"Hei!" Serena terjengkit kaget saat dia sudah berada dalam gendongan Jeno. Sedangkan pria yang menggendongnya tampak tidak perduli dengan kekagetan yang dirasakannya, dia berjalan begitu saja. Serena yang tidak memiliki energi lebih untuk bertengkar lebih memilih diam untuk saat ini. Kemudian Serena menyadari bahwa banyak orang-orang melihat ke arah mereka, Serena tidak menyukai situasi dia menjadi pusat perhatian disaat bersama rivalnya. Kerena itu Serena menyembunyikan wajahnya di dada Jeno.
“Aku bawa mobil.” Tolak Serena ketika dia sudah didudukan di kursi penumpang mobil milik Jeno.
“Memangnya sanggup membawa mobil? Kalau mau mati konyol, silahkan.” Jeno tidak berniat untuk menahan Serena.
Serena menghela napas, dia ingin marah tapi apa yang dikatakan Jeno ada benarnya juga. Kalau dia mati sekarang keinginannya untuk punya bayi gagal total. Serena turun perlahan dari kursi mobil yang mana memaksa Jeno mundur memberikan ruang untuknya berdiri.
“Pinjam jas mu, akan ku ganti nanti.” Serena mengulurkan tangannya sembari mendongak melihat Jeno. Jeno menautkan alisnya bingung tidak mengerti. “Aku takut kursimu akan kotor, sebenarnya aku tidak bisa berdekatan dengan pria saat ini.”
“Oh, kau datang bulan?” Tanya Jeno dengan gamblangnya.
Serena memutar bola matanya malas. “Sudah tahu masih nanya.” Dumal Serena, “untung kau berbicara dengan anak kesehatan, coba kalau bukan, sudah dipukul wajahmu.”
“Sakit tidak membuat mulut cerewetmu diam, ya.” Sindir Jeno. Walau kesal Jeno tetap melepas jasnya memberikan kepada Serena.
Serena mengikat jas Jeno dipinggangnya, kemudian dia duduk patuh disamping Jeno. Selama perjalanan keduanya tidak ada yang membuka suara, karena setiap kata-kata yang keluar dari keduanya pasti membuat bendera perang berkibar. Serena melepas alas kakinya, ia menaikkan kedua kakinya ke atas kursi, menekuknya hingga dirinya terlihat meringkuk, pun tangan Serena menekan-nekan perutnya. Disaat seperti ini Serena tidak ingin ada orang lain disisinya, rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi berdekatan dengan seorang pria, Serena tidak bisa untuk tidak khawatir karena rasanya dibawah sana seperti air mengalir, itulah kenapa Serena meminjam jas Jeno.
Jeno fokus menyetir tanpa tahu harus berbuat apa, dia tidak pernah dalam situasi seperti ini sebelumnya. Terlebih lagi ini Serena, disenggol sedikit langsung meraung-raung. Namun tidak lama terdengar suara isakan dari wanita di sampingnya, Jeno sontak menoleh, tampak tubuh Serena gemetar dengan isakan kian terdengar jelas. Jeno menepikan mobilnya ke tepi jalan, situasi ini membuatnya khawatir sekaligus bingung harus berbuat apa.
“Hei—”
“Jangan marahi aku, aku sedang sakit.” Potong Serena bahkan sebelum Jeno menyelesaikan kalimatnya.
“Siapa juga yang mau marah, aku bahkan belum menyelesaikan perkataanku. Dengar, mari bekerja sama. Aku tidak tahu apa yang kau rasakan, jadi berhenti menangis, dan beritahu aku apa yang bisa kulakukan? Aku tidak ingin kau mati saat bersamaku, dan aku menjadi tersangka.” Ucapan Jeno barusan membuat tangisan Serena semakin kencang. Jeno memijat pelipisnya bingung mau berbuat apa.
“Tubuhku sakit semua, dan kau mengajakku adu mulut, pria macam apa kau ini?” Serena berucap susah payah ditengah tangisannya.
“Kalau begitu beritahu aku apa yang bisa kulakukan? Kalau kau hanya menangis mana aku tahu.”
Tiba-tiba Serena mengubah posisi duduknya membelakangi Jeno. Dengan suara pelan dia berkata, “tolong pijat pinggangku sebentar, lalu antar aku pulang ke rumah.”
Jeno terdiam mendengar permintaan Serena. Ia memandangi tubuh Serena ragu, setelah ini tidak akan terjadi perang dunia, kan?
“Jeno?”
“Iya.”
Sebelum itu Jeno melingkarkan lengannya di tubuh Serena, menarik wanita itu untuk duduk lebih dekat dengannya, Serena yang terkejut sontak memegang lengan Jeno, lalu dia menoleh dengan pandangan seolah bertanya. “Kau terlalu jauh.” Balas Jeno. Dia mulai memijat pinggang itu, lalu terdengar desahan pelan atas respon tubuh Serena yang mulai rileks.
“Cukup.” Tutur Serena. Dia kembali kepada posisi duduk sebelumnya dengan gerakan perlahan, tidak ingin gerakan tiba-tibanya membuat tubuhnya kembali memberontak tidak nyaman.
Namun entah kesialan apa yang menimpa keduanya, di depan sana, terjadi kecelakaan hingga kendaraan lain menghentikan laju kendaraan mereka. Sore itu yang mana waktunya orang-orang bekerja pulang, jalanan dipenuhi oleh kendaraan, membuat jalur panjang mengatri hingga polisi dan tenaga medis datang mengevakuasi korban kecelakaan.
“Kenapa harus sekarang sih?” Erang Serena frustasi. Bukannya dia tidak memiliki empati atas kejadian yang menimpa korban kecelakaan, hanya saja kondisi dan emosinya tidak stabil hingga ia menyalahkan orang-orang yang membuatnya harus terjebak lebih lama. Tanpa ia sadari ia kembali terisak, sungguh hari ini adalah hari kesialan baginya.
“Kemari.”
“Hng?” Serena menatap Jeno tidak mengerti.
Jeno menepuk pahanya yang mana membuat Serena menggeleng heboh. “Tidak mau. Kau tahu kondisiku, kan. Dan apabila aku tidak seperti ini juga aku tetap tidak mau.”
Jeno menggidikkan bahunya acuh. Lalu dia berkata, “terserah, yang merasakan tidak nyaman dirimu sendiri, aku hanya ingin meringankan. Kalau tidak mau ya sudah.”
“Jen, kau tidak mengerti.” Keluh Serena.
“Apa yang tidak ku mengerti?”
Serena membuang pandangannya ke samping, tidak ingin melihat Jeno. “Celanamu akan kotor nanti.”
“Apa itu yang patut kau khawatirkan sekarang?” Tanya Jeno lagi.
Serena tidak menjawab, dia sibuk memilin ujung jas Jeno yang menutupi hingga lututnya. Serena gugup tentu saja. Masa sih dia dipangku sama rivalnya? Setelah ini mau diletakkan kemana wajahnya nanti?
“Apa kau membawa semacam obat atau minyak angin?”
“Ada, tetapi itu untuk bayi.” Jawab Serena pelan.
“Tidak masalah asal kau nyaman menggunakannya. Pakai sekarang, perutmu sakit, kan.”
Serena menghela napas sebentar, dengan berat hati dia menuruti perintah Jeno. Belum minyak angin itu kembali masuk ke dalam tasnya, Jeno sudah merebut dari tangannya. Tidak mengatakan apa pun, Jeno dengan entengnya mengangkat tubuh Serena, membawanya ke pangkuannya. Sontak Serena berpegangan di bahu Jeno, sungguh dia terkejut dengan aksi Jeno.
“Kau bebal sekali diberitahu.”
“Bukannya dari dulu aku memang bebal, kan?” Balas Jeno. “Benarkan posisi dudukmu.” Perintah Jeno, membuat Serena mendengus.
Merasa Serena sudah nyaman dengan posisinya, Jeno membalurkan minyak angin tersebut ke telapak tangannya, kemudian dia menyelinapkan tangannya di pinggang Serena, kali ini kulit bertemu kulit. Lagipula niatnya baik, bukan untuk melecehkan, pun dia tahu batasan mana yang tidak boleh disentuhnya.
Serena yang menyandarkan di kepalanya di dada Jeno, tiba-tiba saja ia ingat akan tujuannya, setelah ini sepertinya dia bisa meminta secara gamblang atas niatnya untuk meminta benih dari Jeno.
*** S💙J ***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Revisi
FanficWarn! Baca sesuai sama nomor, karena urutan bab teracak oleh WP. Serena dengan obsesinya menginginkan seorang anak dari seseorang yang dia anggap bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun...