Serena - 025 (SJ)

2.2K 236 22
                                    

Bahkan matahari belum menampakkan dirinya, namun Serena sudah mendapati adanya tamu hingga ia menunda kegiatan ngemilnya. Serena menoleh ke arah pintu masuk dengan mulut yang masih penuh, sesi saling tatap keduanya dengan suara TV menjadi backsound. Tamu di pagi buta itu terlihat menyerengit sesaat sebelum tatapan berubah kesal.

"Kau menginap di sini? Yang benar saja."

Serena memutar bola matanya malas. "Menurut kau saja lah. Masa iya aku ke sini pagi buta menggunakan piyama. Sebelum ngomong pakai otak untuk berpikir, jadi memalukan diri sendiri, kan." Dengusnya kesal.

Stella masuk lebih dalam dan kini berdiri di depan Serena, menutupi TV hingga hanya tampak dirinya yang Serena lihat.

"Atau, kau menjebak Jeno hingga dia tidak bisa bergerak bebas. Kau wanita yang licik Serena." Tuduhnya.

"Jujur saja, sebenarnya kau cemburukan, Stella. Tidak usah basa-basi mengatakan keburukan denganku, kau hanya buang-buang waktu. Kalau kau suka katakan langsung saja pada Jeno. Tuh, dia masih tidur."

"Sombong sekali kau!"

Serena menghela napas. Dia menatap Stella yang kian berapi-api. "Bicara dengan orang yang tengah cemburu memang tidak akan nyambung." Serena perlahan berdiri, meninggalkan sejenak semua cemilannya, ia berjalan perlahan mendekati Stella sembari mengelus perutnya.

Pergerakan Serena mendapatkan perhatian penuh dari Stella. Sebelah alisnya terangkat mendapati ada yang janggal disini. Ia terus memperhatikan perut Serena yang tampak seperti orang hamil. Kemudian matanya sedikit melotot, tidak mungkin kalau Serena memang hamil? Dan kemungkinan besar ayahnya adalah Jeno, mengingat keduanya sering bertemu.

Serena yang tahu ke mana arah pandangan dan pikiran Stella, dia tersenyum lebar ketika ide berilian melintas dalam pikirannya. Ia mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Stella, membuat perutnya tidak sengaja menyentuh perut Stella. Serena kian tersenyum lebar kala Stella tampak tegang, lucu, Serena suka ekspresinya.

"Benar, aku sedang hamil sekarang. Tidak perlu kau tanya siapa ayahnya, karena kau sudah mengetahuinya, kan? Kau kalah telak dariku." Serena mundur selangkah agar bisa melihat ekspresi wajah Stella dengan jelas.

"Kalian belum menikah." Ucap Stella pelan. Dia tampak masih syok.

"Tahu apa kau tentang kami?" Tanya Serena santai. "lagipula, ini adalah Lee, mereka tidak suka mengumbar, tetapi akan memperlihatkan hasil akhirnya. Tidak dekat belum tentu tidak ada hubungan. Ya, seperti kami berdua." Serena mengidikkan bahunya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kau kuhancurkan saja?" Stella menatap dalam mata Serena.

Serena tersenyum tipis. "Kau ingin mengajakku untuk menunjukkan siapa yang lebih ahli dalam kegiatan bunuh membunuh?" Mata Serena memperhatikan gerak-gerik Stella.

Brak

Dengan gesit Serena menghalau tangan Stella yang mengincar perutnya. Sebuah benda terlepas dari genggaman Stella jatuh dengan posisi cukup jauh dari keduanya berdiri.

Plak

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Stella. Tamparan itu sangat kencang hingga suaranya menggema di apartemen yang masih sepi itu. Gerakan Serena terlalu cepat hingga Stella tidak bisa menghindar.

"Kalau mau menyerangku jangan menggunakan cutter, itu terlalu kecil untukku, Stella. Kau terlalu meremehkan aku ternyata. Hm, kira-kira apa yang akan Jeno pikirkan sekarang, ya? Kau ke sini untuk mempersiapkan keperluan Jeno, tapi malah ingin melakukan aksi pembunuhan, ck!"

Stella bingung melihat Serena mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu entah kenapa tangannya Serena tarik dan diletakkan di atas kepala Serena.

"Jeno!" Pekik Serena nyaring.

