10. Niat Eliva

74 26 6
                                    

Happy Reading guys 💚

°
°
°

Matahari semakin membenamkan dirinya ke ufuk barat. Pertanda jika bulan akan datang untuk menghiasi malam. Seorang wanita sedari tadi menunggu kepulangan anaknya. Itu adalah Sari, berulang kali ia menelpon Kalya, tetapi tidak pernah terangkat.

“Dari mana aja kamu, Lia?” Sari langsung bangkit dari sofa ketika pintu utama rumah terbuka yang di sana terdapat putri semata wayangnya. “Jawab Mama!”

Kalya melirik sekilas ke arah sang mama dan ia tidak berniat untuk menjawab soalan mamanya. Kalya berjalan melewati posisi di mana Sari sedang berdiri.

“Kenapa tadi kamu pergi gitu aja pas mama lagi ngomong?” Sari langsung menahan tangan Kalya, hingga membuat langkah gadis itu terhenti

“Jadi, aku harus dengar semua kata-kata yang menyakitkan dari mulut mama, iya?” Kalya menghadap mamanya. Gadis itu memutuskan untuk menyahuti wanita di depannya. “Lagian terserah aku mau pergi ke mana, Ma. Apa Mama peduli punya anak yang besar ini? Gak, kan?”

"Kamu marah karena mama ngelarang kamu makan banyak?” Sari mulai geram dengan anak yang keras kepala ini.

“Gak, aku gak marah! Tapi, cara Mama yang salah. Mama gak pernah ngertiin perasaan aku! Mama cuma bisanya nyuruh, nyruh dan nyruh biar aku kurus! Tapi mama gak pernah sekalipun dukung aku dan bantu aku di saat semua teman-teman sekolah aku dulu ngehina aku!” raung Kalya di depan mamanya dan gadis itu memilih langsung beranjak dari sana.

Sari mendengar semua pernyataan yang keluar dari mulut putrinya. Dalam hatinya yang paling dalam, Sari tidak ada niatan untuk mematahkan semangat anaknya. Ketika ia menegur Kalya siang tadi, itu murni untuk mengingatkan anak itu, mungkin hanya saja Kalya salah menanggapi.

“Bukan begitu maksud Mama,” lirih Sari terduduk langsung di sofa ruangan.

Beralih dalam kamar di mana Kalya yang langsung mandi. Keringat yang sedari tadi mengucur membasahi tubuh berisinya, sangat-sangat membuatnya tak nyaman. Tak lama kemudian Kalya selesai dan gadis itu langsung menuju cermin yang ada di sana.

Kalya memutar ke kiri dan ke kanan untuk melihat keseluruhan bentuk tubuhnya. Helaan napas kembali ia keluarkan, ketika ia tidak menemukan perubahan apapun di tubuhnya, padahal ia sudah sebulan lebih melakukan latihan otot dan tidak makan banyak.

“Kok, gak ada perubahan, ya?” keluhnya dengan raut kecewa. “Capek banget, gak sanggup lagi.” Kalya kembali menurunkan air matanya.

Kalya menangis karena sudah terlalu lelah dalam berusaha. Badannya sakit-sakitan dan juga ia tidak lagi pernah memakan jajanan kesukaannya, kecuali tadi siang ia hanya makan es krim lima bungkus. Ketika es krim terlintas di kepalanya, seketika pikiran Kalya tertuju kembali pada kejadian di gym tadi.

Kejadian di gym sore tadi.

“Apa kamu bersedia, jika saya membantu kamu dalam mewujudkan keinginan kamu?”

Kalya yang hendak melatih tubuhnya dengan alat yang bernama treadmill, sontak mengalihkan pandangannya kepada laki-laki yang baru saja memberinya sebuah tawaran.

“Kenapa Bapak ingin membantu saya?” tanya Kalya menelisik.

Pasalnya dari masa pubertas, yaitu pada masa sekolah menengah pertama hingga dirinya mengayomi ilmu di sekolah menengah atas, tidak ada satu orang pun yang peduli pada dirinya. Jangan kan peduli, bahkan ketika Kalya meminta bantuan mereka saja, tidak ada yang berniat membantunya, seperti kejadian di kampus siang tadi.

“Karena saya ingin. Tapi, jika kamu gak mau, ya tidak apa-apa,” imbuh Agam sekilas. Ia hanya menawarkan, jika gadis itu tidak bersedia, ya tidak masalah.

Kalya mencerna tawaran dan jawaban yang baru saja diberikan dosennya. Ia takut jika tawaran laki-laki yang sedang berada di depannya ini adalah berbentuk sebuah ejekan terhadapnya.

Kalya memilih diam tak bergeming di tempatnya, hingga Agam paham perasaan Kalya dan lebih memilih meninggalkan gadis itu seorang diri di sana.

Kembali lagi pada Kalya yang berdiri di depan cermin sambil tersenyum kecut. Masih banyak ketakutan di dalam pikiran Kalya, hingga ia tidak memiliki keberanian dengan untuk mempercayai seseorang.

“Maaf, saya belum yakin, Pak,” ucap Kalya pada seseorang yang tidak ada wujudnya di sana.

***

Tujuh hari berlalu dengan cepat dan tak terasa sudah selama satu minggu Kalya menjadi mahasiswa. Hari ini adalah hari di mana, Agam yang mengajar di kelas Kalya dan gadis itu juga yang menjadi asisten dosen di mata kuliah pengantar ilmu komunikasi.

Kalya memang datang cepat pagi ini, karena ia menghindari bertemu dengan orang-orang yang senang merendahkan orang lain, apalagi tentang fisik. Ia tidak mau jika kejadian satu minggu yang lalu kembali terulang di minggu keduanya berkuliah.

“Kay, kok, cepet banget datangnya?” Eliva yang baru saja datang dan langsung mengambil tempat di samping Kalya.

“Sengaja biar cepat sampe di kelas,” sahut Kalya menatap temannya.

“Gue tebak, pasti lo belum sarapan, kan?” Eliva mengeluarkan kotak bekal yang berisikan dua buah sandwich di dalamnya.

Kalya tersenyum kaku. “Lo aja yang sarapan.”

“Ayo, ikut makan. Lagian gue sengaja bawa dua, biar bisa makan bareng lo,” ajak Eliva kembali.

“Gue lagi diet, jadi gak makan dulu.”

Benar Kalya memang tidak sarapan, karena ia akan benar-benar tidak makan apapun, agar proses penurunan berat badannya semakin cepat turun.

Jawaban Kalya sontak menghentikan aksi Eliva yang hendak memasukkan sandwich itu ke dalam mulut. Eliva tersenyum mendengar pengakuan Kalya yang sedang diet, tetapi ia merasa miris ketika mendengar bahwasanya temannya itu tidak akan makan dulu.

“Kay, gue seneng denger lo lagi diet. Tapi, yang namanya sarapan jangan di skip. Nanti kesehatan lo dan proses diet lo bakal keganggu, kalau tubuh lo gak ada energi,” papar Eliva pada Kalya yang masih awam ilmu tentang itu.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Eliva. Jika sedang dalam proses penurunan berat badan, jangan pernah sekali-kali tidak sarapan atau bahkan tidak makan apapun sama sekali, karena itu akan berpengaruh pada proses yang sedang kita jalani. Nanti, bukannya cepat prosesnya, malah membuat proses diet itu gagal.

“Udah berapa lama lo ngejalanin cara ini?” tanya Eliva baik-baik. Gadis itu ingin memberi pemahaman pada temannya.

Kalya mendengar itu menjadi bimbang dengan keputusan yang telah diambil selama satu minggu terakhir ini. Ia memilih untuk tidak lagi sarapan dan kadang-kadang hampir tidak makan sama sekali, karena ia hanya ingin berproses dengan cepat, yang pada nyatanya ini adalah cara yang salah.

“Baru satu minggu ini,” jawab Kalya dengan bahu melemas. Ia bingung harus bagaimana lagi, karena semua cara yang ia lakukan tidak ada hasil dan cara yang sekarang juga adalah cara yang salah. "Habisnya, gue bingung, dengan cara apa lagi yang harus gue coba.

“Jangan putus asa gitu,” pesan Eliva sambil mengusap lengan Kalya. “Ayo, bangkit dan berusaha lagi. Gue bakal bantu lo.”

TBC

Fatty Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang