Sepertinya emosi kali ini tidak bisa Rebecca biarkan, Jovan bukanlah apa-apa, tak pantas Rebecca kecewa pada Jovan, pada dasarnya sedari dulu pun Jovan memang sudah berulang kali membuatnya marah dan kesal.
Setelah melempar tas selempangnya Rebecca bergegas untuk kedapur mencari bahan untuk ia masak, karena ia sudah mulai merasa lapar. Namun ternyata dapurnya tak ada apapun. Terpaksa ia harus keluar untuk mencari makan di daerah terdekat.
Namun, baru saja Rebecca melangkah keluar, matanya menangkap sosok yang sangat dikenal di koridor gedung. Bara, lelaki yang selama ini menghantuinya, berdiri sekitar 15 meter dari tempatnya berdiri, nampak hendak membuka pintu kamar nomor 166. Saat mata mereka bertemu, Bara terlihat terkejut, seolah baru menyadari keberadaan Rebecca.
Rebecca berhenti sejenak, perasaannya campur aduk dan kebingungan. Bara segera menghampirinya dengan langkah terburu-buru dan bertanya dengan nada acuh tak acuh namun peduli, "tadi kemana,? gue cari ngga ada."
Dengan nada malas, Rebecca menjawab, "sibuk"
"Terus sekarang mau kemana,?"
"Keluar"
Bara menghela nafas dan menawarkan untuk mengantar Rebecca, namun Rebecca dengan cepat menolak tawaran tersebut. Ia merasa terlalu lelah untuk menghadapi kehadiran Bara lebih dekat lagi. Dalam upaya untuk mengalihkan perhatian, Rebecca bertanya, "tinggal di Interlace juga?"
Bara mengangguk. "Biar deket sama calon istri gue sih"
Rebecca tersenyum kaku, merasa campur aduk antara rasa senang dan kesedihan. "Ohh,, udah mau nikah, selamat ya"
Bara mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Namun, ia menambahkan, "tapi sebenernya gue belom ngelamar calon istri gue sih, lo mau bantuin ngga,?"
Rebecca terdiam sejenak, hatinya bergetar mendengar permintaan itu. Dia berusaha keras untuk menahan air matanya, "gue sibuk, ngga punya waktu buat ngurusin urusan orang" jawabnya acuh kemudian akan pergi meninggalkan Bara.
"Ca!" Tangan Bara menahan lengan Rebecca detik itu juga matanya melirik ke arah tangan Bara. Tangan Bara penuh dengan luka, memar, dan sedikit bercak darah yang mengering. Tanpa berpikir panjang, Rebecca bertanya, "tangan lo kenapa,?" Tanya Rebecca berusaha tak perduli.
Bara hanya menjawab dengan datar, "cuma luka bakar." Jawabnya kemudian memasukkan tangannya ke kantung celana.
Rebecca merasa tidak puas dengan jawaban itu dan merasa dorongan untuk membantu. "Ayo gue obatin!" katanya dengan nada ketusnya.
Bara tampak sedikit lega mendengar tawaran Rebecca dan mengajak Rebecca ke kamarnya. "Heran orang-orang pada kenapa sih hari ini, pada ngga becus jaga diri?" Gumamnya setelah mengingat 2 jam lalu ia juga sempat mengobati Jovan yang sialan itu.
Saat mereka berada di dalam kamar, Rebecca dengan cermat membersihkan dan merawat luka-luka Bara. Sementara ia mengobati, ia berkata, "Ini bukan luka bakar, lo mau bohongin gue?"
Bara menghela napas panjang. "Apasih,? Penting banget ya ini luka apaan,?"
"Ya lo ngga becus banget sih buat jaga diri,? Sampe bisa kaya gini, ini kulitnya kelupas gini" marah Rebecca kesal.
"Yang penting gue bisa jagain lo!" Timpalnya
"Gue bisa jaga diri!" Katanya terus mengobati. Setiap gesekan tangan yang penuh luka itu membuat Rebecca merasa semakin dekat dengan Bara dalam cara yang aneh—sebuah pengingat bahwa meskipun banyak yang telah berubah, masih ada sisa-sisa dari hubungan mereka yang sulit diabaikan.
Dalam keheningan ruangan itu, Rebecca merasakan campuran rasa sakit dan kepedihan yang mendalam. Ia mengobati luka-luka Bara dengan hati-hati, berusaha menutup rasa sakit emosional yang menggelora di dalam dirinya sendiri.
"Lo masih sayang sama gue ngga,?" Tanya Bara memecahkan keheningan yang terjadi beberapa menit.
Rebecca yang selesai membungkus luka Bara menggunakan perban itu segera melepaskan tangan Bara dan berpamitan.
"Gue duluan!" Kata Rebecca, namun belum genap Rebeca melangkahkan kakinya Bara sudah menariknya hingga terjatuh di pangkuan Bara.
Keempat mata itu kini bertemu dan saling pandang satu sama lain, keduanya menciptakan jarak sesempit mungkin dan sangat intim. Rebecca perlahan hanyut dalam tatapan mematikan Bara yang sangat ia rindukan.
Bara memangkas perlahan jarak wakahnya dengan jarak wajah Rebecca. Tangannya menyentuh pipi lembut Rebecca dengan sensual menyalurkan rasa kasih yang Bara pendam selama ini.
Kruuukkkkk...
Hampir saja kedua bibir itu saling bersentuhan jika perut Rebecca tak berbunyi di momen intim itu. Segera Rebecca bangkit dari pangkuan Bara dengan perasaan malu.
Bara tersenyum mendengar perut Rebecca yang berbunyi, ia pun segera berdiri dan menahan Rebecca agar tak pergi dari rumahnya karena percuma saja Rebecca tak tahu nomor sandi yang digunakan Bara untuk membuka pintu kamarnya. "Jangan pergi dulu, tungguin 30 menit" kata Bara kemudian berjalan kedapur untuk memasak makanan untuk Rebecca.
Rebecca menatap pintu yang jaraknya 7 meter dari tempat ia berdiri, dengan perasaan sedih Rebecca ingin sekali keluar dari sini namun ia tak bisa membuka pintunya jika Bara tak memberi tahu berapa kodenya.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade ( 21+)
Teen Fiction⚠️mengandung unsur dewasa dan bahasa kasar Sequel of Leon King 18+ Sebuah keadaan yang membuat Zoey Rebecca terjebak di masalalunya dan mengalami mental disorder. Dimana ia merasakan kecemasan ketika berada di dekat orang-orang yang sebelumnya perna...