Tidak lama suara gemerasak seseorang dari arah kamar terdengar sangat gaduh, sudah pasti itu Jeno. Benar saja, Jeno keluar dari kamar dengan penampilan acak-acakan khas orang bangun tidur. Dengan wajah panik dia buru-buru menghampiri Serena yang kini terlihat acak-acakan.

"Kenapa dengan rambutmu?"

Serena tidak menjawab, dia memeluk Jeno dengan tubuh gemetar yang dibuat-buat namun cukup untuk mendukung aksinya. "Stella marah karena aku menginap di sini. Karena kesal aku menamparnya, lalu dia menjambak rambutku kuat sekali. Aku khawatir terjatuh, jadi aku memanggilmu." Aku Serena atas perbuatannya, tetapi juga memojokkan Stella.

"Hei, kapan aku menjambak kau, Serena?" Stella tidak terima dijebak. Ini trik murahan, tapi Jeno pasti percaya, Stella jadi khawatir.

"Tapi kau tidak terbentur sesuatu kan? Ada yang sakit?" Jeno sibuk memeriksa tubuh Serena, mengesampingkan rasa marahnya sejenak atas perbuatan yang tidak disukainya.

"Sungguh aku tidak menjambaknya dan tidak juga memarahinya, aku hanya bertanya tadi. Dia menjebakku, Jen. Bahkan dia menamparku." Stella membela dirinya.

"Aku menampar karena kau mengarahkan cutter ke perutku." Ujar Serena dengan santai, bahkan dia tidak akting gemetar lagi. "Itu cutter-nya."

Kilat mata Jeno menajam. Bahkan Serena dibuat menciut, dia buru-buru menjaga jarak dari Jeno. Aku salah bicara kah?" Batin Serena.

Bug!

Mata Serena melotot kaget melihat Jeno kalap meninju rahang Stella hingga wanita itu langsung tersungkur ke lantai. Yang lebih seram lagi, ada bunyi seperti pergesekan tulang, atau memang tulang rahangnya patah?

"Eh!" Serena buru-buru menarik Jeno menjauh dari Stella yang terbaring lemah di lantai. Gila saja Jeno mengayunkan cutter milik Stella tadi, mana Jeno menargetkan wajah Stella. Sedangkan Stella tidak bereaksi apa pun, wanita itu sepertinya sudah diambang kesadaran. Pukulan Jeno memang tidak main-main.

"Kau bilang tidak mudah melukai orang, kenapa sekarang kau seperti ingin membunuhnya?"

"Dia berniat membunuh anak kita." Ucap Jeno dengan suara rendah tetapi tatapannya kosong.

Serena menangkup kedua pipi Jeno, memaksa Jeno untuk bertatap mata dengannya. "Lepaskan dia untuk kali ini, Jen, dia hanya sedang merasa kecewa saja hingga tindak kan konyol begitu. Ingat, sebelumnya dia wanita yang baik, bukan? Aku sudah mencari tahu tentangnya, jadi beri dia kesempatan."

"Tapi dia lancang." Suara Jeno kini terdengar lirih.

"Ya, aku tahu. Kalau dia tidak sadar setelah ini, aku yang akan menyeretnya ke ruang operasi." Serena mengusak rambut Jeno seperti tengah menenangkan anak kecil. "Sini peluk aku." Ia membuka kedua lengannya lebar.

Jeno beringsut mendekap tubuh Serena. Menghirup aroma wangi di ceru leher Serena. Dia kalut tadi, tapi tidak menyesal akan pembuatannya.

Jeno kalau dipancing begitu seram juga ternyata. Ngilu membayangkan cutter menggores kulit Stella. Untung aku tidak seseram itu, pikir Serena.

"Tidak seram bagaimana? Kau bahkan tega mengeluarkan seluruh org*an manusia yang dibius total, tapi jelas mereka tidak akan melihat matahari lagi." Celetuk Jeno yang membuat Serena mematung. "Kau bergumam tadi, aku bukan cenayang." Jelas Jeno.

"Lho, kapan?"

Jeno melepas pelukan mereka, kini menatap Serena aneh. "Entahlah, ingat saja sendiri."

"Dih!" Serena mulai kesal lagi. "Sana, suruh orang membawanya ke rumah sakit."

*** S💙J ***

Bosen gak nih? Bisa aku cepetin sedikit alurnya kalau udah mulai bosen.

The Baby of a Business Rival ^ Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang