30. Penerimaan?

191 14 3
                                        

“Kay, lo serius mau kerja? Kenapa lo mau kerja?” tanya Eliva terkejut dengan pernyataan Kalya, yang tiba-tiba mengatakan ingin mencari pekerjaan.

“Iya, El, gue serius,” sahut Kalya membenarkan lagi ucapannya tadi.

Kini, kedua gadis tersebut sedang berjalan di koridor fakultas. Kalya dan Eliva baru saja keluar dari kelas setelah mata kuliah terakhir terselesaikan.

“Terus, pulang ini lo mau langsung ke resto yang mau lo lamar kerja itu?” Eliva kembali memastikan keinginan temannya yang benar-benar ingin bekerja.

“Iya, pulang ini gue ke sana langsung.” Kalya menjawab seadanya.

Keduanya berbincang sepanjang jalan. Namun, di belakang mereka ada seorang laki-laki yang juga berjalan dan tentu saja dapat mendengar isi perbincangan kedua gadis itu.

Ketika Kalya akan memutar haluan menuju area parkiran, sebuah suara menginterupsi indra pendengaran Eliva dan Kalya.

“Kalya, ke ruangan saya dulu,” titah seorang pria dengan suara yang sangat familiar, yaitu Agam.

“Ada apa, ya, Pak?” Kalya memutar balikkan tubuhnya untuk menatap seseorang yang berada di dekatnya.

“Datang saja,” sahut Agam santai.

Kalya lagi-lagi harus menuruti permintaan laki-laki itu. Kalya menatap sahabatnya yang juga masih berada di sana meminta pendapat gadis itu. Setelah mendapatkan dorongan dari Eliva, barulah Kalya mengikuti Agam menuju ruangan laki-laki tersebut, sedangkan Eliva langsung bergegas pulang.

Kini keduanya sudah berada di dalam ruangan Agam. Di mana laki-laki itu sibuk dengan berkas-berkasnya, sementara Kalya hanya disuruh duduk di sofa yang ada di sana.

“Pak, maksud Bapak nyuruh saya ke sini apa? Bukannya kasih kejelasan, malah Bapak sibuk sendiri,” protes Kalya kesal dengan perintah yang tidak jelas dari dosennya tersebut.

Agam memberhentikan aktivitasnya dan beralih menatap Kalya. Kemudian laki-laki itu bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri gadis yang barusan ia bawa bersamanya.

“Kenapa kamu nyari kerja?” tanya Agam langsung pada Kalya.

Kalya sedikit terkejut mendengar pertanyaan laki-laki tersebut. Ia rasa, dirinya tidak mengatakan hal tersebut kepada siapa pun, kecuali Eliva. Lantas mengapa dosennya tersebut mengetahui rencananya ingin mencari pekerjaan.

“Ya, mau aja, Pak,” jawab Kalya seadanya. Tidak mungkin ia mengatakan jika ia bekerja, karena ingin membantu ekonomi mamanya.

Kalya tidak mau orang mengetahui hidupnya yang sudah terbilang sulit setelah ditinggal mati papanya. Oleh karena itu, Kalya tidak mengatakan tujuan utamanya untuk bekerja. Biarkan orang mengetahui sebagian kebahagian dari hidupnya, tapi tidak untuk mengetahui kesulitannya.

“Bapak cuma mau nanya itu?” tanya Kalya tak percaya dengan tujuan laki-laki itu memanggil kemari hanya untuk menanyakan alasannya ingin bekerja.

“Bukan.”

“Terus, Bapak mau apa? Saya buru-buru ini.” Kalya sudah geregetan berbicara dengan pria di hadapannya ini.

Pasalnya belum pun ia bekerja, hanya untuk melamar kerja saja ia sudah terlambat.

“Kamu bisa kerja di pusat kebugaran milik saya,” balas Agam menawarkan pekerjaan di Pranandipa’s Gymnastic.

“Seriusan, Pak? Emang boleh cewek kerja di tempat begitu?” tanya Kalya tak yakin dengan tawaran dosennya.

“Iya, Kalya, kamu bisa kerja di sana nanti di bagian kasir.” Agam memperjelas tawaran dan posisi jika Kalya bekerja bersamanya nanti.

“Wah … makasih banyak, Pak!” seru Kalya kegirangan dan langsung memeluk tubuh tegap milik Agam.

Jantung Agam kembali lagi tidak bisa diajak bekerja sama. Bagaimana bisa mahasiswinya langsung memeluk dirinya di saat ia sedang menahan gejolak dari dalam hatinya.

Lagi-lagi Kalya dibantu oleh Agam. Entah harus dengan cara apa nantinya ia akan membalas semua kebaikan laki-laki tersebut.

Kalya, jangan bawa saya kembali dalam cinta. Saya gak mau kembali kecewa dan terluka. Apa lagi sekarang Jarvis akan mengambil kamu, batin Agam lirih.

Setelah ia tahu, jika laki-laki yang dulu dicintai oleh Kalya akan mencoba memperjuangkan gadisnya. Apakah dirinya akan tetap mempunyai peluang? Atau cintanya hanya tinggal sebagai angan-angan.

***

“Siap, Pak. Saya akan laksanakan semua perintah sesuai seperti yang Bapak bilang,” respon Kalya mengangguk antusias dengan semua peraturan yang dinyatakan oleh pria tersebut.

“Kalau begitu kamu langsung boleh bekerja hari ini.” Agam mempersilakan ruang untuk gadis tersebut.

Kalya lagi-lagi mengangguk mantap. Ia benar-benar sangat antusias busa bekerja di tempat olahraga tersebut, selain dirinya bisa bekerja, ia juga bisa berolahraga jika saja tidak ramai akan pengunjung yang datang.

Dari lain sisi, sekumpulan pemuda baru saja tiba di tempat olahraga tersebut dengan sebuah mobil. Mereka langsung bergegas berjalan menjauh dari area parkiran menuju bangunan tersebut.

Suara gelak tawa terdengar begitu renyah. Kini mereka sedang sama-sama menertawakan temannya yang sudah terjilat dengan ludah sendiri.

“Makanya, Sel, jangan belagu jadi orang. Noh, sekarang mana harus minta bantuan bang Agam lagi buat ngedapetin balasan Kalya doang,” ledek Dimas pada Ansel. Laki-laki itu tidak berhenti tertawa, bahkan sedari tadi di dalam mobil.

“Diem, deh, lo,” sinis Ansel pada temannya yang laknat.

Padahal dirinya sudah berusaha menutup-nutupi rencananya mendapatkan Kalya dari teman-temannya. Namun, yang namanya Jarvis tetap Jarvis, laki-laki itu yang membocorkan rencana Ansel dan laki-laki itu yang menyebarkan jika bahwasannya Ansel sudah jatuh cinta ketika melihat Kalya dalam versi baru.

“Makanya, jangan mandang fisik,” imbuh Panji ikut meledek Ansel.

Jarvis hanya ikut tertawa saja. Ia tidak perlu lagi untuk memanasi Ansel, karena ia adalah orang pertama yang sudah melakukan itu.

Sepanjang jalan mereka tertawa dan tibalah keempatnya di depan pintu masuk berbahan kaca. Tidak mengulur waktu, dengan cepat Ansel mendorong pintu tersebut. Satu dua langkah mereka berjalan, hingga tiba di mana mata mereka terpaku pada dua orang yang sedang berbicara di bagian kasir.

“Bang!” teriak Jarvis memanggil abangnya.

Kedua manusia yang ada di bagian kasir pun, sontak menoleh ke asal suara. Kalya dan Agam terkejut dengan kedatangan empat sekawan tersebut.

“Kenapa kemari?” tanya Agam menatap mereka satu persatu.

“Ni, Bang, si Ansel mau minta bantuan, biar Kalya mau bales chat dia,” papar Jarvis jujur tanpa memperdulikan tatapan tajam Ansel.

Bagaimana harga diri Ansel, ketika Jarvis mengatakan hal tersebut di depan Kalya langsung.

“Gak, kok, Bang, gue ke sini ada perlu sama Kalya,” sahut Ansel sambil menatap Kalya.

“Perlu apa sama gue?” tanya Kalya dengan menaikkan alisnya.

Kalya tidak tersenyum manis pada Ansel selayaknya ketika ia dulu di SMA. Sekarang Kalya bersikap netral saja, jika orang tersebut baik, maka ia akan kembali bersikap baik. Namun, jika orang tersebut bersikap sebaliknya, maka Kalya akan mengikuti cara mainnya. Salah satunya, ya seperti laki-laki yang ada di hadapan dirinya sekarang.

Kini hanya tinggal dirinya dan Ansel di sana, sedangkan yang lain sudah diminta pergi ke ruangan lain oleh Jarvis, bahkan pemuda itu mengusir abangnya dari sana, agar Kalya dan Ansel bisa leluasa berbicara.

“Gue rasa lo udah baca pesan gue, jadi lo udah tau apa maksud gue, Kalya.” Ansel memberi sinyal awal pada Kalya.

“Iya, gue udah baca,” sahut Kalya menatap sekilas Ansel.

“Apa jawaban lo? Maafin gue, kan? Gue bakalan nebus kesalahan gue dulu. Lo juga mau jadi pacar gue, kan?” Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ansel.

“Iya, gue mau.”

Fatty Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang