Kalya duduk sambil mengunyah beberapa potongan apel yang baru saja dikupasnya. Sesaat kemudian nada dering terdengar dari ponsel yang tak jauh berada di sisi kirinya.
Gadis itu menatap layar ponselnya dan di sana tertera nama Eliva. Dengan cepat Kalya menggeser panel hijau agar telepon kedua terhubung.
Kalya: Iya, El, kenapa?
Eliva: Lo gak masuk karena kejadian kemaren, ya?
Kalya: Ya, gitu, deh. Gue belum berani ke kampus.
Eliva: Gapapa, tenangin diri lo dulu, nanti kalo lo udah ngerasa lebih baik … baru deh lo masuk kampus lagi, ingat ya jangan lama-lama, gue sendiri di kelas.
Kalya: Iya-iya, El, gak lama, kok.
Kalya terkekeh mendengar celotehan Eliva.Ternyata begini rasanya punya teman, ada yang menanyakan dan ada yang memperhatikan.
Eliva: Kay, inget, sedih boleh, tapi jangan sampe kalap sama makanan, ya, biar progres lo cepet.
Kalya memang menceritakan tentang dirinya yang sering kalap dengan makanan di saat sedih mendatang.
Oleh karena itu, Eliva mengingatkan Kalian karena dalam beberapa hari ini, gadis itulah yang kerap membantu Kalya mengatur jadwal makannya.
Kalya: Iya, El, thanks udah mau ngingetin gue dan udah mau berteman sama gue.
***
Tujuan Kalya hari ini cuma satu, yaitu pusat kebugaran di mana dirinya akan berusaha menjadi kurus. Setiap kali Kalya menginjakkan kakinya di tempat ini, rasa ingin membuktikan kepada semua orang yang pernah menghina badannya semakin menggebu-gebu. Gadis itu sangat tidak sabar dengan hasil yang akan ia raih nanti, namun menjadi kurus bukanlah sebuah hal yang mudah, seperti semudah membalikkan telapak tangan.
Pagi ini tidak banyak kendaraan yang berada di sana, karena hari ini memang masih hari kerja dan orang-orang akan ke gym saat menjelang sore atau bahkan malam hari nantinya. Kalya mendorong pintu kaca yang sempat ditabrak olehnya dulu.
“Loh, Kalya, kamu gak ke kampus?” tanya Agam yang kebetulan memang sedang berada di balik pintu tersebut.
Kalya tidak menjawab. Pandangan gadis itu terpaku pada tubuh atletis milik dosennya yang terbalut dengan setelan hitam, yang ia yakin jika laki-laki itu sepertinya akan berolahraga.
“Hei, saya tanya, kok, diam? Kamu bolos, ya?” tuding Agam membuat Kalya tersadar dan langsung mengalihkan atensinya dari dada bidang milik dosennya.
“E-enggak, kok, Pak. Saya gak bolos,” elak Kalya sedikit gelagapan. “Kalau gitu saya permisi ke belakang, Pak,” pamit Kalya langsung menghilang dari sana.
Agam menatap badan tinggi dan berlemak Kalya yang semakin menjauh masuk ke dalam ruangan, sedangkan dirinya kembali lagi menata beberapa alat yang tidak tersusun rapi setelah semalam digunakan.
Hari ini memang hari di mana Agam tidak mempunyai jadwal mengajar di kampus. Oleh karena itu, laki-laki tersebut mempergunakan waktunya untuk kembali melatih otot tubuhnya. Setelah selesai laki-laki itu berjalan menuju area di mana alat-alat berbahan besi berada.
Di lain tempat, Kalya sudah menyimpan tasnya dan sudah mencepol rambut sebahunya. Gadis itu memasuki ruangan yang pernah ia masuki beberapa hari lalu, tetapi ia belum sempat mencoba alat berbahan besi dengan ukuran lebih besar yang terdapat di sana.
Kalya menelisik sekitarnya dan ia tidak menemukan satu orang pun di sana. Gadis itu hanya akan merasa malu nantinya jika ketika mengangkat besi ini dan ternyata dirinya tidak sanggup. Perlahan, namun pasti kedua tangan Kalya sudah memegang besi putih tersebut dengan posisi kaki berdiri tegak lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatty Love (END)
RomanceKatanya, beauty privilege itu nyata. Itulah yang menimpa Kalya, cewek obesitas yang nekat menyatakan perasaannya berkali-kali kepada cowok ter-famous bernama Ansel, tetapi selalu ditolak mentah-mentah. Puncaknya pada malam prom night. Jawaban Ansel...