Bab 54

47 0 0
                                    

Hasil dekorasi untuk tamu menjadi sasaran amukan Maya atas tindakan yang dilakukan Bian terhadapnya. Laki-laki itu berdalih tidak akan lagi membiarkannya melakukan tujuan mereka yang sudah direncakan sebelumnya.

"May, stop! Kamu udah gila? Ruangan ini udah dilengkapi kamera cctv! Kita bisa kena masalah kalau sampai ada orang yang tahu, May!" tekan Bian guna menghentikan kegilaan Maya yang memporak-porandakan kursi-kursi tamu.

Dengan napas yang terengah-engah Maya melayangkan tatap tajam pada mantannya itu. "Aku nggak peduli, Bra. Aku bahkan nggak peduli kalau aku harus masuk penjara karena ini!" hardiknya dengan amarah. "Asal kamu tahu ya, Bra. Apa yang aku kasih sama kamu itu nggak gratis. Jadi jangan pikir kamu bisa lepas tangan gitu aja dan coba lari dari semua kesalahan kamu!"

"May! Kita sama-sama mau! Dan kita juga harus sama-sama menyesal! Jangan libatkan aku lagi sama urusan kamu, please. Aku mau hidup bahagia sama istri aku, May. Kamu juga tahu, 'kan, kalau Maudya saat ini lagi hamil? Aku akan jadi ayah sebentar lagi. Aku nggak mau sia-siain kebahagiaan yang tersisa ini. Jadi, ayo sama-sama mundur. Ayo kita lupain masa-masa yang udah lalu," bujuk Bian dengan segala upaya.

Maya mendengus merasa lucu. "Apa? Jadi kamu buang aku demi istri kamu?" Tawa tertahan menghembus dari mulut Maya. "Nggak akan semudah itu, Bra. Aku nggak akan pernah rela kamu bahagia sementara aku kehilangan seluruhnya. Aku bahkan belum sempat membuat pameran atas namaku. Jadi, tahan dulu. Kalau kamu emang nggak mau bantu aku lagi, kamu harus pilih di antara dua. Aku atau anak dan istri kamu?"

"Maya!" Bian mendadak murka. "Jangan coba-coba sentuh Maudya atau kamu akan tahu akibatnya!" ancamnya kemudian dengan jari telunjuk yang mengacung tajam.

"Kalau gitu kamu harus pilih aku." Maya mengangkat bahu.

Sial! Kali ini Bian merasa kalau pilihannya benar-benar membuatnya ke jurang. Mama pernah Bian bayangkan kalau Maya akan sepicik ini.

"Apa yang kamu mau?" Demi sang buah hati yang tengah dikandung sang istri, rupanya Bian sanggup tunduk di hadapan Maya.

"Lusa acara pameran akan di adakan. Ubah nama penyelenggara jadi namaku dan seluruh deskripsi tentang owner itu harus sesuai yang aku mau. Juga tentang Maudya, aku nggak akan halangin datang ke acara ini, karena aku mau dia lihat kalau acara yang udah dia siapin ini itu khusus buat aku," jelasnya tak tahu malu. "Gimana? Simple, 'kan?"

"Kamu gila?" desis Bian menanggapi. "Nggak akan semudah itu, May! Maudya punya banyak koneksi. Belum lagi orangtuanya ikut berpartisipasi untuk acara ini. Menyabotase semua itu nggak sesederhana yang kamu mau!"

"Aku nggak peduli! Aku cuma mau kamu lakuin itu, Bra. Kalau kamu udah buat semua itu dan acara pameran aku berlangsung lancar, aku nggak akan ganggu hidup kamu lagi. Aku akan menjauh bahkan aku akan mikir dua kali buat ketemu kamu lagi."

Bian benar-benar akan gila sekarang. Dia meremas rambutnya cukup kuat berharap bebas kepalanya hilang begitu saja. Permintaan Maya terlalu mustahil untuk dia lakukan. Dia mana mungkin bisa masuk ke area pameran bahkan mengubah seluruh outline yang sudah dirancang.

"Aku nggak bisa, May! Aku benar-benar nggak bisa," ucap Bian tak menyanggupi.

"Kalau gitu kita impas, Bra. Aku nggak dapat yang kumau, kamu juga nggak boleh dapat yang kamu mau. Balance!" Senyum iblis memahat wajah Maya dengan sempurna.

Tidak! Maya tidak boleh melakukan apa pun terhadap Maudya. Karena bagi Bian kini, Maudya adalah hidupnya. Selama ini dia berpikir kalau tidak akan ada lagi yang bisa meneruskan darahnya sebab masalah yang dia miliki. Nyatanya takdir berkata lain. Sesuatu yang membuat Bian tidak bisa meletakkan satu cinta kini ditunjukkan oleh kehadiran sang buah hati yang tengah dikandung sang istri. Mau bagaimanapun, Bian akan tetap memperjuangkan istrinya meski dia harus bersujud dihadapan Maudya.

Hal itulah yang membuat Bian mengiyakan perintah Maya. Takdir tiada yang tahu bagaimana jalannya, tapi Bian ingin takdirnya tetap bersama sang istri yang baru dia sadari tentang keberadaannya yang memiliki hati yang bersih.

***
Acara pameran yang akan di selenggarakan sudah berjalan 90 persen. Tinggal melakukan beberapa tambahan detail dan hal-hal kecil untuk membuat persiapan yang sempurna.

Di lorong panjang menuju altar tempat berjalannya model, terlihat Maudya tengah berjalan santai sambil melirik keseluruhan persiapan yang sudah sangat cantik di matanya.

Kursi-kursi untuk audience sudah rapi tertata. Kombinasi warna soft blue mix white cukup mencolok rupanya. Dia pikir akan terlihat tabrakan dengan konsep yang dia buat. Ternyata lebih terlihat sempurna dari yang dia bayangkan.

Sibuk memerhatikan pekerja yang masih terlihat sibuk, Yuda tiba-tiba datang dengan langkah cepat. Maudya berbalik menghadap Yuda dengan tanda tanya yang cukup besar. "Kenapa, Yuda? tanya Maudya.

"Itu Nyonya, Pak Bian memaksa masuk ke Butik. Saya sudah mencoba menghalangi tapi dia tetap berontak dan kini membuat kekacauan di Butik."

"Apa!?"

Yuda menarik napas. "Butik sedang ramai karena acara pameran akan segera diadakan. Kalau Pak Bian terus aja berontak seperti ini, pameran yang kita adakan akan dominan dengan berita-berita miring, Nyonya. Apa yang harus saya lakukan?" jelas Yuda lebih detail.

"Bawa saya pada Bian." Maudya segera berjalan.

"Tapi, Nyonya. Bagaimana kalau-"

"Nggak akan ada yang terjadi, Yuda. Semuanya akan baik-baik saja." Maudya segera memenangkan asumsi negatif Yuda.

"Apa sebaiknya kita hubungi Pak Abdi?" tawar Yuda lagi.

"Kenapa? Abdi lagi sibuk, Yuda. Jangan coba-coba buat hubungin dia. Saya nggak akan maafin kamu kalau coba buat sesuatu yang saya nggak suruh!" ancam Maudya dengan mata menyipit.

Yuda segera mengangguk, patuh. "Baik, Nyonya.

Keduanya pun berjalan menuju tempat di mana Bian membuat onar. Entah kenapa tiba-tiba Maudya jadi gelisah sendiri. Sebenarnya sangat sulit baginya untuk kembali menatap mata Bian setelah kejadian-kejadian yang dia alami kemarin. Ada rasa trauma yang hadir bahkan sialnya Maudya merasa gemetar kalau sudah berhadapan lagi dengan tatap sang suami.

"Oh iya, kamu udah urus tentang perceraian saya, 'kan?" tanya Maudya disela langkah.

"Sudah saya ajukan pada kuasa hukum pribadi Anda, Nyonya. Begitu acara pameran kita selesai, kalian akan resmi bercerai," sahut Yuda dengan jelas.

Diam-diam Maudya membuang napas lega. Namun, tak akan dibimbingnya kalau hatinya terluka begitu mendengar tentang dirinya yang akan bercerita. Mana pernah dia bayangkan kalau pernikahan dengan usia tiga tahun ini akan kandas dengan cara yang cukup tragis. Hal yang dia perjuangan kemarin akhirnya hanya tinggal ampas yang harus segera dibuang.

Sialnya, dia harus mengandung anak sang suami. Tidak! Bukan dia tidak menerima sang buah hati dengan hati yang tulus, hanya saja mengapa harus anak dari Bian? Mengapa harus anaknya yang akan menanggung derita dengan status broken home?

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang