27

133 9 4
                                    

Sudah 2 hari berlalu namun Rebecca belum juga menerima kabar dari Leon. Ia benar-benar di landa stress kuat. Ia tidak bisa tidur nyenyak dan tidak bisa makan lahap. Ia sendirian di Singapura, ia juga sudah menghubungi Zhu untuk meminta nomor hendrik selaku asisten Leon. Namun ternyata Zhu tidak memiliki nomor Hendrik.

"Aaahh,,, kenapa sih gue harus ngalamin hal ini lagi,?" Keluh Rebecca tak sanggup menahan tangisnya. "Gue harus lagi dan lagi mantengin WhatsApp, nunggu seseorang ngabarin gue, bales chat gue, capekk.!!" Kesalnya, ia mendongak saat merasa pernapasannya terganggu karena hidungnya tersumbat oleh ingus.

Drttt....drtttt...drttt...

Dengan semangat Rebecca mengangkat teleponnya yang berdering, namun semangatnya kembali luntur setelah layar panggilan itu menunjukkan nama Qia bukan Leon. Rebecca pum mengangkat panggilan itu setelah menetralkan keadaannya.

"Halo Qi,?" Sapa Rebecca.

"Iya besok gue terbangnya, gue juga di Singapura. Lo mau nemenin gue ngobrol ga,?" Tanya Rebecca.

"Ngga kok, gue ngga papa" kata Rebecca. "Oke gue tunggu ya, alamatnya gue share sekarang" kata Rebecca kemudian mematikan panggilan itu.

🍋🍋🍋

Sudah lebih dari satu jam Rebecca dan Qia duduk bersama di sudut kafe favorit mereka. Aroma kopi yang hangat bercampur dengan percakapan panjang di antara keduanya, menciptakan suasana tenang yang hanya mereka yang bisa memahami. Gelas mereka hampir kosong, namun obrolan belum juga berakhir. Topik pembicaraan mengalir dari cerita biasa hingga ke hal yang lebih dalam yaitu tentang masalah pribadi Rebecca yang selama ini terpendam.

Rebecca akhirnya membuka cerita panjangnya tentang novel yang ia tulis, Leon dan King. Wajah Qia sempat berubah saat mendengarnya, ada keterkejutan yang berkilat di matanya. Novel itu bukan sekadar kisah fiksi, namun refleksi nyata dari kehidupan pribadi Rebecca, atau lebih tepatnya, Bianca. Dengan perasaan iba, Qia merangkul punggung Rebecca, memberi dukungan yang tak terucapkan, menenangkan rekannya yang tampak rapuh di balik tatapan tajamnya.

Setelah momen hening yang singkat, Qia menarik napas dalam-dalam dan mengungkapkan sesuatu yang telah lama ia simpan. "Sebenarnya... gue udah tahu tentang Leon King," ujar Qia dengan suara pelan tapi penuh keyakinan. Rebecca terkejut, menatap Qia dengan mata melebar, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.

"Sebelumnya gue minta maaf, karena udah maksa lo buat nerbitin Leon King."

Rebeca menatap Qia serius. Menunggu kalimat Qia yang akan di ucapkan selanjutnya.

Qia tersenyum samar, seakan momen ini sudah ia bayangkan berkali-kali dalam pikirannya. "Sejak lo magang Lo selalu jadi anak kesayangan kak Gina karena karya-karya lo yang menarik banyak perhatian. gue sepenuhnya bangga bisa punya temen kaya lo, apalagi sama-sama dari Indonesia" Qia menjeda sejenak kalimatnya "tapi gue selalu penasaran, gue ngga pernah denger sekalipun lo cerita soal asmara lo. Setiap kali kita ngumpul dan kita bahas tentang masalah cowok lo selalu diem dan bahkan sama sekali ngga ikut nimbrung, setiap kali gue mau curhat sama lo tentang gue dan cowok gue lo selalu nolak dengan berbagai alesan."

"Gue bener-bener ngga abis pikir sama apa yang ada di otak lo, lo bisa bikin cerita soal percintaan. Tapi lo sama sekali ngga pernah nyinggung persoalan itu di hidup lo jangankan soal cinta soal hidup lo aja ngga pernah lo ceritain ke kita. Yaa,,, walaupun gue penasaran tapi gue juga ngga terlalu peduli sama semua tentang lo saat itu, sampe akhirnya novel Leon King meledak dan juara satu di event Moon-Yu."

Qia terdiam dan merogoh tasnya, ia memberikan sebuah kertas kecil berwarna biru. Kepada Rebecca.

Mata Rebecca membulat ingin menangis melihat kartu nama itu.

Lemonade ( 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang