Rebecca terbangun dengan perlahan, menyadari bahwa ia terbangun lebih awal dari Bara. Dengan hati-hati, ia memindahkan tangan Bara yang melingkar di perutnya, memastikan agar tidak membangunkan pria itu. Bara tampak begitu tenang dan tampan di tidurnya, wajahnya dipenuhi ketenangan yang tak pernah ia lihat selama ini.
Rebecca menatapnya sejenak, memikirkan kembali perasaan dan kenangan yang selama ini menyelimutinya. Ada rasa kecewa yang tak bisa Rebecca jelaskan apa dan kenapa. Yang Rebecca rasa sudah tiga tahun berlalu, namun luka-luka emosionalnya masih terasa tajam, dan ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia tidak ingin jatuh lagi ke dalam kegelapan yang pernah melanda hatinya, juga tidak ingin melukai Bara yang kini sedang terlelap dengan damai.
Dengan penuh kehati-hatian, Rebecca menggeser diri perlahan. Rebecca baru saja duduk di tepi tempat tidur dengan mengikat rambutnya, tiba-tiba telepon Bara berdering. Suara dering yang nyaring mengusik ketenangan pagi, dan Bara mulai bergerak dengan mata yang masih berat, perlahan-lahan membuka matanya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja nakas, dengan mata yang tampak masih setengah tertidur.
"Hallo?" suara Bara keluar serak, mencerminkan keengganannya untuk sepenuhnya terjaga. Ia mengerutkan dahi, mendengarkan suara di ujung telepon yang tidak dapat Rebecca dengar. Hanya beberapa detik berlalu, dan Bara perlahan-lahan duduk, berusaha untuk fokus pada percakapan tersebut.
"Iya, tungguin ya. Besok pulang" ujar Bara, suaranya mulai lebih jelas saat ia benar-benar terjaga. "Belajar yang rajin" katanya dengan menggosok matanya yang sedikit buram.
Bara mengucapkan beberapa kalimat tambahan, lalu menutup telepon dengan sebuah napas berat. Ia meletakkan ponsel itu.
Saat matanya sepenuhnya sadar Bara menatap sekitar dengan penuh kebingungan. Matanya membelalak saat ia menyadari bahwa ruangan di sekelilingnya bukanlah apartemennya sendiri. Dekorasi yang tidak dikenalnya dan pencahayaan lembut pagi itu membuatnya sedikit bingung.
Sekilas ia menoleh ke arah Rebecca, wajahnya menyiratkan rasa panik yang mencoba ia sembunyikan. "Sayang,?" katanya, suaranya terdengar lebih jelas kali ini, "kamu udah bangun,?" Tanya Bara yang baru saja menyadari bahwa semalam ia tidur bersama Rebecca.
Rebecca memperhatikan ekspresi kaget Bara dengan penuh rasa curiga. "Kalo udah lo boleh pergi, gue mau sibuk" kata Rebecca berjalan keluar dari kamar berusaha cuek dan tak peduli pada laki-laki itu.
Bara berusaha mengumpulkan kembali pikirannya. Ia tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah Rebecca mungkin mendengar percakapannya di telepon barusan.
Bara mengacak-acak rambutnya sendiri karena kesal.
🍋🍋🍋
Brukkk....
Pukul 12 siang Bara nampak sangat emosi dengan menendang kaki meja. Ia marah pada temannya, namanya adalah Raka. Teman sekaligus Asisten bagi Bara yang membantu Bara melakukan apapun dan dimanapun.
"Lo ngapain biarin dia nelpon gue sih,?"
"Mana gue tau?" Bantah Raka tak terima disalahkan.
"Gimana kalo Rebecca denger,?"
"Udahlah Bar, udahin semuanya. Asal lo tau Rebecca belum putus juga sama Leon. Dan lo harus tau, kapan waktunya Leon bakal balik lagi nemuin Rebecca!" Kata Raka menyadarkan Bara.
"Lo pikir Leon ngga punya cewek lagi di Bali,?" Tanya Bara meremehkan. "Sekalipun dia bakalan balik lagi, lo pikir gue ngga bisa berantem,?"
"Apa hebatnya tuh cewek sih,?" Heran Raka.
"Lo ngga perlu capek-capek mikirin itu. Lo turutin aja apa yang gue suruh."
"Bar bukan gue ngga mau, tapi lo udah kelewatan. Ayolah pikiran lo di pake lagi!" Perkataan Raka berhasil membuat Bara mencengkram kerah Raka kuat-kuat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade ( 21+)
Teen Fiction⚠️mengandung unsur dewasa dan bahasa kasar Sequel of Leon King 18+ Sebuah keadaan yang membuat Zoey Rebecca terjebak di masalalunya dan mengalami mental disorder. Dimana ia merasakan kecemasan ketika berada di dekat orang-orang yang sebelumnya perna...