59. hold great responsibility

366 50 0
                                    

Tanggungjawab besar berada dalam pundaknya. Sung Hanbin tahu itu. Saat ayahnya menjadi seorang menteri, tentu saja tampuk kepemimpinan organisasi diberikan padanya selaku putra. Namun, berbeda dari sang ayah yang suka bekerja di rumah, Sung Hanbin banyak menghabiskan waktunya di markas perbatasan. Jarang pulang ke rumah, namun lebih sering menginap di markas perbatasan ataupun markas kota Calaston saat ia merindukan adik-adiknya, si empat bocah tengil itu.

Kedamaian memang telah kembali. Namun, bukan berarti mereka bisa terus bersenang-senang, sebab, bisa saja ada sesuatu yang membuat kedamaian itu terancam hilang. Jadi belakangan ini, Sung Hanbin memerintahkan kepada anggota seluruh wilayah untuk latihan intensif. Bahkan meminta pada pabrik pembuatan bom bunga untuk memproduksi lebih banyak. Serta memesan ratusan set senjata baru pada pembuat senjata. Prinsip Hanbin, semakin kuat pertahanan, maka semakin sulit bagi musuh untuk melawan mereka.

"Kenapa kau seyakin itu kedamaian ini hanya bersifat sementara?" tanya Park Hanbin malam itu. Keduanya masih terjaga, membuka beberapa buku dan jurnal sebagai bahan penelitian untuk strategi serta persenjataan.

Sung Hanbin mengangkat bahu. "Tidak ada yang tahu masa depan," katanya ambigu. Tak mengalihkan pandangan barang sedikitpun dari jurnal di hadapannya. "Kemungkinan kita diserang masih ada, Hunter. Jadi, bukankah lebih baik berjaga-jaga daripada tidak sama sekali?"

Suara halaman buku yang dibalik terdengar. Park Hanbin menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Aku sebenarnya masih tidak paham. Tapi entah kenapa aku juga punya firasat bahwa kedamaian ini seakan membuat kita terlena. Seperti ada yang akan datang dan mengancam organisasi."

"Ku kira hanya aku saja yang merasa demikian. Rupanya kau juga?" Sung Hanbin menoleh ke arah kursi yang ditempati Park Hanbin.

Tahunya, Park Hanbin juga menoleh. Mata keduanya saling tatap. "Tentunya. Setiap kemungkinan bisa menimbulkan resiko." Dia berdiri, lantas menenteng kursinya untuk diletakkan di samping kursi Sung Hanbin dan kembali duduk. "Sepertinya kita harus mengawasi setiap pergerakan di seluruh wilayah, Kak Haven. Takutnya ada yang mencurigakan."

Alis Sung Hanbin saling bertaut. Kelihatan berpikir sejenak. Kemudian mengangguk. "Kau benar. Kita juga harus mengerahkan empat senjata dan anggota rahasia untuk memantau serta memberi laporan. Kau dan aku bisa meninjaunya bersama setelah itu," usulnya.

"Haruskah kita melibatkan Kak Jiwoong dalam hal ini?"

"Sepertinya tidak. Kalau spekulasi kita benar-benar terbukti adanya, baru kita melibatkan dia," tukas Sung Hanbin.

Park Hanbin manggut-manggut. "Benar juga. Jika kita menyampaikan soal spekulasi ini padanya, Kak Jiwoong akan semakin terbebani. Sementara saat ini dia sedang berusaha menstabilkan ekonomi kerajaan dan mulai membangun kembali sektor pertanian untuk berhubungan dengan kerajaan tetangga." Dia mengulurkan tangan. "Baiklah, biar spekulasi ini hanya ada di antara kita berdua, empat senjata, dan anggota rahasia saja."

Sung Hanbin balik menjabat tangan Park Hanbin. "Sepakat."

--✨---✨--

Gara-gara pembicaraan mereka tempo hari yang lalu, pikiran Sung Hanbin terbagi menjadi banyak cabang dan sukses membuat kepalanya berdenyut pusing setiap hari. Ingin  curhat, tapi pada siapa? Di markas perbatasan ini, ia hanya bisa menceritakan keluh kesahnya pada Park Hanbin. Sementara Park Hanbin sendiri sama pusingnya sebagai ketua markas utama yang selalu ditanyai ini itu sebelum benar-benar diserahkan pada Sung Hanbin untuk disetujui.

Satu-satunya tempat bercerita hanya ayahnya, Tuan Sung Hankook. Percuma jika cerita masalahnya pada Yura, lantaran adiknya itu pasti hanya akan tertawa sembari mengejek bukannya memberi solusi.

"Lagipula baru sebuah spekulasi, kan? Belum tentu sesuatu benar-benar terjadi. Hanya saja kebetulan kau dan Hunter memiliki intuisi yang sama. Kalian tidak perlu merasa sekhawatir ini," kata beliau. Sebab, rasa khawatir justru makin membuat pikiran putranya kacau.

Alih-alih merasa lega, Sung Hanbin masih saja memasang raut wajah khawatir. "Tapi, Ayah. Aku adalah ketuanya, ketua organisasi. Bagaimana jika ada sebuah serangan dan aku tidak bisa mengatasinya? Bukankah aku akan di cap sebagai ketua yang gagal?"

Sung Hankook menyodorkan secangkir teh ke hadapan putranya. "Minumlah tehnya dulu agar kau tenang. Tenang saja, tehnya memakai bunga chamomile kesukaanmu." Melihat gelagat sang putra yang akan mengeluarkan protes, beliau cepat-cepat menambahkan. "Minumlah dulu. Dan dengarkan nasehat Ayah."

Menurut, Sung Hanbin membungkam mulutnya menggunakan seteguk teh hangat beraroma chamomile. Sementara itu, sang ayah mengubah posisi menjadi lebih nyaman dengan menyandarkan punggungnya pada kepala kursi rotan. Tatapan beliau menerawang jauh. "Jangan berandai-andai yang buruk. Sebab kita tidak tahu takdir macam apa yang akan menimpa kedepannya. Jadi, sebisa mungkin cobalah untuk mengurangi pikiran buruk itu dengan berharap yang baik agar kebaikan itu tetap menyertai kita di masa depan."

Beliau mengalihkan pandangan.  Berganti menatap Sung Hanbin yang tampak terdiam. "Berpikiran rumit itu boleh. Ayah pernah mengalaminya sebagai seorang ketua utama organisasi. Aku tidak akan mengejekmu karena berpikiran seperti itu, karena Ayah tahu beban yang dipikul seorang ketua memang berat. Tapi, Nak, berusahalah untuk berpikiran positif dan terbuka sebanyak apapun masalahmu." Tangan beliau terulur, menepuk bahu sang putra. "Berceritalah dengan orang yang kau percayai. Park Hanbin, misalnya. Atau Zhang Hao? Siapapun, asal perasaanmu bisa lebih lega."

"Tapi... Bukankah aku hanya akan membebani mereka?"

Senyum teduh terlukis pada bibir Sung Hankook. "Kalian adalah keluarga. Setiap anggota organisasi adalah saudara, Nak. Bebanmu juga beban organisasi dan anggota lain," kata beliau. "Malahan jika kau tidak membagi masalahmu dengan mereka, kau akan di cap sebagai ketua yang gagal. Kau tahu karena apa?"

Sung Hanbin menggeleng.

"Karena kau memendamnya sendirian padahal para anggota siap mengulurkan tangan untuk membantu. Jika terus seperti ini, mereka pasti akan merasa kecewa karena tidak bisa membantu ketuanya sendiri," tambah beliau. "Jadi, jangan terlalu khawatir. Katakan juga pada Park Hanbin agar tidak banyak pikiran. Tugas kalian berat."

Sung Hankook menepuk bahu putranya sebanyak dua kali. "Jadilah pemimpin yang bijak, Nak. Organisasi mengandalkanmu, dan Ayah bangga padamu."

"Ibu juga pasti bangga padamu, Kak." Suara lain terdengar. Yura, adik perempuan Hanbin muncul. Langsung memeluk sang kakak dari belakang. "Tetap semangat, fokus, jangan berpikir hal yang buruk! Kak Hanbin hebat, kok. Paling hebat karena mau menjadi seorang ketua organisasi. Yura bangga punya kakak seperti Kak Hanbin."

Sung Hanbin mendecih. Mencubit hidung Yura hingga sang adik menjerit tak senang. "Kalau begini saja kau mau mengakuiku sebagai seorang kakak. Dasar bocah tengil!"

"Ish! Menyebalkan!" balas Yura kesal. Balik memukuli Hanbin menggunakan tangannya. Namun tetap saja kalah, lantaran Sung Hanbin langsung berdiri dan mengunci leher adiknya menggunakan lengan. Lantas menciumi pipi Yura hingga sang adik menjerit-jerit.

Ya, setidaknya dengan bertengkar bersama adiknya, Hanbin bisa mengistirahatkan pikirannya barang sejenak sebelum kembali ke markas.













---✨--✨---

[A/N]

Tinggal satu chapter lagi 🎉

Selamat membaca, terima kasih buat vote dan komentarnya~

BUNGA PERAK [ZB1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang