12

777 49 1
                                    

Bara baru saja menghentikan mobilnya, ia menurunkan kaca mobil, ketika matanya menangkap pemandangan yang mengganggu dari kejauhan. Rebecca, yang seharusnya segera dia jemput dari kantornya, tengah berdiri di trotoar depan gedung, bersama sosok laki-laki yang tidak dikenalinya. Dari posisi tempatnya berdiri, Bara bisa melihat Rebecca berusaha keras untuk menghindari laki-laki itu. Ada yang aneh dengan situasi ini, dan Bara merasa ada yang tidak beres.

Laki-laki itu, yang tampak seperti seorang pria muda, sedang berbicara dengan Rebecca dengan gestur tangan yang penuh tekanan. Rebecca tampak sangat frustrasi, wajahnya menunjukkan campuran antara kekecewaan dan kemarahan. Bara bisa mendengar dari kejauhan betapa kerasnya Rebecca berbicara. Suaranya memprotes, mengekspresikan kemarahan dan rasa sakit hati.

"Jovan, gue sudah bilang, gue ngga mau kenal sama lo." teriak Rebecca, suaranya penuh amarah.

"Rebecca, gue minta maaf," jawab Jovan dengan nada memohon, "gue benar-benar minta maaf"

Rebecca menggelengkan kepala dengan tegas, menolak tawaran Jovan dengan jelas. Beberapa kali, Rebecca menyatakan ketidaknyamanannya dan keinginannya untuk pergi dari situasi tersebut, namun Jovan terus mendesak dengan permohonan maafnya. Raut wajah Rebecca semakin menunjukkan betapa dia sudah lelah dengan situasi ini.

Bara di dalam sana, diam-diam menyaksikan seluruh kejadian dengan perasaan campur aduk.

Bimmm....bimmm

Bara sengaja membunyikan klaksonnya saat merasa Rebecca sudah mulai tidak aman, Rebecca yang melihat mobil Bara pun akhirnya bisa melepaskan diri dari Jovan, melihat Rebecca yang berjalan mendekat Bara segera turun dan membukakan pintu untuk Rebecca.

Bara segera menuju kursi kemudi, sebelumya ia sempat berdiri di samping pintu mobil, menatap ke arah Jovan yang masih berdiri di sana, tampak bingung dan putus asa. Dengan napas yang berat, Bara mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang sudah sangat dia kenal. Begitu panggilan tersambung, suaranya penuh dengan kemarahan yang tak tertahan.

"Lo gimana sih, gue minta lo cari tau siapa tuh cowok, sampe sekarang ga dapet-dapet udah 2 minggu." Tekan Bara melalui telepon, suaranya penuh tekanan. "Terus mentang-mentang lo di jakarta lo ga bisa nyari tau tuh orang,? Waktu itu udah gue bantuin sampe apartemennya, sampe mana lo tau,?" Tanya Bara.

"Terserah, yaudah lo kesini lagi deh" kata Bara.

Di sisi lain telepon, suara yang mencoba menjelaskan terdengar gemetar, namun Bara tidak memberi kesempatan untuk berlama-lama. Dia menutup telepon dengan penuh frustrasi, memikirkan bagaimana dia harus menangani situasi ini dengan lebih baik di masa depan.

Dengan rasa marah yang masih membara, Bara memandang Rebecca yang kini duduk di dalam mobil, wajahnya tampak lelah dan cemas. Dia tahu bahwa hari ini belum selesai, dan ada banyak hal yang perlu dihadapi sebelum dia bisa merasa tenang kembali.

"Dia siapa,?" Tanya Bara, Rebecca memalingkan wajahnya dan terlihat engan menjawab.

"Oke, kalo lo ga mau jawab, gue bisa cari tau sendiri" kata Bara melajukan mobilnya.

🍋🍋🍋

Rebecca duduk di kamar tidurnya bersama Zhu, terbenam dalam suasana tenang yang didominasi oleh cahaya lampu lembut. Mereka baru saja menyelesaikan sesi terapi rutin, dan Zhu tampak lebih optimis dari biasanya.

"Rebecca, aku rasa kamu mulai membaik. Aku benar-benar kaget melihat semua ini," kata Zhu, matanya penuh keheranan. "Kenapa semuanya tampak hampir normal sekarang?"

Rebecca terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Aku juga tidak tahu, Zhu. Baru saja aku sadar kalau gejala-gejala yang selama ini aku derita, sepertinya sudah tidak terlalu parah"

Zhu mengangguk sambil tersenyum. "Itu kabar baik, tentu saja. Namun, walaupun kamu merasa lebih baik, penting untuk tetap menjalani terapi dan mengonsumsi obat yang sudah aku berikan. Ini semua untuk memastikan bahwa kemajuan ini berkelanjutan."

Rebecca mengangguk, menerima nasihat Zhu dengan penuh pengertian.

Tak lama Zhu akhirnya berpamitan, meninggalkan Rebecca sendirian di kamar. "Okelah, jaga diri baik-baik"

Saat pintu tertutup di belakang Zhu, Rebecca teringat bahwa besok dia harus mengajukan novel barunya. Dia harus menyelesaikan laporan untuk pengajuan tersebut dan berharap langkah ini bisa mengalihkan perhatian pendukungnya dari Leon King. Dia juga berharap bahwa langkah ini dapat menarik perhatian Presdir Moo-Yu, agar bisa mengalihkan fokusnya dari pengangkatan Series Leon King.

Rebecca duduk menyandar di kasurnya, menatap laptop dengan serius. Tapi tiba-tiba, suara notifikasi ponsel memecahkan keheningan. Dia menoleh dan melihat layar ponselnya menampilkan nomor yang sangat familiar-nomor yang sudah tiga tahun tidak pernah saling menghubungi. Nama yang tertera adalah Leon, bersama pesan singkatnya: "Apa kabar?"

Jantung Rebecca berdegup kencang, dadanya terasa sesak. Pesan itu seperti sirene yang membangunkan rasa sakit yang sudah lama terkubur. Apa yang akan terjadi,? Dia tak bisa berfikir dengan jernih memikirkan maksud Leon yang tiba-tiba mengirimi pesan dan menanyakan kabarnya. Rebecca terdiam ketakutan, tangannya bergetar Dia melihat cicin di jari manis tangan kirinya-cincin pemberian Bara. Ia memandang cincin itu dengan rasa campur aduk. Kenapa kini keduanya kembali muncul,? Kenapa orang-orang di masalalunya kembali berdatangan, Bara,? Jovan,? dan kini Leon kembali muncul setelah lama menghilang.

Rebecca duduk kaku di kursinya, menghadap laptop yang tidak mampu lagi menarik perhatiannya. Seluruh pikirannya terpusat pada satu pertanyaan: Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah semuanya akan berantakan jika Leon kembali muncul dalam hidupnya? Apakah ia akan kembali hancur lagi,? Baru saja 1 jam lalu Zhu mengatakan Rebecca mulai membaik.

Ia harus membuat keputusan besar-apakah ia akan membalas pesan Leon atau tetap fokus pada komitmennya dengan Bara? 1 sisi ia sudah menerima cincin dari Bara namun 1 sisi juga Rebecca pernah meminta kesempatan pada Leon. Pikiran ini membuatnya semakin bingung dan tertekan.

"Gue ngga pernah mengira lo bakal balik lagi" Gumam Rebecca

Saat malam semakin larut, Rebecca masih duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan pandangan kosong. Masa depan yang penuh ketidakpastian dan pilihan-pilihan sulit menghadapi dirinya kini kembali merenggutnya, dan Rebecca tahu bahwa ia harus segera menentukan arah hidupnya, tidak hanya untuk kebaikannya sendiri tetapi juga untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Tbc

Lemonade ( 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang