26

253 17 0
                                    

Rebecca dan Leon memasuki ruang isolasi dengan langkah pelan, seragam APD putih melekat erat di tubuh mereka. Meskipun mereka tahu HIV tidak menyebar lewat udara, aturan rumah sakit tetap mengharuskan mereka berpakaian seperti ini demi keamanan. Bau antiseptik menusuk hidung mereka, menambah aura dingin di sekitar Jovan yang kini terbaring lemah di atas ranjang, tubuhnya tampak rapuh di balik selimut tipis.

Wajah Jovan pucat, matanya terbuka setengah, sedikit Jovan menyadari kehadiran mereka.

Leon berdiri di dekatnya, menatap Jovan dengan raut wajah serius namun lembut. Tak lama, sosok pria paruh baya, ayah Jovan, memasuki ruangan. Mengisyaratkan mereka untuk keluar karena jam besuk sudah habis.

"Saya masih ngga abis pikir, Hiv itu bukan  penyakit biasa." suara ayah Jovan terdengar pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri, namun cukup untuk didengar Leon.

"Kita ngga bisa milih takdir om" kata Leon.

"Ini bukan masalah takdir, tapi masalah ceroboh dan bodoh" kata ayahnya Jovan yaitu Toni, membuat Leon tak bisa berkata-kata.

Keheningan kembali menyelimuti, sampai akhirnya Toni menatap Leon dengan sorot mata yang sedikit canggung, tetapi tulus. "Bagaimana bisnismu di Bali, Leon?"

Pertanyaan itu memecah kecanggungan di antara mereka. Leon tersenyum kecil, meski tahu bahwa Toni mencoba mengalihkan percakapan dari topik yang lebih menyakitkan. "Perkembangan bisnis cukup baik om, kita baru aja memperluas cabang pariwisata dan properti. Tapi... ya, ada banyak tantangan."

Keduanya mulai berbincang tentang dunia bisnis masing-masing. Leon berbagi beberapa cerita tentang klien dan pengalaman di Bali, sementara Toni menceritakan usaha kecilnya yang kini mulai berkembang. Pembicaraan mereka bergulir ringan namun cukup menghibur, membuat mereka sejenak lupa akan situasi menyedihkan di hadapan mereka.

Rebecca yang tidak terlalu mengerti tentang bisnis hanya duduk diam di samping mereka, menyimak sambil sesekali tersenyum kecil pada cerita-cerita yang ia dengar.

Tak lama kemudian, seorang perawat datang dan memberi tahu bahwa dokter ingin berbicara dengan ayah Jovan dan meninggalkan Rebecca dan Leon berdua di sana.

"Sebenernya dari tadi aku pengen ke toilet, cuma kamu sama Om Toni masih ngobrol, aku ngga enak bilangnya"

Leon tersenyum tipis "mau aku anter,?" Tawar Leon pada Rebecca.

"Ihhh,,, ngga" kata Rebecca menggeleng.

"Yaudah aku tungguin" kata Leon mempersilakan, Rebecca pun mengangguk dan berjalan menuju toilet.

Leon terdiam, menatap pintu ruangan yang masih tertutup. Tiba-tiba ponselnya berdering Leon pun bergegas mengangkat panggilan itu.

"Oke" kata Leon kemudian pergi dari tempat itu dengan tergesa-gesa.

Sementara Rebecca di toilet baru saja merapihkan rambutnya setelah buang air kecil. Mengingat waktunya bersama Leon hanya akan tersisa 3 jam lagi, Rebecca berencana untuk mengajak Leon berkeliling sebelum akhirnya Leon benar-benar pulang.

Rasa sesak di dada Rebecca terasa begitu menyakitkan saat menyadari detik-detik akan menjalani LDR bersama Leon. Ia menyadari ternyata hatinya bergetar Setelah sadar Leon lah yang ternyata ia butuhkan, tapi kenyataan pahit akan memisahkan mereka berdua.

Ia memantapkan hatinya berusaha tegar seolah-olah siap untuk perpisahan ini. Bibirnya tersenyum sebelum ia meninggalkan pantulan cermin di depannya.

Rebecca menatap sekelilingnya karena tidak menemukan keberadaan Leon yang semula di depan ruangan Jovan berada, Rebecca memutuskan duduk sebentar dan membuka ponselnya menanyakan keberadaan Leon.

Dahinya mengkerut setelah melihat pesan yang ia kirimkan untuk Leon hanya centang 1, menandakan bahwa Whatapp Leon tidak aktif, Berburu Rebecca melakukan panggilan pada Leon dengan harapan Leon mengangkat panggilannya dan memberitahukan keberadaanya.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif"

Rebecca memejamkan matanya berusaha tenang dan menepiskan hawa emosinya terhadap Leon yang menghilang begitu saja.

"Apa mungkin ke toilet,?" Tanya Rebecca pada dirinya sendiri. "Tunggu dulu bentar kali ya,?" Katanya memutuskan.

Rebecca duduk beberapa menit sembari menatap ke kanan dan ke kiri setiap ada langkah sepatu yang berbunyi, untuk memastikan bahwa langkah itu milik Leon. Hampir 1 jam telah berlalu Leon sama sekali tidak kembali, ia pun memutuskan untuk menuju toilet untuk mencari Leon.

"Jangan-jangan Leon kenapa-napa,?" Khawatirnya bergegas mencari Leon.

Dengan langkah tergesa-gesa akhirnya ia sampai pada toilet laki-laki. "Excuse me, is there a man in the toilet? He is 180 cm tall, wearing a black coat with a middle parted hairstyle,?" Tanya Rebecca pada laki-laki yang baru saja keluar dari toilet.

"Ohh,,, there's no one in the toilet" jawabnya

"Ohh,, thank you" ucap Rebecca mengakhiri.

Rebecca menghembuskan nafasnya kesal ia berulang kali mengecek ponselnya dan melakukan panggilan dengan Leon.

Ia berjalan menuju parkiran dengan harapan Leon ada di mobil menunggunya namun sialnya mobil itu pun sudah tidak ada di lokasi, Rebecca berusaha menunda air matanya setelah melihat security segera Rebecca bertanya tentang mobil yang sebelumnya parkir di tempat ia berdiri.

"Permisi pak, apa mobil yang terparkir di sini sudah keluar dari rumah sakit,?" Tanya Rebecca menggunakan bahasa mandarinnya.

"Maaf Nona, begitu banyak mobil yang parkir, saya tidak memperhatikan satu-persatu. Tapi mungkin saya mengingat laku-laki yang bersama mu pagi tadi. Dia memang sudah pergi sedari 1 jam lalu" jawabnya mengingat.

Rebecca benar-benar ingin menangis. "Ohh,, terima kasih pak."

Rebecca memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing, ia tak habis fikir pada Leon yang pergi begitu saja tanpa memberi tahu sama sekali meskipun melalui pesan WhatsApp.

"Apa dia udah terbang ke Bali,?" Pikir Rebecca.

🍋🍋🍋

Rebecca berulang kali mondar-mandir di kamar hotel, ia menodngak menahan kesalnya. Menatap jam yang sudah menunjukkan pukul 16.00 yang mungkin Leon sudah sampai di bali.

"Kenapa ngga ngasih kabar sama sekali sih,? Lo pikir gue ngga khawatir apa,?" Kesal Rebecca yang kemudian melempar ponselnya.

"Apa jangan-jangan Leon kenapa-napa lagi,?" Pikiran Rebecca benar kacau hanya karena satu orang itu.

"Lo ngilang gitu aja,?" Dada Rebecca kini kembali merasakan sesak, sesak yang seolah membawanya ke beberapa tahun lalu saat Bara pergi meninggalkannya tanpa berpamitan sama sekali. Persis sekali.

Rebecca terisak di sudut kamarnya menyesali semua yang terjadi. Beberapa tahun lalu dan hari ini sangat sama, ia menangis tersendu-sendu. Dengan cepat Rebecca menggeleng tidak ingin menyamakan hari ini dengan beberapa tahun lalu.

"Leon beda sama Bara, Lo harus yakin Becca. Leon pasti bakalan ngabarin lo bentar lagi. Dia naik pesawat mungkin aja sekarang lupa buat buka ponselnya, dia kan sibuk" katanya menguatkan diri sendiri.

Dengan tenang ia mulai menarik nafasnya dan menghembuskan secara perlahan berusaha meredakan sesak di dadanya, perlahan keringat dingin mulai muncul lagi setelah beberapa bulan ini tak lagi ia rasa.

Dengan cepat Rebecca mencari obat yang sudah beberapa bulan ini tidak ia minum karena sudah merasa lebih baik. Namun entah kenapa gejala (PTSD) Post-Traumatic Stress Disorder, itu kembali muncul secara tiba-tiba.

Tbc...

Lemonade ( 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang