"Kami sudah mendapatkannya, dia berencana terbang ke Jepang. Kami akan membuat laporannya nanti apabila sudah kami tangani."
"Lakukan dengan segera."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya matikan."
"Hm."
Jeno memandang ke arah luar kamar hotelnya dengan ekspresi seperti biasa. Walaupun sebenarnya amarahnya tengah meledak-ledak sekarang, dia tidak ingin kalau sampai lepas kontrol atas dirinya. Tujuan Jeno ke Jeju bukan untuk memata-matai perkebunan milik rivalnya itu, seperti yang dipikirkan oleh Serena sebelumnya, tetapi Jeno tengah melakukan survei lokasi untuk pembuatan kantor cabang mereka, juga pengejaran karyawan yang mengkorupsi uang perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Jeno bukan tipe orang yang akan memberi kesempatan dalam bentuk apa pun dan alasan apa pun atas kasus seperti ini.
"Jen." Panggilan seorang wanita menarik atensi Jeno. "Tadinya aku mau memesan kamar lain, ternyata kamarnya sudah penuh. Jadi aku rasa tidak apa-apa kalau kita satu kamar malam ini."
"Terserah." Balas Jeno sekenanya.
"Terima kasih. Aku mau mandi dulu, dan jika kamu sudah mengantuk silahkan tidur duluan." Setelah mengatakan itu dia berlalu ke kamar mandi.
Stella Anastasya, sekretaris sekaligus teman Jeno semasa kuliah. Mereka berdua kadang terlihat dekat tetapi tak jarang juga tampak seperti orang asing. Namun apabila dikatakan seperti orang asing, tapi kenapa Jeno mau-mau tidur satu kamar dengan sekretarisnya itu. Pun karyawan Lee Inc Group yang menjadi keduanya sebagai topik utama pergosipan setiap hari. Terkadang Stella juga bertanya-tanya, apakah selama ini Jeno tidak pernah merasa panas jika tidur satu ranjang dengannya? Dia sebenarnya menyukai wanita atau tidak? Jeno dengan sifatnya yang tenang membuat susah dibaca seperti apa karakternya.
Dan benar saja, mereka hanya tidur saja seperti yang sudah-sudah. Keduanya sekarang dalam perjalanan menuju bandara. Ayah Jeno mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan pada pagi dini tadi, makanya mereka mengambil penerbangan pagi untuk pulang ke Seoul. Selama perjalanan keadaan mobil hening. Jeno sibuk dengan pekerjaannya, pun Stella sibuk menata jadwal Jeno.
Sesampainya di bandara keduanya bergegas masuk, lalu Jeno menoleh mendengar suara familiar seorang wanita yang tampak dengan suasana hati tidak baik. Kenapa lagi wanita ini, pikir Jeno? Rasanya Jeno tahu semua tabiat tentang wanita itu. Bagaimana tidak, sertiap bertemu keduanya mengibarkan bendera perang.
"Itu Serena Kim, kan?" Stella dibuat melongok melihat wanita yang biasanya terlihat anggun kini berjalan begitu cepat melewati mereka, seperti tengah dikejar-kejar sesuatu.
*** S💙J ***
Ternyata kekesalan Serena bukan hanya pada asistennya itu, sontak dia menyipitkan matanya kala menyadari siapa yang duduk di seberang kursinya. Wanita yang duduk di samping Jeno tengah membenarkan dasi Jeno dengan posisi ambigu. Apa-apa itu? Memangnya tidak bisa nanti? Serena mendengus kesal. Tidak, ini bukan karena dia cemburu, ya? Hanya saja entah kenapa hari ini dia sangat kesal. Untung-untung saja melihat orang bernapas dia tidak kesal juga. Kalau begini caranya Serena tidak ingin berada di business class, dasar Winda dengan rencananya, padahal dia lebih suka di first class. Selama perjalanan memakan waktu satu jam lebih, selama itu pula Serena menahan amarahnya. Ingin sekali rasanya dia teriak kencang jika saja tidak dalam keadaan sekarang.
"Serena!" Dia segera menghampiri asistennya yang sudah menunggunya dengan melambaikan tangan heboh seperti anak hilang.
"Coba katakan saja kalau aku sedang di luar negeri kek! Mentang-mentang pejabat negara seenaknya memaksa orang. Dia pikir dia sepenting itu apa?!" Salak Serena kesal. "Sekali lagi kalau aku tidak ada di klinik tolak saja mereka. Mengerti?!" Winda yang diperingatkan begitu meringis pelan, kemudian dia mengangguk.
*** S💙J ***
Sorenya harinya Serena memutuskan untuk pergi ke mall guna memperbaiki suasana hatinya yang sudah buruk seharian ini. Serena tetap mengingat apa yang di sampaikan oleh dokter untuk tidak terlalu stres, mungkin menghabiskan uang berbelanja bisa menghilangkan stres-nya. Namun sebelum merealisasikan keinginannya, Serena memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu, dia ingat bahwa dari pagi dia belum memakan apa pun.
Serena yang juga berdarah Indonesia sangat amat menyukai rasa pedas, maka dari itu aroma cabai menguar di indera penciumannya. Meningkatkan nafsu makannya, sungguh, dengan lahap Serena menyendokkan makanan-makanan itu ke dalam mulutnya. Namun Serena menghentikan kegiatannya kala dia merasa ada yang bergejolak di perutnya.
"Apa asam lambung ku naik, kah?" Gumam Serena tak yakin. Ia pergi ke toilet membawa serta tasnya untuk memastikan.
Sesampainya di sana Serena membeku. Harusnya dia sadar kenapa emosinya tidak stabil, dan tanda-tanda lainya sudah ia alami sekitar seminggu yang lalu. Serena tidak seperti wanita pada umumnya, siklus tanggal merahnya tidak teratur seperti wanita lain, dia akan datang dan pergi sesuka hati, terkadang bahkan telat apabila dia sangat stres pada bulan itu. Serena berdiam diri di toilet cukup lama, bahkan dia tidak yakin untuk bisa berjalan dengan benar apabila keluar dari sini. Namun mau tidak mau dia harus kembali lagi untuk membayar makanannya.
Setelah membayar makanannya, Serena kembali duduk di kursinya tadi, dia melipat lengannya di atas meja, kemudian menelusupkan wajah dilipatnya lengannya itu. Tanpa dia sadari dia sudah berkeringat dingin menahan rasa sakit di perutnya. Lalu seseorang mengetukan mejanya, dengan enggan Serena mengangkat kepalanya guna melihat siapa yang mengganggunya.
"Dilarang tidur di sini."
Serena memasang wajah masamnya ketika tahu siapa pelakunya. Dia mendengus tidak ingin menanggapi, memalingkan kepalanya ke arah berlawanan. Kalau diperhatikan dia sering kali terlibat dengan rivalnya dalam keadaan genting akhir-akhir ini. Kemudian Serena sadar, sekarang mall yang disinggahinya milik keluarga Lee, dan hal itu memperbesar kemungkinan mereka bertemu. Jeno berada di sini tidak mungkin untuk berbelanja dengan pakaian formal begitu, pasti dia ada pekerjaan di sini.
Jeno menyerengit heran melihat sikap Serena yang tidak seperti biasanya. Pun wanita itu berkeringat padahal jelas kalau di sini terasa dingin. Dia mengulurkan tangannya ke kening Serena, membuat wanita itu kaget, Jeno tentu mengabaikan. "Kalau sakit segeralah pulang, jangan mati di sini, aku yang repot." Biasa Jeno dengan mulut pedasnya.
"Dasar mulut cabai." Marah Serena.
*** S💙J ***
Aku langsung update karena draft ku keganti sendiri sama draft di cerita sebelah. Kesel jelas, ngetik ulang gak bisa 100% sama dengan rencana awal. Wattpad memang mengesalkan akhir-akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Revisi
FanfictionWarn! Baca sesuai sama nomor, karena urutan bab teracak oleh WP. Serena dengan obsesinya menginginkan seorang anak dari seseorang yang dia anggap bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun...