Bagian - 29

478 48 3
                                    

"Aku nggak nyangka Raga masih ngebolehin kamu berhubungan sama mantan pacarmu. Itu yang barusan antar kamu, mantan pacarmu kan? Dia dokter SpKK. Waktu itu aku pernah berobat di dia, dan nggak sengaja lihat foto kalian berdua di meja kerjanya." Tidak menyangka akan ada perempuan ini di rumahnya. Saudara perempuan Raga yang berstatus ipar.

Dara tidak ingat pernah berbuat salah pada perempuan yang berdiri di hadapannya ini. Seingat Dara, dulu mereka cukup dekat, sebelum Raga dan keluarganya pindah ke luar kota. Satu-satunya alasan yang membuat komunikasi keduanya terputus. Jadi, seharusnya Aina tidak bersikap aneh begini saat akhirnya bertemu dengan kenalan lamanya. Terlebih sekarang keduanya sudah menjadi saudara per-iparan.

Jika Dara yang berada di posisi Aina, Dara justru senang karena perempuan yang akan menjadi adik iparnya itu orang yang sudah dikenalnya. Sudah saling paham kepribadian masing-masing, sehingga memudahkan untuk beradaptasi.

Tapi, di pertemuan pertama keduanya bertemu kembali, Aina sudah menunjukkan taringnya. Beberapa kali Dara membuka obrolan dan mencoba membahas masa lalu, Aina seperti sengaja abai. Tidak menghiraukan keberadaan Dara, seolah ia makhluk tak kasat mata. Sempat terbersit, ingin membahas perihal ini dengan Raga, tapi berhasil ditepis. Dara memilih posisi aman, berkeluh kesah tentang orang yang tidak menyukainya sama dengan petaka. Bagus jika Raga membelanya, tapi jika sebaliknya, bagaimana Dara bisa mempertahankan harga dirinya lagi?

"Kenapa diam?" Sentak sang ipar. "Kalian lagi ada masalah kan? Kamu pikir aku nggak tahu!"

Dara cukup kaget dengan kalimat frontal kakak iparnya kali ini. Mungkinkah Raga sudah membocorkan permasalahan rumah tangganya pada keluarga besar?! Sial!

"Mungkin Raga dan orang tuaku bisa kamu bodohi. Tapi nggak denganku." Lanjut perempuan itu. "Bulan lalu kalian pisah ranjang kan? Raga sering menginap di apartemen. Kamu juga sempat nginap di rumah orang tuamu sampai berhari-hari. Raga memang menutupi permasalahan kalian. Mama-Papa mungkin nggak akan tahu. Tapi aku, segala polah tingkahmu, aku tahu."

Tadinya Dara ingin mempersilakan perempuan ini ke dalam rumah, tapi agaknya sang tamu tidak memerlukan penyambutan yang hangat darinya. Posisi keduanya sekarang bahkan masih berdiri saling berhadapan di teras rumah. Jujur, Dara tidak terlalu peduli, perkara perempuan ini yang mendadak mirip detektif, dan ikut campur urusan pribadinya. Yang jelas, hubungannya dengan Raga saat ini sudah membaik.

"Kenapa kamu nerima lamaran Raga kalau kamu masih berat sama masa lalumu, hah?! Barusan kamu main api lagi. Kamu pikirin perasaan adikku yang sudah terlanjur cinta mati sama kamu nggak sih?! Apa aku harus turun tangan begini biar kamu mau menghargainya sebagai suami?!"

"Mbak Aina ...." Tahan Dara lirih. Melihat amarah Aina yang meledak-ledak membuatnya heran.

Sang ipar mengibas. "Nggak usah sok kalem. To the point saja! Kasih tahu alasanmu. Setidaknya, kalau kamu emang nggak sanggup ngasih hatimu ke Raga, mending kamu gugat dia. Mumpung belum lama nikah, sakit hati Raga nggak butuh lama untuk sembuh. Mumpung kalian juga belum ada anak, yang akan jadi korban saat kedua orang tuanya bercerai."

Dara mengangguk dua kali. Tatapannya ditujukan sepenuhnya pada perempuan bergelar ipar. "Aku minta maaf, Mbak. Aku salah, dan aku menyesal. Tapi, aku sudah nggak ada hubungan apa-apa sama Gabriel. Sekarang kami murni rekan kerja. Tadi, aku sudah tungguin Raga jemput, tapi karena Raga masih sibuk, akhirnya aku pulang duluan. Aku juga sudah izin lewat chat dan Raga sudah iyain. Aku minta maaf kalau keputusanku pulang bareng Gabriel membuat Mbak Aina nggak setuju. Lain kali nggak akan aku ulangi."

Aina memicing. Seolah tengah menilai kebenaran pada ucapan Dara.

"Mbak Aina bisa pegang kata-kataku. Kali ini aku berjanji." Lanjut Dara meyakinkan.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang