Serena - 028 (SJ)

2K 246 3
                                    

Pagi-pagi sekali baik Jeno maupun Serena sudah bangun. Jeno sudah duduk di ruang tengah masih menggunakan pakaian santainya, dia akan pergi ke kantor sekitar jam delapan, sekarang masih jam enam pagi. Semenjak dari Minggu yang lalu sesuai saran dokter, Jeno mengajak Serena untuk jalan-jalan pagi sekitar halaman rumah Serena yang memiliki halaman cukup luas dan rindang. Bagus sekali untuk jalan-jalan pagi.

"Jen, ayo." Serena turun masih menggunakan piyama ditambah sweater agar tidak terlalu kedinginan. Sedangkan rambutnya di cepol dengan wajah yang sudah terlihat segar.

"Hm." Jeno menggandeng Serena. Sedangkan tangan sebelahnya membawa keranjang berisi camilan dan minuman untuk menemani acara jalan santai keduanya.

"Orang-orang klinik sudah kepo dengan perutku yang sudah sebesar ini, tapi mereka tidak ada yang berani bertanya." Serena memulai ceritanya. "Padahal aku selalu pakai dress cukup besar. Tapi memang tetap kelihatan sih."

"Perutmu sudah sebesar itu, tidak bisa lagi ditutupi." Timbal Jeno.

"Iya, ya." Serena menggumam. "Mana minuman ku? Kamu pesan matcha kan, Jen?"

"Hm." Jeno mengangguk. Dia mengambil minuman itu dari dalam keranjang, memberikannya kepada Serena.

"Enaknya~" Mata Serena berbinar-binar merasakan minum kesukaannya menyapa lidahnya. Berbeda halnya dengan Jeno yang meringis melihat cairan hijau itu.

"Minggu depan aku ada urusan di Jeju." Jeno memberitahu. "Kamu tinggal di rumah mommy kalau tidak mama saja nanti, jangan tinggal sendiri."

Serena menoleh dengan senyum lebarnya, terlihat mencurigakan di mata Jeno.

"Ikut!" Seru Serena semangat.

"Aku kerja di sana, tidak ada yang menemanimu nanti. Dengan bodyguard tidak mau."

"Antar aku ke Green House saja. Aku bisa main sama Ayu dan karyawan lain di sana."

"Lokasinya jauh dari sana. Atau aku antar tapi tidurnya di sana, ya, sama Ayu."

"Ah! Kamu juga ikut tidur di Green House." Serena menghentak-hentakkan kakinya kesal.

"Kalau kamu lupa, aku rival bisnis mu. Masa aku masuk kawasan rival." Gemas, Jeno mencubit pipi Serena.

"Jaminannya bayi ini kalau kamu macam-macam." Serena menunjuk perutnya.

"Mana bisa begitu." Jeno melayangkan protesanya.

"Pokoknya kami mau ikut, Daddy~" Bujuk Serena dengan suaranya yang dibuat seimut mungkin.

"Iya." Jawab Jeno secepat mungkin karena tidak tahan dengan kelakuan Serena.

"Yes!"

"Tapi sekretaris ku juga ikut ke Green House."

"Lah?" Serena bingung.

"Aku perlu berdiskusi banyak hal dengannya." Jeno memberikan alasan.

"Dia itu penyusup, Jeno, orang asing. Mana mungkin aku mengizinkannya untuk masuk kawasan ku."

"Memangnya aku bukan orang asing?" Tunjuk Jeno ke dirinya sendiri.

Serena memicingkan matanya menatap Jeno tajam. "Oh, jadi kau mau dianggap orang asing begitu? Ya sudah kalau itu yang kau mau. Sana, pergi dari sini! Aku tidak menerima orang asing!" Pekik Serena kesal. Dia berjalan cepat meninggalkan Jeno yang syok.

Kok aku jadi di marahi? Batin Jeno.

"Jangan lari!" Mata Jeno membulat kaget, sontak ia menjatuhkan keranjang berisi cemilan dari tangannya, lalu langsung mengejar Serena yang tiba-tiba berlari. Dengan langkah lebarnya Jeno bisa menggapai tubuh Serena dengan cepat.

"Turunkan aku!" Serena memberontak tidak mau digendong Jeno.

"Diam! Kau bertindak seperti tidak memiliki otak untuk berpikir. Ada nyawa lain yang kau bawa, apa kau tidak sadar, hah?! Kebiasaan ceroboh jangan kau bawa-bawa kalau mau menjadi seorang ibu. Bagaimana kau mau merawatnya nanti."

Serena terdiam melihat rahang tegas itu mengeras selaras dengan ekspresi wajahnya yang tidak bersahabat.

Jeno menurunkan Serena ketika mereka sudah sampai di kamar. Padangan keduanya sama-sama menajam seperti yang sering keduanya lakukan ketika bertemu di acara tertentu yang mengharuskan berada dalam satu tempat yang sama.

Serena memutus kontak terlebih dahulu. Dia beranjak mengambil semua barang penting yang selalu Jeno bawa ke mana pun dia pergi, Serena memberikan itu kepada Jeno. "Bawa barang-barang mu dan segera lah pergi dari sini. Tidak perlu menemani orang yang tidak punya otak sepertiku."

Jeno tidak bergeming sama sekali, dia malah menatap Serena penuh intimidasi. "Jangan kekanak-kanakan, Serena. Jelas kau yang salah di sini. Tindakan yang kau lakukan dapat membahayakan bayi yang bergantung hidup padamu."

"Oh memang semua salahku. Kau dengar baik-baik semua kesalahanku! Aku salah kerena memilih kau, aku salah karena tidak teliti dan akhirnya aku di jebak, baik soal donor dan surat perjanjian. Dan aku salah telah menganggap rival bisa menjadi seorang teman, nyatanya rival tetap lah rival. Kau licik ingin mengambil hak anak ini dariku. Semua ini salahku. Apa kau puas Lee Jeno?!"

Jeno menatap wajah Serena yang memerah karena wanita itu meluapkan emosinya berlebihan. "Bicara lagi jika kepala kau sudah dingin. Amarah membuat kau bicara ngelantur." Setelah mengatakan itu Jeno pergi dari sana.

"Sekarang kau senang kan? Sudah membuat emosiku tidak setabil dan sekarang aku yang disilahkan." Serena memandang kosong pintu kamar yang tertutup. "Kenapa? Apa kau membenciku karena kau hadir tanpa ikatan pernikahan? Kau iya kan. Kau bahkan hanya bergerak aktif jika dekat dengannya, saat hanya bersamaku aku hanya merasakan kehadiran samar, ini tidak adil.

"Kau sama dengannya, sama-sama akan meninggalkan ku setelah kau lahir. Aku bahkan ragu bisa mendengar kau memanggilku mommy nanti. Kau hanya sayang padanya, kan? Bagaimana kalau kau keluar dari rahimku sekarang, hm?" Serena mencengkram perutnya, kukunya yang sedikit panjang itu menusuk permukaan perutnya, tapi bahkan itu tidak ada rasanya, tidak sakit sama sekali.

Diam-diam Serena tidak hanya memikirkan tentang ketakutannya saat melahirkan nanti, dia mengkhawatirkan banyak hal. Tentang keinginannya yang sepenuhnya tidak tercapai, tentang rasa takut memulai hubungan serius, tentang rasa iri dan ketakutan bila nanti anaknya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya. Semuanya menyatu menjadi satu dan tak jarang membuat kepalanya terasa sakit, sehingga kejadian kecil sudah bisa memancing emosinya. Serena lebih emosional dari sebelumnya.

"Aku ibu yang buruk. Kau pasti membenciku kan, Baby?"

*** S💙J ***

"Nona Serena tidak membuka pintu kamar sejak tadi. Sekarang sudah terlalu sore untuk jadwal makan siangnya. Apa perlu pintunya di buka paksa saja, Tuan Lee?"

"Tidak perlu, saya akan segera pulang. Tolong siapkan saja makanannya."

*** S💙J ***

The Baby of a Business Rival ^ Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang