Rebecca baru saja selesai dari rutinitas kerjanya dan merasakan kelegaan yang selalu datang setelah hari panjang. Ia melangkah keluar dari gedung kantor, menatap langit yang mulai gelap dengan harapan cepat bisa pulang ke rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Jovan berdiri di dekat pintu keluar, tampak jelas bahwa pria itu sengaja menunggu Rebecca.
Jovan, yang tampaknya memutuskan untuk memperbaiki keadaan, menghampiri Rebecca dengan langkah hati-hati. "Rebecca, tunggu!" katanya dengan nada yang penuh penyesalan.
Rebecca menatapnya sejenak, melihat luka Jovan yang ternyata sudah membaik, kemudian mengalihkan pandangannya dan mencoba untuk melanjutkan langkahnya. "Gue ngga ada waktu." jawabnya dingin, berusaha untuk tidak menghiraukan Jovan.
Namun, Jovan tampaknya tidak menyerah. Dia terus mengikuti Rebecca, berusaha meraih lengannya. "Rebecca gue minta maaf, harusnya gue ngga ngelakuin itu kemaren."
Rebecca merasa kemarahannya memuncak. "Gausah ganggu gue bisa ngga sih?!" serunya, berusaha melepaskan diri dari Jovan. Ia menambah kecepatannya, berharap bisa menjauh dari pria itu.
Kendati begitu, Jovan tetap mengejar dengan penuh tekad. Akibatnya, suasana di jalan menjadi semakin tegang dan menarik perhatian orang-orang di sekitar. Rebecca, frustrasi dan marah, akhirnya memutuskan untuk naik taksi yang kebetulan melintas. Dengan terburu-buru, ia masuk ke dalam taksi dan segera menutup pintu di belakangnya.
Jovan berdiri di tepi jalan, tampak putus asa saat taksi yang membawa Rebecca pergi semakin menjauh. Rasa frustasinya menjadi tampak jelas di wajahnya.
Tak jauh dari situ, Bara mengamati kejadian itu dari dalam mobilnya. Rasa kesal dan emosi memenuhi dirinya saat ia melihat bagaimana Jovan tampaknya mengejar Rebecca. Bara tidak mengenal Jovan dan merasa sangat terganggu dengan situasi yang baru saja ia saksikan.
Dengan cepat, Bara meraih teleponnya dan mulai menelpon seseorang yang bisa membantunya mencari informasi lebih lanjut tentang Jovan. "Dimana lo,? Gue share lokasi." ujar Bara dengan nada tegas.
Bara nampak mengikuti Jovan yang masuk kedalam mobil dan meninggalkan tempat itu.
🍋🍋🍋
Bara baru saja tiba di lorong apartemen, mengenakan penampilan santai dengan kemeja yang disampirkan di bahunya. Malam itu, ia berencana untuk segera pulang dan beristirahat. Ia melangkah dengan tenang menuju pintu apartemennya, namun tiba-tiba matanya tertuju pada pintu kamar 169 yang terletak tidak jauh darinya.
Pintu itu adalah pintu kamar Rebecca, dan Bara merasa gelisah setelah melihat kejadian tadi sore. Rasa penasaran dan kekhawatiran membuatnya berhenti sejenak. Ia hampir saja memencet pin untuk membuka pintu apartemennya, tetapi tiba-tiba dorongan untuk menghampiri Rebecca membuatnya beralih arah menuju kamar 169.
Bara mulai mengetikkan kode akses masuk ke kamar 169 hingga terbuka. Ia tahu kode masuknya karena pernah tak sengaja melihat Rebecca memasukkan beberapa angka yang sangat Bara hafal untuk membuka pintu kamarnya beberapa hari lalu.
Di dalam Rebecca tengah asyik dengan aktivitasnya di dapur, mengaduk-aduk pot berisi sup sambil menambahkan bumbu-bumbu yang sudah disiapkan. Kehangatan dari kompor dan aroma harum dari bahan masakan yang sedang dipersiapkan membuat suasana dapur terasa nyaman dan hangat. Namun, tiba-tiba Rebecca merasakan sesuatu yang mengejutkan—sebuah pelukan erat dari belakang yang membuatnya hampir tersentak dari posisinya.
Jantung Rebecca berdegup kencang sejenak, dan ia hampir saja menumpahkan supnya ke lantai. Beruntung, aroma khas yang tercium langsung membuatnya sadar akan siapa yang memeluknya. Aroma itu adalah aroma Bara, yang membuat Rebecca sedikit mengerutkan kening. Dengan nada kesal, ia berusaha mengendalikan suaranya, "Bara ihh,,, ngagetin!" Bara hanya tertawa kecil di belakangnya.
Rebecca, meski merasa sedikit kesal, tidak bisa menahan senyum. Ia membiarkan Bara menciumi pundaknya dan menikmati momen tersebut sambil tetap fokus pada pekerjaan memasaknya. Namun, seiring berjalannya waktu, gerakannya mulai terasa terhambat oleh pelukan Bara yang kian erat. "Bara, susah ihh.!"
Bara mengangguk dan perlahan melepaskan pelukannya. "Iya, nanti bangunin ya. Gue ngantuk
Mau tidur bentar" ujar Bara.Rebecca mengangguk. "Iya, gue panggil dari sini." jawabnya. Bara menghentikan langkahnya menengok melihat Rebecca. Rebecca yang merasa Bara menghentikan langkahnya itu menengok dan melihat Bara, tatapan Rebecca seolah bertanya "apa?"
"Ngga enak banget kalo mulut lo bunyi lo-gue deh. Aneh aja di kuping" kata Bara berjalan mendekati Rebecca.
"Ya terus harus gimana Bara,?"
"Mulut lo udah kotor banget deh" Bara menangkap pinggang Rebecca dan membawanya mendekat hingga menempel pada tubuhnya. "Gue ngga suka kalo lo make Lo-Gue" kata Bara tepat di hadapan Rebecca.
"Apasih Bara, kita sama-sama udah gede gue harus manggil lo apa,?"
"Tetep aja umur lo tuh bekas umur gue.!" Kata Bara tak terima. "Gue belom bisa nerima lo secepet itu tumbuh dewasa, gue masih sering kangen lo manggil gue pake embel-embel kak bukan Bara." Katanya menatap mata kanan dan kiri Rebecca bergantian.
Cup...
Rebecca langsung berbalik dan melanjutkan aktivitas memasaknya setelah mengecup bibir Bara.
Bara melangkah menuju sofa, meninggalkan Rebecca yang kembali melanjutkan masaknya dengan hati-hati.
1 jam telah berlalu Rebecca dan Bara sudah selesai makan malam. Rebecca juga sudah membersihkan piring kotor yang mereka gunakan. Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam.
Rebecca sudah selesai mencuci muka dan melakukan perawatan wajah sebelum tidur, ia menyadari ternyata Bara masih belum kembali ke apartemennya. Dia masih duduk di sofa dengan melakukan panggilan bersama seseorang.
"Kan udah gue bilang, dokumen 302 itu udah gue blacklist. Kenapa masih bisa Booking sih,? Dia udah jadi buronan sejak 4 bulan lalu. Gue ngga mau tau urus semua tuh sampe beres." Kata Bara nampak marah di panggilan itu.
"Iya, gue balik tapi belom tau kapan." Kata Bara kemudian mematikan panggilan telepon itu, dan beralih menelpon seseorang. "Halo, lo balik gih ke jakarta Nias butuh lo" kata Bara di panggilan kedua itu.
"Ckk... lo juga bisa kali, masa semua harus gue sih, sia-sia gue bayarin lo pada?" Katanya kembali marah-marah. "Pokoknya kalo masih mau kerja sama gue ya nurut aja lah!" Katanya kemudian mematikan telponnya.
"Kenapa sih marah-marah,?" Tanya Rebecca berjalan melewati Bara yang duduk di sofa, arah Rebecca dari kamar mandi menuju kamarnya.
Bara yang melihat Rebecca langsung mengekor Rebecca hingga masuk kedalam kamarnya. "Ngapain ngikut masuk,?" Tanya Rebecca.
"Mau tidur" kata Bara merebahkan tubuhnya di ranjang.
"Balik ngga,?!" Peringat Rebecca, Bara hanya menggeleng. Dan malah menutup wajahnya menggunakan selimut. "Bara kita belom nikah ngga bisa tidur berdua mulu!" Kata Rebecca.
"Emang ngga boleh, tapi gue kan ngga ngapa-ngapain lo. Lo juga bakal gue nikahin" kata Bara merubah posisinya menjadi duduk.
"Iya iya,,, gue balik. Gue juga ngga pernah bisa tidur kalo tidur sama lo." kata Bara yang akhirnya bangkit dan keluar.
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade ( 21+)
Teen Fiction⚠️mengandung unsur dewasa dan bahasa kasar Sequel of Leon King 18+ Sebuah keadaan yang membuat Zoey Rebecca terjebak di masalalunya dan mengalami mental disorder. Dimana ia merasakan kecemasan ketika berada di dekat orang-orang yang sebelumnya perna...