Bab 26

60 0 0
                                    

Jemari lentik itu mencengkeram kuat setir kemudi, demi menahan getar dalam dada. Bohong kalau ada yang mengatakan Maudya itu wanita yang kuat. Berita bohong jika ada yang membuat pertanyaan tentangnya kalau dialah wanita hebat itu. Karana pada akhirnya, sekuat-kuatnya seorang wanita, dia juga bisa terluka. Sefasih apa pun Maudya menyembunyikan kekecewaannya, tetap saja dia merasa tersakiti dengan semua kejadian-kejadian yang dia lalui hari ini.

Tak sadar, sepanjang jalan rupanya Maudya menangis. Tenggorokannya bahkan rasanya tercekat, sakit. Napasnya berangsur tak beraturan, masih belum bisa menerima jika suaminya mulai main belakang.

Maudya menyeka air mata kala pandangan di depan sudah menunjukkan pagar rumahnya yang masih terbuka. Tidak! Orangtuanya tidak boleh tahu tentang keadaannya hari ini. Itu kenapa Maudya buru-buru menyeka air mata, juga merapikan riasannya yang sudah tak berbentuk.

Begitu di rasa sudah lumayan membaik, Maudya pun kembali melajukan mobilnya, kini masuk ke area halaman rumahnya. Namun, alih-alih resah akan tanya apa saja yang keluar dari mulut orangtuanya, Maudya justru kepikiran tentang Abdi. Sejak siang itu dia tidak lagi mendengar kabar lelaki itu. Bahkan panggilan, pesan suara, pesan teks, tetap tak ada balasannya.

Apa semarah itu Abdi terhadapnya?

Maudya mengetik sandi pintu. Sidik jarinya tidak terbaca karena berkeringat saking tidak baiknya dirinya kini. Kala pintu terbuka, Maudya menunda masuk sebab suara mobil mendekat menarik atensinya.

Maudya menengok dari balik bahu, hingga membulatkan mata kala yang keluar dari dalam mobil tersebut adalah Abdi. Ada rasa lega dalam dadanya begitu melihat Abdi yang tengah mengulas tawa kecil. Di sisi kiri, di bagian jok penumpang di depan, Maudya mendapati sang ayah yang ternyata penyebab Abdi membuat mimik bahagia itu.

Tapi dari mana mereka?

Begitu menutup pintu mobil dan segera melangkah hendak masuk ke rumah, baik Abdi, Antonio juga Sandriana dibuat terkejut akan kedatangan Maudya yang tak memberi kabar sebelumnya.

"Lho, Maudy? Kamu pulang?" tanya sang ayah segera mengikis jarak.

Buru-buru Maudya menarik senyum kecil, menyambut ayahnya yang super menggemaskan ini. Kalau saja wajah tegas itu hilang, Antonio sudah di katakan mirip beruang yang berteman dengan marsha, lucu.

"Maudya, kenapa pulang nggak bilang-bilang? Suami kamu mana?" timpa sang ibu yang juga ikut mengikis jarak.

Sementara Abdi, dia menatap Maudya cukup lekat dan sedang membaca ada apa gerangan dengan perempuan ini. Apa pertengkaran tadi siang terlalu serius?

Sebelum menjawab Maudya sempat melirik wajah Abdi yang berdiri di depannya. Rasa bersalah itu kembali hadir saat mendapati sudut bibir Abdi yang memerah.

"Mas Bian ada pertemuan di luar kota, Pa. Dia baru aja berangkat tadi. Aku lupa ngabarin kalian karena terlalu dadakan. Aku boleh, 'kan tinggal buat beberapa hari sampai Mas Bian balik?" jelas Maudya yang sepenuhnya berbohong.

Sadar kalau ucapannya itu terlalu klise, Maudya refleks melirik Abdi yang dari tadi tak bersuara. Tatapannya juga tak bisa di baca Maudya. Entah kenapa pria itu jadi mendadak pendiam.

"Oh, Papa kira tadi ada apa-apa," tanggap Antonio. Dia melengos dari depan Maudya lalu membuka pintu. "Oh iya, kamu udah tahu belum kabar tentang Mas kamu hari ini?"

Maudya tiba-tiba berjengit karena pertanyaan sang ayah. Begitu tubuh Abdi yang melengos dari hadapannya, Maudya sekali lagi menatap, sungguh ingin sekali berbicara. Tapi pria itu tetap diam bahkan sampai masuk ke dalam rumah.

"Kenapa emang, Pa?" tanya Maudya sambil menutup pintu.

"Masa dia berantem? Coba kamu lihat mukanya dia, kayak anak berandalan, 'kan? Padahal anak baik gini," ucap Antonio yang sudah duduk di sofa.

"Ya ampun, Pa. Anak cowok berantem itu biasa tahu. Nggak papalah sesekali. Abdi juga, 'kan punya emosi kalau sewaktu-waktu ada yang buat dia marah," timpal Sandriana dari balik pintu kulkas.

Sementara itu, Maudya tetap tidak paham apa yang telah terjadi. Dia berulang kali ingin menangkap tatap Abdi, akan tetapi tetap saja laki-laki itu enggan menatapnya. Maudya hanya bisa melihat ekspresi-ekspresi Abdi kala orangtuanya berucap.

"Emang kenapa sih?" Maudya kian penasaran.

"Udah ah, Pa. Abdi naik duluan ya?" Abdi memijat-mijat bahunya. "Capek, Pa. Mau istirahat dulu."

"Oke, oke. Tapi ingat ya, Di. Lain kali jangan main kekerasan lagi. Sesekali pake cara yang elegan kalau emang ada yang bikin kamu nggak senang. Otot balas otot nggak akan punya hasil akhir. Pasti itu-itu aja yang terjadi sampai salah atau di antara kalian ada yang mati!" pesan Antonio, sungguh-sungguh.

Mendengar itu, Abdi refleks lagi menatap Maudya. Sementara itu, Maudya ikut menatapnya yang mana di setiap sorot mata itu ingin sekali berbicara banyak.

"Oke, Pa." Abdi akhirnya melenggang pergi, menaiki anak tangga hingga hilang dari pandangan Maudya.

"Oh ya, Maudy, berapa hari Bian pergi?"

Pertanyaan Antonio seketika meluapkan diamnya Maudya. Dia menoleh cepat seolah-olah tadi dia tidak berada di sisi ayahnya. "Oh itu ... belum tahu, Pa. Karena Mas Bian perginya dadakan, jadi belum sempat ngomong. Nanti juga bakalan di telfon," kilahnya.

Antonio hanya mengangguk-angguk. Badan besar itu beralih tegak lagi ketika Sandriana membawa beberapa buah yang sudah di potong juga susu hangat.

"Bawa susu sama buah ini ke kamar Mas kamu gih. Dia itu capek seharian. Kasihan banget emang," suruh Sandrina sambil menyodorkan nampan.

"Emang Mas Abdi abis ngapain, Ma? Dia juga berantem sama siapa?" tanya Maudya seolah-olah tidak tahu penyebab wajah Abdi memar.

"Dia habis menjalani operasi gabungan sama Papa kamu. Dan itu butuh waktu seharian banget. Soal berantem itu, dia nggak cerita siapa orangnya. Dia cuma bilang, kalau orang itu salah paham karena mau bantuin cewek."

Mendadak Maudya mendesah besar, tidak percaya apa yang dia lakukan pada laki-laki baik itu. Sejak awal kedatangan Abdi, tidak pernah sekali pun dia tidak membantu Maudya dan terima-terima saja kalau pun harus direpotkan. Tapi lihat kini, bagai susu di balas tuba perlakuan Maudya terhadapnya. Siapa yang tidak jengkel dan kesal jika berada di posisi Abdi? Mungkin Maudya pun pasti akan bersikap yang sama jika yang kena dampak seperti itu dirinya.

"Eh, kok malah ngelamun! Antar sana. Keburu Mas kamu tidur," ujar Sandriana yang segera menguapkan lamunan Maudya.

Maudya hanya melirik tanpa menjawab. Dia merebut nampan yang diisi susu putih hangat dengan potongan apel. Ya, mungkin ini adalah kesempatan untuk Maudya bisa bercakap dengan kakak angkatnya itu. Mau sampai kapan Abdi akan tetap mendiamkannya? Walau pun harus kena maki-maki, Maudya akan menerimanya asal Abdi tidak lagi marah padanya.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang