14

693 43 2
                                    

Pagi itu, Rebecca dengan keadaan yang sudah rapih dan bersiap untuk berangkat kerja menyempatkan diri datang ke apartemen Bara dengan langkah cemas. Dia mengetuk pintu dan Bara yang baru saja selesai mandi membukanya. Rebecca menatap Bara dengan penuh kekhawatiran, wajahnya menunjukkan betapa beratnya beban yang dia rasakan.

"Bara, aku takut," kata Rebecca, suara gemetar. "gimana kalo hasilnya positif?"

Bara melihat ke dalam mata Rebecca dan berusaha memberikan ketenangan. "Ca, kita belum tahu apa-apa tentang hasil nya, gue juga takut. Ngga ada gunanya lo takut. Kita berdoa aja semoga hasilnya sesuai apa yang kita mau."

Namun, ketakutan Rebecca tampak tak bisa diatasi. Dia duduk di sofa, menundukkan kepala, dan mulai menceritakan sesuatu yang tampaknya membebani pikirannya.

Bara menatap Rebecca dengan penuh perhatian, mencoba memahami lebih dalam.

"Aku udah Searching tanda-tanda dan gejala penyakit itu, aku ngga ngalamin salah satunya. Moga aja hasilnya negatif, aku juga ngga pernah sariawan ataupun luka di area mulut. Tapi kamu gimana,? Aku ngga mau kamu kenapa-napa"

Rebecca menghela napas panjang, tampak lelah dengan beban emosional yang dia bawa. Bara duduk di sampingnya dan menepuk bahunya dengan lembut.
"Muali sekarang gue ngga mau liat lo ketemu sama dia lagi" kata Bara membuat Rebecca menunduk.

"Udah sarapan,?" Tanya Bara, Rebecca menggeleng.

"Aku bikinin sandwich" kata Bara berdiri dan membuatkan roti lapir dan susu untuk Rebecca.

🍋🍋🍋

Raka membuka pintu apartemen Bara dengan tergesa-gesa segera ia memasuki ruangan yang rapi itu untuk mencari Bara. Bara yang sedang duduk di sofa terkejut melihat Raka datang, apalagi saat melihat Raka menggendong anak kecil laki-laki yang tertidur pulas. Bara berdiri dan bergegas menghampiri mereka, tampak jelas bahwa ia khawatir.

"Lo ngapain bawa dia,?" tanya Bara dengan nada cemas.

Raka, dengan sikap santai yang khas, menjawab, "kasian dia pengen ketemu sama lo" Raka berjalan masuk ke kamar untuk membaringkan anak itu.

Bara memelototi Raka dengan kesal. "Elah, gue juga bakal balik ke indo besok"

Raka mengabaikan kekesalan Bara dan dengan hati-hati membawa anak kecil itu menuju kamar. "Kemaren juga lo bilangnya mau balik" katanya menutup pintu kamar, berharap anak itu tak terganggu oleh keberisikan dirinya dan Bara.

Bara masih terlihat cemas. "Kalo Becca liat dia gimana,? Mikir ngga sih lo,?"

Raka menoleh sebentar dan menjawab dengan tegas, "kalo Rebecca emang tulus nerima lo, dia ngga keberatan sama dia. Apalagi dia anak lo"

Kata-kata Raka membuat Bara terdiam sejenak. Ia merasa terbebani oleh situasi ini. "Gue belom siap buat semua itu, Becca baru nerima lamaran gue. Kenapa lo ngga mikir sejauh itu sih,?"

"Umur lo udah 25, lo punya tanggung jawab sama anak lo. Pikirin mateng-mateng dia baru umur 4 tahun." kata Raka.

"Makin kesini makin gegabah lo. heran gue,?"

Raka menatap Bara serius "eh gila, gue selama ini ngga takut sama lo. Jangan mentang-mentang lo punya segalanya lo bisa seenaknya. Gue emang bawahan lo, tapi bukan berarti gue ngga berani sama lo. Gue bertahan sama lo bukan karna duit lo. Tapi karna gue peduli sama lo, sama masa depan lo. Lo temen gue. Kalo ngga ada gue juga udah bangkrut lo. Lo pikir siapa yang nanganin Nias selama ini,? Itu perusahaan lo apa perusahaan gue,?" Kata Raka menatap tajam Bara.

Raka membuka lemari es dan mengambil 2 botol wine dan membawanya di hadapan Bara. "Gimana hasil tes nya,?" Tanya Raka meletakkan botol.

"Hasilnya belum keluar" jawab Bara membuka segel botol itu dan meneguk wine itu langsung dari botolnya.

Lemonade ( 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang