0.4 A Promise

26 3 4
                                    

——————
20 Maret, 2019.
———————

Hari Senin, tanggal 20 Maret 2006. Elvan ingat saat itu Ayah masih ada. Tangan besarnya yang hangat menggenggam jemari dia yang mungil, mengusap-usapnya lembut penuh kasih sayang, dan hujan yang turun cukup lebat mengantarkan segala cinta lewat riuhnya air.

"Elvan tau kenapa hujan turun?" tanyanya. Bocah yang berumur kurang lebih tiga tahun menggeleng sebagai tanda tidak, sembari menatap sang Ayah dengan sorot kentara kepo.

Teno terkekeh, anaknya begitu lucu ketika ingin tahu sesuatu. Sesaat kemudian, matanya yang jernih menatap manik Elvan yang masih lugu. Mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi pangerannya.

"Karena Tuhan sayang sama kita"

"Tuhan sayang kita?" tanyanya masih belum mengerti, sambil sedikit memiringkan kepalanya.

"Kalau Tuhan nggak sayang, kita nggak bakal hidup nyaman."

Ada pertanyaan lain di benaknya, dia ingin tahu apa Ayah bisa menjawab atau justru kebingungan. Namun, belum sempat mengeluarkan suara, Teno lebih dulu bicara. Seolah-olah tahu apa yang sedang dipikirkan anaknya.

"Kalau Tuhan memberi ujian, bukan berarti benci. Justru itulah cara 'kasih sayang' yang Tuhan kasih pada makhluk-Nya, supaya kita tau ke mana harus kembali."

Lalu, Elvan menulis dalam sebuah notebook di tangannya yang selalu dia bawa ke mana-mana untuk berkomunikasi. Saat itu, bahasa isyarat belum bisa diterapkan padanya. Jadi, Elvan hanya bicara melalui tulisan dan memahami dengan mendengar. Dia menunjukkan tulisannya yang berantakan, pertanyaan anak itu berhasil membuat Teno bungkam.

"Allah sayang aku?"

Ia paham ke arah mana pembicaraan tersebut berlabuh, tahu betul apa yang sedang dibahas anak itu. Suara hujan terdengar tenang, Teno dapat merasakan tatapan penuh harap dari putranya.

"Semakin besar sebuah cobaan, maka makin besar pula peluang kejutannya. Setiap sesuatu pasti ada balasan baik atau buruk."

"Elvan paham, nak?" tanyanya kemudian.

Bocah lelaki itu tersenyum, sebenarnya dia memang gampang dan pandai memahami sesuatu. Sosoknya yang lembut persis dirinya saat muda. Meskipun begitu, tetap memiliki sisi yang berbeda. Salah satunya adalah sampai besar, Elvan tidak tahu cara mengobati lukanya sendiri. Dia tidak pernah menangis atau mengaduh, hanya membiarkan lukanya mengering dengan sendirinya.

"Sayang, dengerin Ayah." Elvan hanya mengerjapkan mata beberapa kali, Teno dibuat tersenyum simpul. Ia mengangkat tubuhnya, lalu diletakkan di atas pangkuan.

"Kamu harus jadi anak kuat, dunia terlalu kejam untuk orang-orang baik. Kuat untuk diri kamu, untuk orang yang kamu sayangi." Elvan tak begitu paham saat itu. Namun, tetap mengangguk sambil merasakan tubuh Ayahnya yang bergetar hebat.

Tanpa terasa, air mata berderai tak henti-henti. Teno menangis. Sejak tahu pita suara Elvan tidak berfungsi dengan semestinya, sang istri tak pernah mau peduli lagi. Ia pikir, Hana mungkin hanya terbawa suasana saat mengatakan 'malu' memiliki anak bisu. Namun, melihat sikap keibuannya hilang. Teno mulai mengerti, ternyata wanita itu serius membencinya.

"Janji, jangan menyakiti siapapun, oke?" jari kelingkingnya disambut baik oleh sang putra, pria itu merintih. Merengkuh tubuh mungil Elvan lagi seraya tersengguk bukan main.

"Cintai Mama kamu, jangan pernah benci atau meninggalkan dia. Mama keliatan begitu, karena dia sayang sama Elvan" anak itu mengangguk. Jemarinya yang mungil menyapu jejak air mata di wajah Ayah. Meski, lagi-lagi jatuh tak terkira.

Lirih [Park Jisung] || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang