Jeno masuk ke dalam kamar Serena menggunakan kunci cadangan. Sebelum menghampiri Serena yang bergelung di atas ranjang dengan tubuhnya tenggelam oleh selimut, hanya menyisakan rambutnya yang terlihat berantakan, Jeno membersihkan dirinya secepat mungkin, tidak mau mendekati Serena dengan pakaiannya yang kotor, dia ada kunjungan di luar kantor tadi.
Selesai dengan urusannya Jeno baru menghampiri Serena. Ia menyingkap selimut yang menutupi Serena perlahan, takut membangunkan Serena secara tiba-tiba. Rambut Serena yang berantakan Jeno rapikan hingga wajah Serena terpampang jelas memperlihatkan matanya yang sembab. Jeno menghela napas lelah, namun dia tidak bisa memaksa Serena untuk terbuka dengannya, Serena masih menyimpan banyak hal sendirian.
Jeno beranjak dari sisi Serena, ia keluar kamar sebentar, mengatakan kepada seseorang yang menunggu di depan pintu kamar Serena untuk segera membawa makanan Serena ke kamar. Ketika Jeno kembali masuk ke dalam kamar, Serena sudah duduk di ranjang dengan mata yang terlihat sayu. Jeno rasa Serena masih mengantuk, tetapi sepertinya ibu hamil itu sudah siap untuk mengomel lagi.
"Mandi dulu ya, baru makan nanti." Ucap Jeno lembut.
Serena membuang muka tidak mau melihat ataupun berbicara dengan Jeno.
Jeno melipat lengannya di dada sembari memperhatikan tingkah Serena. "Bagaimana kamu mau beranjak naik pesawat kalau mandi saja tidak mau." Tutur Jeno yang mendapat lirikan Serena. "Bilang sama Ayu untuk mensterilkan kamar yang sering kamu tempati di Green House, jangan lupa dengan aromaterapi juga."
"Apa nih?" Serena mulai tertarik dengan topik yang Jeno buka.
"Oh, tidak tertarik mau ikut ke Jeju? Ya sudah tinggal—"
"Mau!" Serena memotong ucapan Jeno. "Tapi tetap saja aku tidak menerima tamu lain." Cicit Serena pelan. Sebenarnya Serena masih kesal dengan Jeno, tapi dia terlihat lebih ganteng sore ini, entah karena apa.
"Iya, cuma kita bertiga saja—sama baby maksudnya bertiga." Jeno meluruskan maksudnya karena mata Serena sudah melotot. "Tapi nanti aku bakal pulang telat terus, kalau sudah lewat jam sepuluh malam kamu tidur duluan. Mengerti? Kalau tidak mau menuruti tidak usah ikut." Lanjut Jeno.
"Aku belum jawab padahal." Sewot Serena.
"Jadi?" Jeno tidak perduli dengan wajah menekuk Serena.
"Iya." Jawab Serena setengah tidak rela. "Ngomong-ngomong kenapa harus disteril kamarnya?"
"Biar lebih aman untuk honeymoon."
"Honeymoon apa-apaan, memangnya sudah menikah apa." Dumal Serena.
"Anggap saja iya." Toh mereka sudah seperti pasangan suami istri sebenarnya. Serena saja yang tidak sadar. "Sana mandi. Sudah ini kamu harus makan."
"Hm." Serena beranjak dari kasur sebelum di hadang oleh Jeno.
"Ini apa?" Mata Jeno menajam memperhatikan noda pada piyama yang ada di bagian perut Serena.
"Huh?" Serena menunduk mengikuti arah pandang Jeno. "Tidak tahu." Ia menggeleng menatap Jeno polos.
Kepalang penasaran, Jeno menyingkapkan piyama itu hingga perut bulat Serena terpampang di depan matanya. Mata Jeno membulat kaget melihat ada bekas luka berbentuk ujung kuku pada permukaan kulit perut Serena. Sedangkan si pemilik tubuh hanya diam melihatnya, dan Jeno yang menghela napas lelah.
"Duduk sana di sofa. Aku abil handuk sama obat dulu." Perintah Jeno yang langsung diturutin oleh Serena.
Setelah menanggalkan semua pakaiannya, kini Serena hanya berbalutkan oleh handuk saja, sedangkan perut buncitnya tersingkap karena Jeno sibuk mengobati luka pada permukaan perutnya. Terkahir, setelah beberapa hansaplast tertempel pada perutnya, dan berakhir mendapatkan nasehat dari Jeno sebentar. Berhentinya mari acara menasehati itu ketika ada yang datang membawa makanan. Serena langsung melesat ke kamar mandi ketika Jeno berdiri di ambang pintu kamar.
*** S💙J ***
"Jen, aku kehabisan tenaga." Keluh Serena berjalan gontai menghampiri Jeno yang terlihat santai.
Jeno mengisyaratkan Serena untuk bersandar padanya. Serena yang mengerti langsung saja menumpukan beban tubuhnya pada Jeno, sedangkan kepalanya bersandar manis di dada Jeno, dan mulutnya terbuka menerima suapan dari Jeno.
"Bukan tubuhmu yang lelah, tapi pikiranmu. Cerita kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri. Kalau tidak percaya siapa pun silahkan cerita ke psikolog, setidaknya beban mu sedikit berkurang."
Serena hanya diam mendengar ucapan Jeno. Untuk sekedar bercerita saja terasa sangat malas bagi Serena sekarang. Tapi memang benar, dulu dia membaik karena mendapatkan pengobatan medis. Serena tahu arah pembicaraan Jeno, dia pasti khawatir karena dirinya bahkan lupa tadinya kalau dia melukai perutnya sendiri, cukup menakutkan memang.
"Akhir-akhir ini banyak sekali kasus perselingkuhan." Celetuk Serena. "Aku tidak mengerti jalan pikiran para pria gila itu. Jika memang suka berganti-ganti pasangan untuk apa dia mengikat anak perempuan orang dengan janji suci pernikahan jika dia bahkan tidak yakin untuk setia pada perempuan tersebut. Aku rasanya ingin mendatangi para pecundang itu untuk memotong p*nisnya. Dasar sampah sialan! Kalau aku mendengar Jaemin nanti berulah setelah menikah, akan aku coba memberi pelajaran padanya."
Jeno menegang mendengar ancaman Serena yang terdengar mengerikan itu. Mari ingat, Serena tidak pernah tidak melakukan apa yang diinginkannya, bahkan melenyapkan nyawa orang saja Serena pernah. Setelahnya Jeno menghela napas kasar, ia akan menyalahkan para pria gila itu. Serena pasti semakin ragu untuk maju ke jenjang yang lebih serius kalau begini.
"Nanti aku akan mengajari baby dengan benar. Aku tidak ingin memiliki putra brengsek seperti itu."
"Lakukan saja. Aku mendukungmu." Jeno mengusak rambut Serena membuat sang empu merengek sebal.
*** S💙J ***
Konfliknya ringan ya gaes. Aku gak suka konflik terlalu berat^^
Ada typo silahkan komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Revisi
FanfictionWarn! Baca sesuai sama nomor, karena urutan bab teracak oleh WP. Serena dengan obsesinya menginginkan seorang anak dari seseorang yang dia anggap bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun...