0.5 Harap yang Hancur

28 3 2
                                    

____________________________________
Katanya, terlalu berharap pada manusia itu memang sakit.
-lirih
_____________________________

"Ada yang mau aku diskusikan"

Anya masih geming, gadis itu tak berkutik. Tatkala Elvan berdiri di depannya, mereka berhadapan di bawah pohon linden yang tumbuh subur dekat taman sekolah. Perlahan, tubuh Anya bergetar saat melihat tatapan laki-laki itu yang memandangnya begitu tulus. Gurat wajahnya terlihat menenangkan, terpaan angin membelai rambut hitamnya yang tebal membawanya terbang ke sana kemari. Seolah-olah Elvan sebuah patung yang dipahat oleh seniman terkenal, terlalu indah untuk digambarkan.

"Maaf, jika ini buru-buru. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku padamu"

Elvan pernah dengar, bahwa dalam sebuah pertemuan pasti ada perpisahan. Mungkin, sekarang waktunya mereka berpisah, walau nanti sesal hinggap karena bukan dirinya yang memiliki gadis itu. Wajar jika ia kecewa dengan penolakan yang kentara, sebab baginya Anya adalah semesta. Tempat di mana ia mengadu dalam bisu. Menuangkan segalanya pada sang pujaan hati lewat surat.

"Bentar, aku mau tanya. Apa surat-surat di loker kamu yang kirim?" akhirnya dia mau bersuara, meski sedikit serak.

Alih-alih menjawab, anak itu justru membatu. Ia hanya menatap Anya lekat-lekat. Sorot matanya teduh, menenangkan. Yang semakin membuat Anya terpikat ke dalam rasa bersalah, terkurung dalam sebentuk ungkapan 'maaf' tak terucap.

"Aku anggap jawaban kamu 'iya', kamu nggak capek apa? Ngirim surat ke orang yang bahkan nggak ngebales kamu satu kalipun" Anya menarik napas panjang. "Kalau mau surat menyurat, mending sama orang yang ngebales walau cuman sekali" katanya lagi, kini dirinya menunduk tak berani menatap.

Entah kenapa, rasanya tidak tega sekaligus sesak ketika menyampaikan hal tersebut. Seakan Anya memang tidak patut bicara sarkastis padanya, serupa seorang kekasih yang tak rela memutuskan hubungan. Tapi, bagaimanapun ia harus berani angkat bicara atas apa yang mengganggunya setiap minggu. Tanpa disadari, Elvan menuliskan sesuatu di atas ponselnya. Lalu, menunjukkannya pada Anya yang masih menundukkan kepala.

"Aku tak memaksamu untuk membalasnya, dibaca saja sudah lebih dari cukup. Aku senang, kalau kamu sudah mengetahui siapa pengirimnya."

Namun, bukannya tenang. Rasa sakitnya malah kian terasa nyata. Apalagi melihat ekspresi Elvan yang berlagak seperti tidak pernah mendengar kalimat apapun. Sebenarnya, Anya tidak tahu perasaan macam apa yang tengah dirasakan. Tak mengerti dan tak pernah begini, bahkan ketika mantan kekasihnya pergi karena perempuan lain, Anya biasa saja. Tidak menangis atau sekedar bersumpah serapah. Walau melupakannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, yang seperti ini baru dia rasakan. Lantas apa? Cinta? Apa mungkin mencintai seseorang bisa sesingkat itu?

"Terus sekarang kamu masih mau ngirim surat ke aku?" tanyanya.

"Kalau kamu tidak keberatan"

"Kalau aku minta jangan lagi kirim surat gimana?"

"Aku akan berhenti" katanya yakin.

Kemudian, sunyi. Keduanya hanya saling tatap dengan durasi cukup lama. Semilir angin sore menerpa wajah mereka yang sama-sama berharap pada semesta. Mengharapkan suatu yang berbeda, membisikkan permohonan yang bertolak belakang.

"Aku nggak bisa terus-terusan dekat kamu, kan kamu sendiri yang bilang. Kalau nggak mau bikin kamu jatuh lebih dalam, aku harus mundur beberapa langkah--"

Kalimatnya tergantung di udara, saat Elvan menaruh telunjuk di bibirnya.

"Ssttt, aku paham. Tolong beri aku waktu sebentar untuk menjelaskan, aku buat singkat."

Lirih [Park Jisung] || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang