Bab 3

221 3 0
                                    

Notifikasi mengambang yang baru saja masuk menyalakan benda pipih ukuran 12 inch di atas nakas, refleks mengalihkan pandangan Maudya. Karena memang sedang tidak ada aktivitas yang mendesak, dia pun menyempatkan untuk memeriksa pesan apa kiranya yang muncul.

Walau Maudya terkesan acuh tak acuh pada Butik miliknya, faktanya dia selalu tahu segala hal yang terjadi di sana. Lewat beberapa orang-orang terpercaya juga pemberitahuan otomatis yang memang dia rancang sendiri.

Seperti saat ini misalnya. Saat matanya membaca artikel yang baru masuk, tentang terdaftarnya anggota baru. Seorang wanita yang mengisi posisi trend analysis, juga dua orang yang dipecat begitu saja tanpa pemberitahuan dulu padanya.

Apa yang terjadi? Kerutan dahi Maudya tercetak.

"Aku ada rapat sama orang kantor, kayaknya bakal pulang malam. Tidur duluan aja ya, jangan nungguin," ujar Bian yang hendak melengos dari hadapan sang istri. Membuatnya mengalihkan pandangan.

"Eum ... Mas," panggil Maudya. Bian menengok menghentikan langkahnya. "Kamu baru pecat dua orang ya? Kenapa?"

Bian mengangguk. "Dia kerjanya nggak becus. Masa kalah sama orang-orang kita? Cuma habisin duit aja kita ngasih kerjaan ke mereka. Nggak akan dapat feedback apa-apa," sahut Bian jujur.

Maudya lantas mengangguk-angguk, mengerti. "Terus udah ada yang ngisi posisi itu lagi?"

Pertanyaan Maudya selanjutnya itu tiba-tiba saja mengajak kepala Bian mengingat tentang Maya, sang mantan kekasih. Tak seperti sebelumnya, tanya Maudya yang ini terlalu lama mendapatkan jawaban.

"Masih belum. Masih proses seleksi," katanya akhirnya. "Udah ya, aku ke kantor dulu. Masih banyak kerjaan yang belum diselesaikan."

Hendak berlalu, Maudya menahan tangan sang suami. Tentu saja Bian kembali menoleh kali ini dengan tatap tanya.

"Kamu masih marah ya sama kejadian tadi malam? Maaf ya, Mas. Aku nggak bisa belain kamu lagi di depan mama papa." Maudya memasang wajah cemas. Dia sebenarnya masih kepikiran dengan masalah tadi malam.

"Nggak kok. 'Kan udah sifat orangtua kamu kayak gitu? Mereka nggak rela banget, padahal udah nyerahin kamu ke aku. Kalau pun aku marah, ya pasti balik lagi ke orangtua kamu yang punya segalanya. Nggak akan bisa disalahin mau apa aja yang keluar dari mulut mereka. Lagi pula, fungsi aku di sini memang buat dihujat aja kayaknya. Iya, kan?"

"Mas ... Aku nggak pernah mikir kayak gitu sama kamu. Kamu selalu nomor satu yang aku utamain. Jangan anggap diri kamu remeh, Mas."

"Udahlah. Bahas ini nggak akan ada habisnya." Bian memegangi dua bahu Maudya. "Aku cuma mau satu hal dari kamu. Tolong bujuk orangtua kamu buat nggak ngurusin hidup kita lagi. Kita ini udah mandiri. Nggak perlu ada mereka lagi, Sayang."

Perempuan bermata bulat itu lantas mengembangkan senyumannya, lalu mengangguk menyetujui. "Aku bakal bujuk mereka lagi. Kamu tenang aja ya?"

"Oke." Bian melayangkan kecupan di kening Maudya. "Aku pergi dulu ya. Kamu jangan nakal-nakal kalau lagi nggak ada aku."

"Ya ampun, Mas. Mau nakal kayak gimana aku di sini? Lagian mana ada yang bisa gantiin kamu di mata aku."

"Kamu bisa saja." Bian menyentil gemas hidung sang istri, lantas melengos pergi. Kakinya yang jenjang melangkah panjang hingga hilang dari pandangan Maudya.

Begitu Bian menghilang, layar tab yang digenggamnya pun kembali menyala. Refleks tangan mengangkat benda persegi itu lantas melihat lagi apa yang baru saja membuat layar itu menyala.

[Resmi, Maya Dayana bergabung dengan Butik Maudya.]

Tidak mungkin Maudya tetap berpikir biasa saja begitu mendengar berita terbaru tentang Butiknya. Bukan apa-apa, masalahnya baru saja suaminya mengatakan kalau posisi itu belum diresmikan dan masih menjalani tahap seleksi. Lantas, kenapa pula sudah ada artikel yang memuat berita seperti itu?

