13. Curhat Kalya

68 24 3
                                    

Happy Reading guys 💚

Kalya berpisah dengan Eliva ketika di parkiran. Semua orang yang ada di sekitaran sana menertawakannya, yang ia yakin jika mereka semua sudah melihat video memalukannya. Lantaran sekarang di jurusannya tidak ada yang mengenalinya, Kalya sudah sangat malu setengah mati. Apalagi jika ada satu atau dua orang yang merupakan kenalannya di SMA dulu, mungkin Kalya akan lebih malu dari ini.

Kalya membawa motornya keluar dari area parkiran kampus. Kini, yang menjadi tujuan pulangnya bukan lagi rumah, melainkan pusat kebugaran milik dosennya. Tangis yang sedari tadi ia tahan, seketika tumpah bersamaan dengan terpaan angin.

“Awas aja lo semua. Gue bakal buktiin ke lo semua kalo gue juga bisa berubah jadi kurus dan cantik,” ucap Kalya sambil mengusap kasar air matanya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan sebelah lagi masih setia mengimbangi motor.

Banyak sudah penghinaan yang Kalya terima. Setelah hari ini, ia tidak akan pernah lagi mendengarkan kata-kata cacian dan hinaan dari mulut mereka. Kalya berjanji pada dirinya sendiri, mulai hari ini ia akan lebih lagi berusaha untuk mendapatkan badan idealnya dan membungkamkan semua mulut yang pernah menghinanya. Mulai dari teman masa SMA, yaitu Ansel, maupun mahasiswa yang ada di fakultasnya. Berbicara tentang Ansel, gadis itu tidak pernah lagi mendengar kabar apapun tentang laki-laki yang selalu mematahkan cintanya dan juga yang selalu mempermalukannya.

“Gue pastiin, lo bakal nyesel karna nolak gue di SMA dulu.”

***

Di dalam ruangan yang penuh dengan alat gym. Seorang Kalya tidak lagi merasa lelah dalam mengangkat beban, karena yang kini menurutnya yang paling membuat lelah adalah ocehan dari mulut sampah orang-orang.

Sejak siang pulang kuliah tadi gadis itu itu latihan dengan treadmill. Tak cukup sampai di situ, kemudian Kalya melanjutkan latihan otot tangannya dengan mengangkat dua buah barbel. Gadis itu berolahraga dan mengangkat beban semenjak masih banyak orang yang ada di gym, hingga menjelang malam dan orang-orang sudah pada pulang, tetapi Kalya masih setia dengan olahraganya yang berteman air mata.

Kini hari sudah mulai gelap dan Kalya masih berada di pusat kebugaran tersebut. Padahal ada beberapa personal trainer yang sudah menyuruh Kalya untuk kembali dan beristirahat, namun Kalya menolak untuk kembali dan tetap ingin melanjutkan latihannya. Bahkan, sekarang gadis berisi itu akan berpindah pada alat yang lebih berat untuk takaran seorang wanita.

“Jangan dipaksa, Kalya,” cegah Agam sambil menahan tangan Kalya yang hendak mengangkat besi berat tersebut.

Kalya menoleh ke arah suara yang ia kenali tersebut. Ia menghembuskan napasnya panjang. Lagi-lagi seorang Agam Pranadipa selalu ada di kala situasi hati Kalya yang sedang tidak baik-baik saja.

“Lepas, Pak. Saya masih mau berolahraga,” pinta Kalya dan menepis pelan tangan sang dosen yang menahan tangannya.

Agam tidak melepaskan tangannya pada Kalya. Laki-laki itu malah menarik mahasiswinya itu ke arah kursi yang ada di sisi loker. Agam mendudukkan Kalya di sana dan menyerahkan satu botol air dan sehelai handuk kecil pada Kalya.

“Minum dan lap keringat kamu dulu,” titah Agam.

Kalya melirik Agam sekilas sebelum dirinya mengikuti perintah laki-laki tersebut. Kalya heran, mengapa selalu ada di gym dan di saat dirinya sedang dalam keadaan bermasalah. Iya, Kalya tahu jika gym itu adalah milik laki-laki tersebut, tetapi kenapa selalu dalam hal yang tidak mendukung.

Agam memperhatikan wajah lelah dan sedih milik Kalya. Ia sangat mengerti dengan kondisi mahasiswanya yang satu ini. Agam yakin jika aksi Kalya hingga malam ini, asal muasalnya karena kejadian pagi tadi yang sempat ia lihat. Di mana Kalya dipermalukan oleh mahasiswa lainnya di jalan koridor kelas.

“Kalya, jangan terlalu banyak berolahraga. Saya tau kamu marah dengan mereka, tapi gak gini caranya,” ucap Agam kembali menasehati Kalya. Agam tahu jika niat Kalya ingin berubah, tetapi tidak dengan cara menyiksa dirinya sendiri dengan berolahraga hampir seharian penuh.

“Bapak, mah, enak asal ngomong doang, tapi aku yang ngerasain malunya. Aku dihina semenjak SMA,” ungkap Kalya dengan suara yang berubah menjadi parau di akhir kalimatnya. "Aku gak pernah beruntung dalam hal apapun."

Benar, perempuan itu menangis di depan dosennya langsung. Kalya tidak sanggup mendengar omongan orang-orang yang terus menerus mematahkan keinginannya. Jika ia tidak berolahraga, maka dia disuruh untuk berdiet dan jika dirinya sudah berolahraga, sekarang dirinya malah disuruh agar tidak terlalu banyak berolahraga. Jadi, apa yang sebenarnya harus ia lakukan, karena semua yang ia lakukan adalah kesalahan.

“Jadi mau Bapak itu gimana? Semua yang aku lakuin salah mulu. Aku cape dihina gendut,” ucap Kalya dengan sisa-sisa tangisnya.

Agam menghela nafas beratnya. Kemudian ia memegang bahu Kalya agar keduanya bisa saling berhadapan.

“Maaf jika perkataan saya menyinggung kamu. Langkah kamu ingin berolahraga dan ingin berubah itu benar, hanya saja tidak seperti ini, Kalya. Kamu boleh melakukan apapun, tapi jangan sampai berjam-jam lamanya. Badan kamu butuh istirahat, begitu pula dengan jiwa kamu yang juga butuh istirahat dari omongan orang-orang.” Agam memberi pengertian pada Kalya jika kesalahan gadis itu hanyalah dalam lamanya durasi dalam berolahraga.

Bahu Kalya masih bergetar karena sesenggukan. Ia mendengar dan memahami apa yang dikatakan oleh dosennya itu. Ternyata ia tidak salah, hanya saja dirinya terlalu lama dalam berolahraga yang mengakibatkan badannya menjadi terlalu lelah sekarang.

“Saya tidak paham dengan cara-cara ini semua, Pak,” adu Kalya pada Agam, yang memang gadis itu belum banyak pengetahuan dengan dunia penurunan berat badan.

“Pernah saya tawarkan untuk saya bantu, tapi kamu nya yang gak mau, kan?” Agam kembali mengingatkan jika dirinya pernah menawarkan Kalya untuk ia bantu dalam proses penurunan berat badan gadis itu.

Kalya memutar ingatannya. Ternyata benar, dosennya ini pernah ingin membantunya, akan tetapi tidak ia jawab karena Kalya takut jika itu ternyata adalah sebuah hinaan yang dikemas dalam bentuk tawaran bantuan.

“Maaf, Pak. Saya kira Bapak cuma mau mengejek saya,” sesal Kalya karena telah berburuk sangka kepada laki-laki di depannya.

Agam tersenyum mendengar pengakuan Kalya. Tidak heran jika Kalya mempunyai pikiran begitu, karena gadis itu pasti merasa ada kejanggalan tiba-tiba ada yang menawarkan bantuan untuk membantunya berproses di saat orang lain sibuk menghinanya.

“Tidak masalah, jadi sekarang kamu siap jika saya ikut membantu?” tanya Agam seakan meminta konfirmasi dari Kalya.

Kalya mengangguk dan tersenyum dengan pipinya yang masih ada bekasan air mata.

“Ingat, mulai besok jangan bunuh diri kamu sendiri, hanya karena kamu ingin membalas perkataan orang lain, ya.” Agam kembali berpesan dan mengusap lembut bahu Kalya.

Kalya kembali mengangguk paham. Ternyata pikirannya yang berpikir buruk terhadap Agam adalah sebuah kesalahan. Buktinya sekarang, perlakuan Agam kepadanya tidak terlalu buruk dalam hal ini, akan tetapi tetap buruk jika sedang menjadi dosen di kampus.

Di depan lobi kasir yang memang langsung terlihat ke arah ruangan gym yang berdampingan dengan area loker, di mana Kalya dan Agam berada, dua manusia yang setia memperhatikan mereka.

“Liat, tuh, anak udah pinter lagi, Ma,” adu sang anak bungsu kepada mamanya.

Perempuan yang dipanggil mama, tentu saja mengangguk kepalanya menyetujui dengan apa yang dikatakan si bungsu.

“Duh, dari sekian lama, akhirnya dia ngomong juga sama perempuan, ya, Vis.”

Fatty Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang