31. Sayang sampai Mati

17 1 0
                                    


Mencintaimu itu seperti dahaga, jika diberi air lega. Namun, jika tidak pun aku tetap menahannya meski harus mati.
-El

"Kenapa lo bisa begini, sih Nya? Lo sakit?? Coba cerita mungkin aja gue bisa bantu" Hendra tidak mengerti kenapa dengan gadis yang sekarang sedang terisak parah.

"Gue nggak maksa lo buat cerita sekarang, tapi tenang dulu. Tadi Elvan nelepon katanya dia mau ke sini, lo bisa cerita ke dia semuanya"

Belum ada balasan atau tanda-tanda Anya mau angkat suara. Akhirnya, Hendra memutuskan beranjak dari tempat duduk dan meraih kepalanya untuk ia usap. Alih-alih mereda, tangisan Anya justru semakin menjadi-jadi. Sembari menunggu Elvan datang, Hendra berusaha menenangkan gadis yang sedang memiliki masalah yang ia tak tahu apa masalahnya.

"Gue nggak maksa lo buat berhenti nangis, tapi setidaknya jangan nyiksa diri sendiri neng geulis, bageur, sholehah sok we kalem. " (nona cantik, baik, sholehah tenang aja) suara Hendra memang terdengar cukup menghibur.

"Hen, gue se-enggak berharga itu ya buat Papa...? Gue salah apa sampai dia mau pacaran aja sembunyi-sembunyi dari gue" tangisannya lebih pecah daripada sebelumnya.

"Gue nggak bisa ngelakuin apa-apa, ngehibur lo pun gue nggak paham gimana. Kita tungguin Elvan aja ya? Dia lagi di jalan" perkataan tersebut yang terakhir terdengar.

Suasana kembali tenang dan Anya mulai mereda. Namun, hujan di luar tanpa tanda-tanda turun begitu saja.

ʚෆෆෆɞ

Hujan tak telak membuatnya enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Anya sekarang sedang membutuhkan dirinya, dia harus kuat. Anak itu mengayuh sepeda ontelnya di tengah hujan airnya beriak banyak di bawah kakinya. Tiba-tiba saja ia menerima telepon dari Hendra, anak itu bilang bahwa gadisnya ada di rumahnya sedang menangis tak menentu, diberi pertanyaan saja ia tak menjawab. Elvan yang saat itu hanya mendengar suara Hendra dan gadisnya langsung bergegas.

Aku mohon, jangan terjadi apa-apa!

Sepanjang jalan dirinya berdoa, semoga gadis itu hanya sedang gundah. Semoga saja Anya cuman ingin dia perhatikan sebentar. Ia mengabaikan perutnya yang sejak tadi berbunyi karena belum sempat diisi. Ingin makan saja harus ada izin dari Mama. Di tengah perjalanan, matanya menangkap seseorang yang sedang berteduh di bawah pohon rindang yang tak cukup untuk menaungi tubuh dan dagangannya. Elvan menepi ke pinggir jalan, tepat di depan pria paruh baya itu sembari tersenyum padanya. Terlihat bahwa ia juga sedang menunggu hujan reda.

"Permisi, apa saya boleh ikut berteduh sebentar?"

Suara kecerdasan buatan terdengar dari ponselnya. Awalnya, Bapak itu tampak bingung siapa yang bicara. Namun, dia tersenyum kemudian mempersilakan Elvan duduk.

"Aden mau duduk mah mangga teu sawios, pohonnya lega Den" katanya ramah.

Aden...?

Sebenarnya Elvan sedikit keberatan dipanggil seperti itu. Rasanya geli karena dia yang sudah lulus masih dipanggil "Aden" seperti keturunan bangsawan saja, tapi Elvan tetap memberikan senyum menawannya pada pria tua itu. Duduk di sebelahnya sambil mengajak berbincang, meskipun si Bapak seperti agak canggung tapi tidak dengan Elvan.


"Saya dengar akhir-akhir ini, cuacanya jelek ya Pak. "

"Iya eung, Bapak juga takut kalau bakalan banjir, apa lagi di jalan raya kayak gini suka banyak yang kecelakaan"

Lirih [Park Jisung] || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang