Bab 15

115 2 0
                                    

Menyadari kedatangan Maya, senyum Bian pun mengembang lantas memasukkan ponsel ke dalam saku guna menyambut pelukan yang Maya layangkan.

"Udah selesai?" tanya Bian, lembut.

"Udah." Maya mengangkat paper bag mini di depan wajah Bian.

"What's that?"

"Gift. Ini hari ulang tahun pernikahan kamu, 'kan?"

Bian segera memutar bola matanya malas. "Untuk apa? Udah-udah, masuk dulu."

Maya menurut. Dia segera masuk ke mobil dan kini mendekap lagi di dalam bersama Bian yang sudah ada di depan kemudi.

"May ... apaan coba beli kado-kado segala?" protes Bian. Dia bahkan tidak ingat kalau saja Maya tidak mengatakannya lebih dulu.

"Why not, Bra? Aku cuma mau ngasih kado. Nggak ada maksud apa-apa," balas Maya sambil mengangkat bahu.

Embusan napas pasrah Bian terdengar. Apa lagi yang bisa dia katakan? Menolak pun pastinya sudah terlambat. Maya sudah membeli kado dengan susah payah, mana mungkin dia tidak menerimanya.

"Oke." Bian mengalah pada akhirnya. "Tapi apa ini?"

"Jam tangan. Pilihan istri kamu."

Langsung saja Bian tersedak ludahnya sendiri, sampai tak sadar kalau hadiah di tangannya ikut terjatuh. Kepalanya segera menoleh dengan kedua alis lebat yang terangkat.

"What does it mean?"

"Aku ketemu sama istri kamu. Di dalam toko." Maya menunjuk toko di depan mereka dengan dagu cukup santai.

Bian tercengang, tak percaya. Sial! Jika Maudya keluar sekarang, istrinya itu akan mengetahui kalau dia ada di sini alih-alih di kantor. Detik itu juga Bian menyalakan mesin mobil dan segera menjauh dari area parkiran toko. Bisa kena masalah jika benar istrinya ada di sana dan menangkap dirinya sedang bersama Maya.

"Kamu mulai lagi deh, Bra? Kenapa sih?" kesal Maya. Selalu saja sikap 'pengecut' Bian ini mendampingi kebersamaan mereka.

"May, kenapa kamu baru bilang kalau ada Maudya?" tekan Bian, justru cemas.

"Aku baru ngasih tahu tadi. Tapi nggak gini juga, 'kan reaksi kamu? Kenapa sih harus ngehindar dari dia? Kayak kita akan mati aja," sungut Maya, membuat kedutan sinis di bibirnya.

"May ... please stop. Kamu tahu apa yang kita lakukan?" Bian menyempatkan menatap Maya bergantian dengan jalanan di depan.

Maya berdecak. "Iya-iya. Aku tahu. Kita ini selingkuh, iya, 'kan? Tapi ya udah, nggak usah di buat ribet. Aku lihat istri kamu itu cinta banget sama kamu. Nggak mungkinlah dia percaya kalau kamu selingkuh. Jadi tenang aja." Maya seolah membuat keadaan mereka tidak akan jadi permasalahan apa-apa pada Maudya.

"Tapi nggak kalau dia udah liat pake mata kepalanya sendiri, May. Maudya itu kelihatannya aja polos. Tapi sebenarnya dia itu perempuan yang cerdik dan bijaksana. Dia nggak akan bisa dibohongi dengan cara yang kita buat. Maudya itu definisi perfect woman!"

Mendengar itu Maya kian panas. Ditatapnya tajam wajah Bian yang dengan santainya mengatakan hal itu. Entah kenapa, dadanya terasa terbakar dan secepatnya kembali mengingat wajah Maudya yang sempat dia temui secara langsung tadi.

"Kamu bakal nyesal udah bilang kayak gini, Bra," batin Maya seolah mengancam.

Rasa tidak terima yang muncul menjadikan Maya sosok yang pendendam. Hanya saja, dendamnya ini tidak mendasar. Bagaimana bisa dia mengecam keberadaan Maudya yang jelas-jelas masih istri sah. Maya seperti lupa bercermin. Harusnya dia juga sama paniknya alih-alih menjadi super percaya diri.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang