1 bulan kemudian ....
.
.
Di hari Sabtu kebetulan nyonya besar Lee tidak ada urusan penting di kliniknya, dan sang kepala keluarga juga tidak pergi ke kantor, jadi keluarga kecil Lee ini memutuskan untuk pergi ke mall sekaligus belanja bulanan. Sepanjang perjalanan mereka sibuk mengobrol tidak lupa dengan cemilan sebagai pelengkap.
"Yang, cicip punya kamu dong." Jeno tertarik dengan cake yang sedang Serena makan, tidak perduli dengan campuran rasa di lidahnya yang kontras antara manis cake dan asin pedas toas.
"Yang!"
"Eh?!" Serena dan Jeno kompak menunduk mendengar kata cukup jelas yang diucapkan oleh bayi yang duduk santai bersandar di pangkuan sang ayah, tak lupa dengan biskuit di tangan gembilnya.
"Jisa tadi yang ngomong?" Tanya Serena kepada sang anak yang melihatnya dengan mata bulatnya.
"Yang!" Kata Arjisa lagi lengkap dengan tawanya.
"Kata pertama mu bukan mommy atau daddy, malah Yang." Jeno tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya.
"Kamu sih kalau manggil aku di depan Jisa seringnya bukan mommy. Anakmu itu hanya mencontoh kelakuan mu tahu."
Jeno mencebikkan bibirnya sedih, benar juga yang dikatakan Serena. "Kamu panggilnya mommy dong, Yang itu khusus Daddy saja. Jisa mengerti?" Ucap Jeno lembut.
Bayi yang sudah memasuki 7 bulan itu mendongakkan kepalanya menatap sang ayah, "Yang." Ucapnya lagi.
"Bukan Yang, tapi mommy. Coba ikuti Dadddy, mommy."
"My?" Beo Arjisa.
"Nah! Itu jauh lebih bagus, tidak apa-apa kalau panggil My saja. Nanti tambah deh jadi mommy cantik gitu."
"Tik?"
"Oh!" Jeno menoleh ke samping menatap Serena dengan ekspresi antusias. "Jisa sepertinya mudah diajari nih, Mom."
"Dia pintar karena menurun aku." Jeno mengangguk mengiyakan tanpa ada bantahan. Istrinya itu memang pintar, dia saja bangga kok.
"Dy!" Panggil Arjisa nyaring dengan tangan gembilnya menepuk-nepuk lengan sang ayah dengan kedua tangan ayahnya itu berada di samping kiri kanan tubuhnya, seolah sedang mengurungnya.
"Sebentar, jangan-jangan sebelumnya Jisa sudah bisa mengoceh, ini bukan pertama kalinya." Serena merasa ada yang janggal di sini.
"Mungkin saja. Jisa kan sering di bawa pergi sama kakek neneknya." Timbal Jeno. "Ngomong-ngomong, aku mau cicip cake kamu lho tadi, Mom." Lirik Jeno pada cake di tangan sang istri yang tinggal sedikit lagi.
"Oh iya." Jadilah sendok terakhir dengan suapan besar Serena berikan kepada Jeno.
Arjisa yang melihat itu ikut membuka mulutnya meminta suapi juga.
"Jisa belum bisa makan ini. Itu biskuit Jisa masih, makan itu saja, ya."
Jisa mengedipkan matanya pelan. Dia tidak mengerti apa yang ibunya itu katakan, tapi sepertinya dia tidak akan disuapi seperti di rumah tadi.
"Ini lho, makan yang di tangan Jisa." Jeno mengarahkan tangan Jisa yang menggenggam erat biskuit tinggal setengah bagian itu ke mulut si bayi.
"Jisa mau gendong Mommy atau daddy?" Tanya Serena ketika mobil yang mereka tumpangi berbelok masuk ke dalam parkiran mall. Karena Arjisa tidak ada tanda-tanda mengulurkan tangannya meminta gendong, jadi Serena artikan anaknya ini mau di gendong ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby of a Business Rival ^ Revisi
FanfictionWarn! Baca sesuai sama nomor, karena urutan bab teracak oleh WP. Serena dengan obsesinya menginginkan seorang anak dari seseorang yang dia anggap bisa memberikannya keturunan yang sempurna. Sosok laki-laki itu adalah saingan bisnisnya sejak 10 tahun...