Apa sedang ada yang berniat mengacau?

***

"Pak, hari ini agenda Anda tidak terlalu padat. Karena itu kayaknya kita bisa menyempatkan waktu untuk melakukan kegiatan amal yang Nyonya Maudya lakukan tiap tahunnya. Apa Anda mau ikut bergabung, Pak?"

Bian yang sedang berjalan langsung saja mengehentikan langkahnya dan menoleh pada sekretarisnya yang baru saja mengoceh. Tatap dingin itu mendadak membuat sosok pria muda di sana merasa terintimidasi.

"Saya yang harusnya menyuruh, bukan kalian!" tegas Bian. "Hari ini saya ada rapat, jadi jangan ganggu! Masalah kegiatan amal itu, tanya saja sama istri saya. Dia yang buat acara ini, 'kan?"

"Ba-baik, Pak. Saya mengerti." Pria muda usia dua puluh lima tahun itu segera menunduk hormat, sukses dibuat merasa terancam.

Bian menatap sekali lagi, lalu berjalan lagi menuju ruangannya. Para antek-antek yang kerap mengikuti ikut bubar. Sudah biasa kalau Bian akan ditinggalkan kalau sudah berada di dalam ruang pribadinya.

"Apa yang akan kita bahas hari ini?" Suara bariton Bian kembali terdengar. Kali ini dia berbicara lewat telepon.

"Tidak ada yang formal, Pak. Hanya perjanjian pertemuan dengan Nona Maya. Kalian harus bertemu karena akan bertujuan untuk membangun kinerja yang baik untuk butik, Pak. Saya sudah menyuruh Nona Maya datang. Dia akan sampai sebentar lagi."

Bian segera menutup telepon dengan debar dada yang mendadak muncul. Entahlah. Padahal sudah hampir tiga tahun berlalu, tapi kenapa dia masih saja dibuat tidak karuan saat akan bertemu dengan Maya. Bukannya harusnya dia biasa saja? Lagi pula, waktu itu dialah yang ditinggalkan. Menurut hukum alamnya, harusnya dialah yang kini merasa jijik karena sempat putus asa sebab ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.

Tentang rapat yang dikatakan Bian tidak sepenuhnya bohong. Memang akan ada beberapa pertemuan, hanya saja bisa diakses lewat beberapa file digital untuk penjelasannya. Alasan Bian mengatakan hal itu, hanya ingin dirinya tenang walau hanya sesaat. Memikirkan lagi tentang perlakuan-perlakuan mertuanya, dia jadi berat kepala dan ingin mendinginkan terlebih dulu sebelum siap kembali berperang.

Larut akan lamunan yang singkat, waktu yang dihabiskan Maya untuk mengikis jarak pun usai. Wanita berbadan sintal itu mengetuk pintu dan di detik yang sama dia membuka pintu walau belum ada suara izin dari Bian.

Menyadari pintu ruangannya terbuka begitu saja, mengajaknya refleks berdiri dan siap menyambut sosok yang dia pikirkan muncul. Kian berdetak cepat jantung Bian, begitu siluet muncul lalu si pemilik siluet tersebut menampakkan diri.

"Selamat pagi, Pak Bian. Senang bisa bertemu Anda lagi," ucap Maya kala matanya sudah bertemu lagi dengan sang mantan kekasih.

Diam sejenak, hanya untuk memperhatikan bagaimana kini sosok perempuan yang dulu amat sangat dia cintai itu. Beberapa detik kemudian, Bian pun menjawab dengan senyum yang mendadak muncul.

"Oh iya, pagi juga. Silakan duduk."

Maya mengembuskan napas tawa singkat. Dia lantas berjalan mendekat, kini duduk di kursi tamu di depan meja Bian. Keduanya kini berjarak lebih dekat. Puas sudah Bian mengamati setiap inchi wajah Maya yang baginya tetap tidak banyak berubah. Masih saja sama seperti tiga tahun lalu.

"Boleh aku buka jaket bentar? Nggak apa-apa, kan?" tanya Maya, mendadak informal.

"Eh!" Sia-sia Bian protes, sebab Maya sudah lebih dulu membuka jaketnya. Tiba-tiba saja Bian meneguk ludah saat bagian padat pada diri Maya menyapa sepasang matanya.

"Kamu nggak berubah, Bra. Masih suka sama yang gede-gede," ujar Maya sambil membenarkan posisi dua gundukan daging di dadanya yang seperti kurang tepat hingga membuatnya tak nyaman.

Bian kian terbakar suasana, entah kenapa jadi sulit mengalihkan pandangan.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang