Hari terus berganti dan pagi ini Kalya kembali dihadapkan dengan perintah sang dosen. Padahal Kalya baru saja tiba di lantai tiga dan Agam sudah menyuruh Kalya menuju ruangan laki-laki itu. Dengan berat hati, Kalya kembali turun ke lantai dasar gedung, bukan dengan lift, melainkan melalui tangga. Mengapa demikian? Karena setelah Agam memutuskan untuk membantu Kalya, laki-laki itu membuat beberapa aturan yang harus Kalya jalankan selama berproses menuju tujuan, yaitu salah satunya menggunakan tangga setiap kali gadis itu berada di kampus.Tidak lama kemudian Kalya tiba di ruangan Agam dengan napas yang sedikit tidak beraturan.
“Kenapa Bapak panggil saya? Padahal saya baru … saja sampe di kelas,” ujar Kalya dengan penuh kesal.
Agam tidak menyahuti Kalya yang sibuk berbicara. Laki-laki itu membereskan beberapa buku yang akan diberikan pada Kalya, agar dibantu bawakan oleh mahasiswinya menuju kelas.
“Nah, ini dia,” ucap Agam sambil menyodorkan empat buku yang sudah tersusun ke hadapan Kalya. “Tolong kamu bawakan ke kelas, karena saya harus ke ruangan akademik sebentar.”
“Aduh … Bapak, doyan banget nyusahin saya!” gerutu Kalya mengambil buku tersebut dengan terpaksa. “Capek banget saya, Pak.”
“Sekalian kamu olahraga, Kalya. Masih mau turun lagi gak angka timbangannya?" Agam bertanya dengan membawa embel-embel angka timbangan pada Kalya.
Kalya langsung tersenyum mendengar hal tersebut. Benar, setelah hampir satu bulan semenjak hari pertama dirinya dibantu olahraga oleh sang dosen, angka timbangan Kalya turun sangat drastis, yang semula 82.05 kini berada pada angka 73.00, yang artinya berat badan Kalya sudah turun lagi sebanyak 9,2 kilogram.
“Kalau itu siapa yang gak mau, sih, Pak,” balas Kalya dengan tersenyum senang membayangkan dirinya bisa menjadi kurus dan berhasil mencapai badan idealnya.
“Nah, itu dia. Sekarang cepat balik ke kelas,” usir Agam membuat Kalya mendengus. “Ingat, harus lewat tangga, jangan naik lift.”
Kalya membalikkan badannya menuju pintu keluar setelah meminta izin pada sang dosen. Kerap kali Kalya merasa jengkel dengan perintah dan semua perlakuan Agam, akan tetapi ia juga bersyukur karena Agam, dirinya bisa selalu rutin berolahraga dan ia mampu melawan rasa malas hingga ia bisa menurunkan berat badannya sampai hampir mencapai sepuluh kilogram.
Sepanjang jalan menuju kelas dengan melewati setiap anak tangga, senyum gadis itu tidak pernah pudar. Setelah kemarin berat badannya turun drastis membuat Kalya seperti tidak percaya pada usahanya selama ini, yang ternyata membuahkan hasil. Namun, Agam berulang kali mengingatkan Kalya, jika ini bukanlah akhir dari proses Kalya. Masih panjang proses yang harus gadis itu lalui, bahkan untuk berat badan ideal Kalya sendiri adalah berada di angka enam puluh dua kilogram.
“Lo pasti bisa Kalya. Semangat untuk kurus, karena banyak mulut sampah yang harus lo bungkamkan dengan hasil yang lo capai nanti.” Kalya memberikan kata semangat untuk dirinya sendiri.
Kalya tiba di kelas dan ternyata di sana sudah ada Eliva yang duduk manis di kursi. Setelah meletakkan buku sang dosen di atas meja, Kalya melangkahkan kakinya menuju kursi yang berada di dekat Eliva dan gadis itu segera menempati kursi tersebut untuk meminimalisir deru napasnya yang kembali ngos-ngosan karena tadi menaiki tiga putaran anak tangga.
“Loh, kok, gak cepet hari ini, Kay?” tanya Eliva heran dengan Kalya yang menurutnya datang sedikit terlambat dari pada hari biasanya.
“Enggak, tadi gue dimintai Pak Agam buat ngambil buku di ruangannya,” balas Kalya kembali berbicara dengan normal.
Eliva tertawa nyaring mendengar jawaban yang Kalya berikan dengan nada jengkel. Ia hanya senang melihat Kalya kesal karena ulah dosennya tersebut.
“Oh, ya, ngomong-ngomong selamat, ya, Kay, lo udah berhasil nurunin berat badan lo.” Eliva memberikan ucapan selamat pada pencapaian yang sudah diraih temannya.
Kalya menoleh ke arah Eliva. Mendadak hatinya langsung terenyuh ketika mendengar ucapan tulus Eliva yang mengapresiasikan pencapaiannya.
“Makasih, El. Makasih banyak karena lo mau mendukung proses gue dan lo mau bantu dalam penjadwalan makan gue. Padahal sebelumnya kita bukan siapa-siapa, tapi lo berhasil meyakinkan gue, kalo lo itu satu-satunya teman yang paling berharga di hidup gue.” Kalya membalas ucapan sang teman sambil mengutarakan isi perasaannya.
Eliva terbawa suasana haru yang diciptakan oleh Kalya. Gadis itu memajukan dirinya dan merengkuh tubuh Kalya. Apalagi keadaan kelas yang memang belum ramai membuat kedua gadis itu leluasa dalam mengeluarkan isi hati mereka selama dua bulan lalu berteman.
Sejatinya Eliva beruntung bisa berteman dengan sosok Kalya. Namun, Kalya lebih sangat beruntung karena sudah dipertemukan dengan seorang teman yang tulus, baik dan cantik luar dalam seperti Eliva.
“Oh, ya, Mama lo gimana keadaannya?” tanya Eliva setelah menguraikan pelukan keduanya.
Entah mengapa Eliva tiba-tiba teringat pada wanita yang kerap kali diceritakan oleh Kalya dalam beberapa hari terakhir.
“Mama sekarang udah jarang pergi ngajar dan kaki Mama semakin hari semakin berair,” balas Kalya menceritakan sekilas kondisi mamanya.
“Gak coba bawa ke rumah sakit lagi aja?” tanya Eliva lagi sembari memberi usulan pada Kalya.
Kalya menggeleng pelan. “Mama selalu nolak, kata Mama biayanya terlalu mahal, lebih baik tabungannya disimpan buat uang kuliah aku.”
Eliva menatap iba temannya yang begitu kesusahan dalam menjalankan kehidupan. Mengingat sang teman melewati ini semua dan merawat ibunya seorang diri dan tanpa adanya sosok ayah yang menemani.
“Ayo, Kay, gue bantu bawa Mama lobke rumah sakit, biar sekalian gue minta tolong sama bokap nyokap gue,” balas Eliva berniat ingin membantu.
“Eits, gak usah, El. Mungkin nanti pulang dari sini kami mau ke rumah sakit juga, kok,” tolak Kalya dengan halus.
Memang setelah perkuliahan selesai, Kalya akan menemani sang mama menuju rumah sakit untuk pengecekan lebih lanjut terkait bekas operasi wanita tersebut.
“Em, oke, deh, nanti kasih kabar perkembangan kondisi Mama lo, ya,” ujar Eliva lagi dan langsung mendapat anggukan kepala dari Kalya.
Tidak lama setelah perbincangan singkat pagi hari antara dua gadis tersebut selesai. Kemudian suasana kelas mendadak ramai dengan mahasiswa lain yang berdatangan masuk karena ternyata Agam–dosen mereka sudah berjalan memasuki kelas dan siap memberikan mereka perkuliahan.
***
Kalya berjalan melewati koridor fakultas yang juga terdapat mahasiswa-mahasiswa lainnya. Banyak pasang mata yang menatap Kalya. Bukan, tatapan ingin menghina yang mereka berikan, melainkan tatapan tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada tubuh Kalya. Hampir semua mahasiswa mengenali Kalya karena video yang sempat tersebar satu bulan lalu, tetapi kini mereka sudah melihat kembali Kalya dengan versi yang berbeda, karena gadis itu sudah terlihat kurus dari pada dua bulan lalu saat pertama kali menjadi mahasiswa.
Kalya berjalan lurus menuju ruangan Agam tanpa memperdulikan tatapan mereka yang terus memandangnya dan terkadang membisikkan sesuatu tentang dirinya kepada teman yang ada di sebelah mereka masing-masing.
“Weh, liat, dia itu bukannya cewek gendut yang ada di video waktu itu, ya?”
“Widih … udah kurus juga tu anak.”
“Amazing, ternyata cantik, ya, kalau pas kurusnya.”
Masih banyak lagi ucapan-ucapan lainnya yang masih bisa Kalya dengar di sepanjang ia melewati koridor untuk menuju ruangan sang dosen.
Kalya tersenyum miris, mereka benar-benar sangat tidak berperasaan. Mereka hanya akan menghargai seseorang, jika seseorang itu unggul di suatu bidang. Katakanlah seperti yang terjadi pada Kalya sekarang, mereka menghargai dan memuji Kalya ketika Kalya sudah berubah menjadi kurus dan cantiknya semakin menonjol.
“Kay, liat, noh, mereka pada sadar sama perubahan badan lo,” bisik Eliva senang pada Kalya.
“Manusia semuanya palsu, El. Mereka tidak benar-benar menghargai manusia sebagai manusia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatty Love (END)
RomansaKatanya, beauty privilege itu nyata. Itulah yang menimpa Kalya, cewek obesitas yang nekat menyatakan perasaannya berkali-kali kepada cowok ter-famous bernama Ansel, tetapi selalu ditolak mentah-mentah. Puncaknya pada malam prom night. Jawaban Ansel...