Jeno kadang berpikir, dapat energi berlebih dari mana Serena ini? Secara melewati kegiatan semalam lalu dengan dirinya yang tengah berbadan dua, tapi tampak tidak ada keluhan kalau dia kelelahan. Bahkan yang pertama kali membuka mata tadi Serena, ketika jam masih menunjukkan angka lima pagi, Serena sudah usil membangunkannya. Dan sekarang Serena mengajaknya berjalan santai menyusuri jalan cukup lebar di tengah-tengah perkebunan teh, sesekali membalas atau menyapa para pekerja yang sudah sibuk memetik daun teh.
Senyum Serena mengembang cerah sejak mereka sampai kemarin, Jeno tahu kalau Serena amat suka di sini, namun sayangnya mereka akan pulang lagi ke Seoul nanti siang. Jeno sangat setuju dengan idenya menempatkan Serena di sini, namun ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan lagi. Jeno jadi dilema, dia tidak bisa jauh dari Serena saat ini, wanita hamil kelewat ceria ini amat membuatnya khawatir.
"Jen, kita sarapan di depan mobil untuk kemah saja, ya." Celetuk Serena tiba-tiba. Ia mendongak memasang raut penuh harapnya agar Jeno tidak punya pilihan untuk mencari opsi lain.
"Asal tempatnya aman dan tidak ramai, boleh-boleh saja." Jeno hanya menatap balik Serena sebentar, kemudian kembali menatap ke depan memperhatikan langkah mereka. Tapi alasan sebenarnya Jeno tidak kuat dengan tatapan yang Serena layangkan. Jeno bertanya-tanya, kenapa makin hari putri Kim ini semakin menarik perhatiannya? Sayang sekali untuk menahannya terus di dalam dekapannya amat susah walaupun mereka sudah sedekat ini.
"Aku dulu penasaran, kenapa bisa dua orang lawan jenis tidak merasa malu ketika saling berhadapan tanpa sehelai benang menutupi kulit?Karena sudah terbiasa, atau karena candu. Menurutmu?"
Jeno menyerengit dengan topik yang Serena layangkan. Ia melirik mendapati raut penasaran yang amat jelas tergambar di wajah Serena. "Kamu sendiri, apakah merasa malu?" Jeno melontarkan pertanyaan balik.
"Hm, untuk yang pertama aku sibuk gugup karena kamu memaksa waktu itu, mana sempat malu." Serena mendengus mengingatnya. "Mana itu kali pertama kamu tahu, aku tidak pernah disentuh orang lain seintim itu." Lanjutnya, lebih seperti pengakuan.
"Itu juga kali pertamaku."
Mata Serena memicing tidak percaya. "Masa? Kamu terlihat pro begitu."
"Pro bukan berarti terbiasa, tapi naluri." Jawab Jeno membela dirinya.
"Jadi?"
"Kalau aku jawabannya tentu saja tidak malu. Kan di ruangan tertutup, hanya berdua dengan pasangan." Jawab dengan seadanya, ia jujur kok.
"Itu karena tidak ada perasaan dengan lawan main." Ujar Serena.
"Aku ada perasaan tuh, tetap biasa saja. Yang ada aku senang dan bersemangat." Kata Jeno berterus terang tanpa berniat menutup-nutupi perasaannya.
"Oh ...." Serena bergumam pelan, dia bingung untuk menjawab seperti apa.
"Kenapa bertanya tentang hal itu?" Jeno tidak melepaskan Serena begitu saja. Dia pikir topik ini cukup menarik.
"Hehehe ...." Serena terkekeh pelan. Ia merasa panas pada pipinya mulai menyebar.
Jeno mengerjab pelan memperhatikan Serena yang salah tingkah. Lucu, Jeno jadi ingin mencubit pipi berisi Serena.
Serena berhenti berjalan membuat Jeno ikutan berhenti. Lalu dia berjinjit menarik tubuh Jeno untuk sedikit merendah agar dia bisa berbisik tepat pada telinga si pria Lee, tidak ingin semisal ada yang mendengar ucapannya.
"Sebenarnya aku malu dengan kegiatan semalam. Aku tidak pernah berpikir bisa memegangnya dan melihat langsung sedekat itu. Aneh, tapi aku suka. Semua yang ada pada dirimu aku suka, Jen."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Revisi
FanfictionWarn! Baca sesuai sama nomor, karena urutan bab teracak oleh WP. Serena dengan obsesinya menginginkan seorang anak dari seseorang yang dia anggap bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun...