harus berebut dengan Mark agar dapat menjaga Chenle. Haechan menepis tangan Mark yang masih bertengger di bahunya.

"Aku yang akan menemani Chenle di dalam. Kau di luar saja, Jung."

Haechan berbalik lalu melanjutkan membuka pintu ruang ICU, namun lagi-lagi bahunya ditahan oleh Mark. Haechan berdecak kesal, menoleh kepada Mark yang terlihat sedikit berantakan.

"Apa maumu, Jung? Setelah hal keji yang dilakukan calon istrimu pada Chenle, kau masih punya muka untuk datang kemari? Atau bahkan, mungkinkah Yeri merencanakannya bersamamu, Jung?"

"Watch your words, Haechan."

Haechan menatap nyalang pada Mark, tidak takut sama sekali. Mark sendiri menilik lamat wajah Haechan, matanya jelas sembab karena habis menangis.

"Biarkan aku masuk. Aku yang paling berhak bersama Chenle saat ini. Oh, satu lagi, tunggu saja aku akan memenangkan hak asuh Chenle nanti! Tidak akan kubiarkan Chenle tumbuh bersama para penghuni neraka seperti kalian."

"Haechan... dengarkan.."

"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Bukankah sudah pernah kubilang bahwa Haechan Suh sudah tidak ada lagi? Menyingkir dariku, Jung."

Mark memilih melepaskan tangannya dari bahu Haechan dan melangkah mundur. Mempersilahkan Haechan untuk masuk ke dalam ruang ICU, mempertemukan Haechan dengan Chenle yang masih belum menunjukkan tanda untuk sadar, walaupun tanda vitalnya sudah normal kembali. Mark memperhatikan dengan seksama dari balik kaca besar ruang ICU, bagaimana Haechan membelai, mengelus Chenle dengan lembut dan mengusap air matanya sendiri.

Mark meragukan dirinya sendiri. Kasus Chenle benar-benar membuat seorang Mark Jung berada di perbatasan persimpangan. Jika awalnya Mark yakin untuk berjalan lurus ke depan, kini hatinya goyah untuk berbelok. Mark tidak mau gegabah, Chenle adalah cucu Jung yang sah dan diakui oleh kedua orangtuanya, dan Mark harus memastikan jika Chenle memiliki ibu sambung yang akan melimpahinya dengan kasih.

Yeri mematahkan semua asumsi dan persepsi Mark. Apa yang Yeri lakukan pada Chenle benar-benar mengikis habis perasaan cinta Mark. Mark memegang dadanya, memejamkan mata berusaha mengingat kembali momen betapa jantung miliknya berdegup dan berdetak begitu kencang kala dihadapkan dengan Chenle yang sedang meregang nyawa. Mark tidak akan pernah bisa melupakan sensasi mengerikan tersebut.

The worst feeling ever.

Mark melihat Haechan yang keluar dari ruang ICU dengan sedikit tergesa, menuju kamar mandi yang berada tepat di depan lorong ruang ICU sambil menutup mulutnya dan meremat perut. Mark mengernyit kala telinganya mendengar suara erangan dari toilet. Mark memutuskan untuk mengikuti Haechan dan benar saja, Haechan sedang terduduk di depan kloset dan memuntahkan isi perutnya.

"Hhhhhaa.."

Haechan tampak menarik nafas namun muntahnya masih berlanjut hingga hanya cairan bening yang keluar dari bibir plum Haechan. Haechan menutup kloset lalu menekan flush, kemudian duduk di atasnya sambil menengadahkan kepalanya. Tetesan keringat mengalir dari kening menuju ke leher. Muntah memang selalu menyakitkan, percayalah.

HEAVEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang