37. Harapan Terakhir

23 3 0
                                    


Harapan itu selalu ada, namun untuk kali ini akan menjadi harapan terakhir baginya. Bagi seorang Elvan Arka Aidan. Cukup sederhana tapi dia memohon agar Tuhan segera mengabulkannya. Dalam buku catatan miliknya, tertulis bahwa Elvan selalu ingin melihat keluarganya seperti orang lain, kasih sayang dibagi rata dan tidak pilih-pilih. Tetapi, yang ini nyata membuat hati Kavindra tercabik bukan main.

Ini harapan terakhirku. Aku hanya berharap untuk bisa sembuh... itu cukup remeh bukan? Tapi, tidak semua manusia sepertiku yang menganggap bahwa ini adalah permohonan yang jawabannya lama. Meskipun sudah dibisikkan lewat malam, tapi sampai sekarang sakitnya tak kunjung membaik. Tuhan pantaskah aku yang pendosa ini berharap begini...?

-aku tak akan mencatat apapun lagi ke depannya.

Setelah itu tidak ada catatan apa-apa, meskipun sudah dia bolak-balikkan kertasnya. Air mata yang menetes begitu deras sampai dia tidak tahu apa dirinya sedang berangan-angan atau memang kenyataan? Kavindra dibuat linglung. Dadanya kembang kempis dan napasnya tak keruan. Ia merasa pusing, trauma sekaligus bayangan Elvan yang menjerit tanpa suara saat kesakitan membuatnya tersiksa.

"Cintanya..." dia berbisik pada lantai yang dingin. Suaranya memantul ke atas sampai tak terdengar oleh angin.

Bukankah kamu berpikir bahwa cintanya terlalu menjijikkan dan agak berlebihan? Sekarang kamu pasti mengerti 'kan kenapa Kakakmu sangat menyayangi gadis itu? Menyayangimu dan juga keluarga tanpa membicarakan keburukan masing-masing dari kalian semua.

Anya itu semangatku, tapi keluarga tetap nomor satu. Bagaimanpun juga yang akan menghadiri pemakamanku nanti keluarga, Anya mungkin saja lupa.

"Sialan, ngapain lo ngungkit tentang kematian mulu, sih?!!" Kavindra kesal.

Digenggamnya erat buku tersebut sebelum ia kembali membuka halamannya satu per satu sebab takut salah membaca. Namun, ia sadar bahwa semuanya adalah harapan tanpa kenyataan, tanpa kepastian. Tangisannya hari itu adalah saksi yang tegas dan menyatakan bahwa dirinya ternyata berhati lembut persis seperti sang Kakak.

ʚෆෆෆɞ


Mika adalah gadis yang manis dan unik di mata Elvan. Dia sangat suka bermain dengan hal-hal yang baru dan menjadikannya sebagai teman di saat gundah. Saat ini mereka berdua sedang duduk di sebuah persimpangan jalan, entah di mana tapi keduanya cukup familiar dengan taman tersebut.

"Kamu tau nggak apa yang selalu Anya bilang setelah dia ketemu kamu atau saat dia berbaikan dengan Ayahnya minggu kemarin?" Elvan menggelengkan kepala.

Ia membenarkan letak tali pita berwana abu-abu yang dikalungkan ke lehernya. Mereka berdua baru saja menyelesaikan tahap PKKMB alias Perkenalan Kepada Kehidupan Mahasiswa Baru. Mereka berdua satu jurusan dan satu fakultas, diterima di universitas swasta bergengsi saja sudah seperti sebuah berkat bagi mereka. Langit mulai menggelap tatkala cakrawala tak lagi nampak.

"Dia bilang, dia bahagia banget ketemu kamu. Dia bilang, kamu sangat hebat. Dia bilang, kamu sekarang adalah segalanya bagi dia. Kamu tetap kamu dan selamanya akan begitu"

Lalu lalang motor mobil yang berhenti di depan akibat lampu merah tidak membuat kedua insan tersebut bergeming. Isyarat mata mereka saling bertemu, tak lama ingatan saat pertama masuk dan memperkenalkan diri di depan para mahasiswa baru terulang jelas. Habis-habisan Elvan dirundung tanpa belas kasihan. Ejekan, hinaan, serta segala hal buruk menimpanya saat itu. Mika sampai bertanya di mana letak hati mereka semua? Memangnya salah jika anak lelaki itu bisu? Toh dia masih bisa mendengarkan semua perkataan mereka. Dia bukan tuli, dia bisu!

"Van, kamu mendengar dengan telinga. Tapi, saat kamu bicara yang mengungkapkannya bukan hanya tangan melainkan mata kamu juga ikut" hening sekali.

Padahal, di sekitar mereka sangat berisik. Berbau asap kendaraan yang mengepul menimbulkan pencemaran udara, langit senja yang perlahan mulai terganti, keringat asam yang mengalir ke seluruh tubuh mereka. Hasil jerih payah yang tak seberapa dalam hidup. Elvan bisa merasakan ketulusan walau tampak sukar dilihat hanya dari wajah saja, Mika tersenyum. Gadis itu meminta izin padanya untuk menggenggam tangannya.

"Van dengerin kata-kata aku..." ucapan yang sedikit memerintah itu terdengar lembut di telinganya.

"Kamu itu ganteng, kamu nggak jelek. Kamu anak baik, bukan anak nakal. Kamu harus sehat, meskipun banyak luka. Mereka nggak tau hal itu, sejujurnya aku juga sok tau aja tentang kamu. Tapi, selama aku bareng kamu, aku nggak pernah ngerasa risi, jijik, atau pengen ngehindar..."

Gadis itu terdiam sejenak.

"Justru kamu yang bikin aku semangat, aku bangga punya teman yang spesial seperti kamu, yang bicara melalui tangan dan mata" katanya melanjutkan.

Elvan terharu, ia sampai tidak tahu bahwa air matanya sudah jatuh duluan. Dibanding kata-kata yang ingin dia ucapkan. Harapan terakhir, ini adalah harapan terakhirnya dalam hidup. Menjalani keinginan, cita-cita, dan cinta yang penuh dengan suka. Bukan malah terjerumus sendirian ke dalamnya, meskipun ia tahu ia kuat, tapi manusia tetaplah manusia. Terkadang ada perasaan di dalamnya yang tak bisa diungkapkan dengan kata, pepatah saja tidak cukup dan harus dibuktikan dengan keberadaannya.

"Kamu bebas nangis hari ini Van, nggak deh pokoknya kapanpun kamu mau nangis aja jangan ditahan" Elvan langsung tertunduk.

Aku capek Mika, aku capek...

Kata-kata itu hanya mampu terucap melalui hatinya, namun siapa yang tahu bahwa hati mereka sebagai teman bertaut cukup erat. Senja pamit pada dunia, mempertemukan bumi pada kegelapan tanpa bintang. Anginnya sedikit dingin, Mika melepaskan jaket yang dia pakai, dan menyampirkannya pada pundak Elvan. Sang tuan tak berkutik bahkan barang sedetik. Pundaknya gemetar dan naik turun tak keruan, rasanya dunia Elvan saat itu runtuh tak tersisa. Benar kata Ayah, manusia itu paling kejam saat dia sakit hati atau merasa kecewa.

"Van, mungkin bagi manusia tangisan kamu nggak akan ada artinya. Tapi, Allah selalu menganggap air mata manusia itu berharga, kamu juga termasuk ke dalamnya. "

Cukup Mika, aku ingin pulang...

Lagi-lagi hanya bisa tertahan di hati tanpa menunjukkannya secara langsung. Saat itu, Elvan tak tahu "pulang" macam apa yang dia inginkan. Apa yang sebenarnya salah? Bagaimana cara mengetahui dan memperbaikinya? Berharap masih ada waktu. Tetapi, pikirannya terlalu penuh untuk sekadar beristirahat. Lantas, mana yang kata Tuhan yang menjanjikan hidup tenang? Namun, Elvan lupa bahwa menuju pada-Nya tidaklah mudah. Perlu banyak rintangan agar dia tahu bahwa Tuhan selalu ingin diutamakan daripada manusia yang mungkin saja akan meninggalkannya. Ternyata kutipan kata "berharap pada manusia itu menyakitkan" benar adanya. Tidak mau lagi Elvan terus berharap pada Mama yang jelas-jelas menutup hatinya meskipun dia melakukan yang terbaik.

"Suatu saat Tuhan pasti mengabulkan doa-doa kamu Van" Mika ingin sekali memeluknya, tapi dia tidak ingin ada kesalah pahaman.

Pada akhirnya, manusia yang terlihat bisa melakukan apapun sendirian hanya menguatkan diri sambil terus yakin untuk menghadapi semuanya. Hidup memang terasa tidak adil untuk kita yang tak pernah merasa bersyukur. Elvan menundukkan kepala, berbisik tanpa suara pada bumi, menyerukan keinginan dan harapan terakhirnya.

Berikan aku waktu sebentar lagi untuk melihat hasil dari jawaban doa-doaku pada-Mu ya Allah, aku sudah lelah, aku sudah pasrah saat ini...

Lirih [Park Jisung] || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang