Rebecca terbangun dengan suara gemuruh yang samar, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang redup di kamarnya. Saat ia mencoba mengingat apa yang terjadi, pandangannya tertuju pada Bara yang duduk di sampingnya, wajahnya terlihat cemas.
"Bawa istirahat aja, gue ngga mau lo kenapa-kenapa" kata Bara dengan nada panik, tangannya bergetar sedikit saat ia meraih tangan Rebecca.
Rebecca mengangkat kepalanya pelan dan mencoba tersenyum. "Aku baik-baik aja kok" jawabnya, meskipun suara itu terdengar lebih lemah dari yang ia inginkan.
Bara menghela napas lega, tetapi ekspresi wajahnya masih mencerminkan kekhawatiran. "Kalo lo ngga papa dokter ngga mungkin bilang macem-macem tadi" kata Bar, Rebecca mengeryit "Dokter bilang Jangan banyak mikirin sesuatu yang bisa mempengaruhi saraf di otak lo."
Rebecca mendengarkan, namun kebingungan meliputi pikirannya. "Aku mikirin apa coba,?" Herannya dengan memikirkan sesuatu.
"Gausah di pikirin ahh"
Bara mengernyit, sepertinya berusaha memahami. "Mungkin aku mikirin deadline deh" kata Rebecca sedikit menebak.
Rebecca merasakan kepalanya berdenyut ringan, bukan karena sakit, tetapi karena perasaan tidak nyaman.
Bara menggelengkan kepala. "Jangan anggap sepele, Ca. Gue ngga mau lo kenapa-kenapa."
Rebecca menatap Bara, melihat betapa dia benar-benar peduli. "Iya,,, aku udah baik-baik aja kok" ujarnya, merasa terharu dengan perhatian Bara.
Dengan pelan, Bara menyentuh tangan Rebecca. "Istirahat dulu ya, besok cuti dulu aja" kata Bara "gue masak sup, lo harus makan" kata Bara beranjak ke dapur.
Bara mengangkat panci sup yang sudah dimasak dengan penuh kasih sayang, aroma hangatnya memenuhi dapur. Ia sudah menyiapkan hidangan itu untuk Rebecca. Setelah memastikan sup itu tidak terlalu panas, ia menyiapkan segelas susu untuk melengkapi makanan Rebecca.
Hampir saja ia berjalan ke kamar, ponselnya tiba-tiba bergetar di saku. Bara langsung menjawabnya dengan hati-hati memastikan Rebecca tidak mengetahuinya. "Halo" Bara tersenyum.
Bara mendengarkan dengan seksama. "Iya, Oscar bobok duluan, nanti Papah nyusul. Papah pulang telat ya, papah susah banget bawa mobil-mobilan Oscar gede soalnya" ungkapnya, menjelaskan situasinya.
Setelah hampir 2 menit berbincang, telepon itu terputus. Bara menghela napas lega. Ia bergegas membawa sup dan susu itu ke kamar.
Ketika Bara memasuki kamar, ia melihat Rebecca sudah terbaring pulas, wajahnya tampak tenang. Bara meletakkan sup di nakas dan menghampiri tempat tidur, dengan lembut mulai membangunkan Rebecca. "Rebecca. Makan dulu ya" katanya pelan.
Rebecca terbangun sejenak, menatap Bara dengan mata setengah tertutup. "Bara?" suaranya lembut, seperti angin sepoi-sepoi. "Aku ngga laper" katanya
"Makan" Kata Bara.
Bara melepaskan bajunya melemparkan sembarang arah dan hampir menindih Rebecca.
"Iya aku makan" cegah Rebecca saat tau bahwa Bara akan melahapnya. Bara tersenyum smirk.
"Ngga papa sih kalo lo ngga mau makan, berarti lo yang gue makan" kata Bara masih dengan telanjang dada. Mata Rebecca mencuri-curi pandang perut Bara yang berbentuk seperti batu bersusun itu. Perut sixpack Bara membuat Rebecca tidak fokus.
"Mau roti,?" Tanya bara menawari.
"Udah kenyang ih, ini aja ngga laper aslinya"
"Roti yang ini" tunjuk Bara ke arah perut menggunakan dagunya. Rebecca membelalak dan menggeleng. "Ngapain dari tadi liatin mulu, emang gue ngga sadar apa,?" Kata Bara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade ( 21+)
Подростковая литература⚠️mengandung unsur dewasa dan bahasa kasar Sequel of Leon King 18+ Sebuah keadaan yang membuat Zoey Rebecca terjebak di masalalunya dan mengalami mental disorder. Dimana ia merasakan kecemasan ketika berada di dekat orang-orang yang sebelumnya perna...