Sepanjang perjalanan ke rumah Lee, Serena sudah sibuk ngemil, sesekali dia menyuapi Jeno. Tadi tidak lama keluar dari kediaman Kim, Serena tiba-tiba ingin makan mandu dan kimbab, padahal Serena sudah makan tadi sekitar 3 jam yang lalu, kini dia sudah ngemil lagi, seakan lambungnya selalu ada tempat untuk menyimpan makanan.
"Aku gendutan tidak?" Celetuk Serena.
"Perutmu yang gendut." Jawab Jeno tanpa menoleh.
"Oh, kamu dikatai Daddy gendut tuh. Nanti kalau sudah lahir marahin Daddy." Adu Serena kepada sang bayi. Ia berniat menjadikan anaknya sebagai sekutu nanti.
Jeno mengulurkan tangannya mengelus perut Serena. "Gendutnya pas kok. Mommy mu saja yang berlebihan."
"Pencemaran nama baik." Protes Serena. "Mommy mana pernah bohong, Daddy tuh yang suka bohong, terus omongannya pedas sekali."
"Kata seseorang yang memberimu makanan instan diam-diam." Balas Jeno tidak mau kalah.
"Jangan mengadu domba." Serena menyingkirkan tangan Jeno dari perutnya. Main elus-elus tapi terus mengatainya.
Terus sepanjang perjalanan mereka berdua tidak henti-hentinya berdebat, tetapi mulut keduanya terus saja mengunyah hingga makanan itu tandas tak tersisa. Tidak lama setelahnya mobil mereka memasuki pekarangan rumah keluarga Lee.
"Papa sama mama langsung ke sini." Gumam Serena setelah melihat mobil kedua orangtuanya sudah terparkir rapi.
"Ayo masuk." Ajak Jeno yang sudah menggeret koper milik Serena, padahal wanita itu hanya akan menginap beberapa hari saja di kediaman Lee.
"Aku mau ke dapur tapi tidak tahu arahnya ke mana." Ucap Serena dilema.
"Ke kamar saja dulu, mandi, biar segar." Jeno menggandeng lengan Serena membawanya melewati lift menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.
"Kamarmu kenapa monoton sekali? Seperti tidak ada kehidupan." Serena langsung mengomentari kamar Jeno yang hanya ada satu tempat tidur king size, satu sofa di ujung ruangan, satu meja rias berukuran sedang yang terlihat tidak ada apa-apa di atasnya, dan ada dua pintu lainnya yang tertutup. Untung saja cat dinding kamar berwarna putih, bukan abu-abu atau bahkan hitam.
"Aku jarang menempati kamar ini. Untuk apa perlu banyak barang."
"Oh, tidak bisa begitu. Pokoknya kamar ini harus di tambah isinya. Sakit sekali mataku melihatnya." Ia sampai memijat pangkal hidungnya.
Jeno mengidikkan bahunya. "Terserah. Aku mau mandi duluan."
"Hm. Jangan kunci pintunya tapi, aku mau menyusun semua alat mandiku di dalam sana. Pasti sama monotonnya."
"Lakukan sesuka hatimu." Balas Jeno.
Setelahnya Serena sibuk mengeluarkan semua barang-barang di kopernya. Dia langsung menyusun skin care dan alat perang lainnya di meja rias yang kosong itu. "Ini baru ada kehidupan!" Seru Serena senang. Setelahnya dia melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Tidak menghiraukan Jeno yang sibuk mandi.
"Hati-hati jalannya." Jeno mengingatkan.
"Hm." Serena menggumam pelan. Tiba-tiba saja Serena memilih ide ketika melihat produk mandi yang digunakan Jeno terlalu basic untuknya. "Jen, sini dulu." Panggil Serena yang sibuk membuka bungkus produk yang masih baru.
Jeno yang masih basah mendekati Serena tanpa protes. Dia memang suka penasaran dengan barang-barang yang Serena miliki. Itu terlalu banyak untuk ritual mandi menurut Jeno. Serena memegang tangan Jeno, mengoleskan produk itu ke seluruh lengan Jeno.
"Ini wangi kulitmu." Jeno bersuara. Dia jadi ingin mengendusi aroma di lengannya.
"Ini tu lulur kesukaanku. Wanginya memang enak. Kamu kan hanya berurusan dengan skin care, wajar juga tidak terlalu memahami sama kebutuhan produk lain, tapi harusnya tidak tabu juga. Mulai sekarang kamu harus merawat tubuhmu juga, biar tidak mudah keriput." Nasehat Serena disela kegiatannya menggosok lengan Jeno. "Sana bilas. Aku mau pakai kamar mandi juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Revisi
Fiksi PenggemarWarn! Baca sesuai sama nomor, karena urutan bab teracak oleh WP. Serena dengan obsesinya menginginkan seorang anak dari seseorang yang dia anggap bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun...