Bab 18

77 1 0
                                    

Jangan harap kepala Maudya bisa berhenti memikirkan tentang apa yang dia temukan tadi malam. Sampai menuangkan susu ke dalam kopi pun, dia masih terus memutar otak ada apa gerangan dengan hal tersebut.

"Aw!" lirihnya, tak sadar kopi yang dia racik telah kelebihan susu. Alhasil, air yang sudah berwarna kecokelatan tersebut pun menguap, berceceran. Bibirnya mendesis, jadi kesal sendiri.

"Sayang, kayaknya nanti aku bakalan pulang terlambat lagi. Di kantor kedatangan beberapa konsumen baru untuk melihat-lihat beberapa koleksi kita yang akan di pasarkan ke luar negeri. Jadi jangan tunggu aku, ya?" ujar Bian yang baru saja turun dari lantai atas, kamar.

Maudya tak langsung menjawab. Dia hanya menoleh dari balik bahu, terus bertanya-tanya tentang note yang dia temukan tadi malam alih-alih menanggapi langsung pesan sang suami.

"Oh iya?" sahut Maudya kemudian. Dia bangun usai membersihkan beberapa sisa kopi yang tumpah. "Konsumen dari mana, Mas? Kok nggak temuin orang dari tim pemasaran aja?" tanya Maudya lagi sambil berjalan dengan kopi di tangannya.

"Uh? Iya. Tadinya emang gitu. Tapi kamu tahu sendiri, kan, gimana watak-watak setiap pelanggan kita? Nggak semua mereka setuju bertemu cuma sama tim aja. Katanya lebih leluasa bertanya kalau sama kita."

Maudya manggut-manggut. Dia meletakkan kopi di atas meja, yang mana langsung di rebut oleh Bian. "Oh iya, Mas. Tadi malam aku masukin mobil kamu terus nggak sengaja nemuin kotak jam tangan dengan catatan aneh. Ada yang ngasih kamu hadiah?"

Detik itu juga, kopi yang hendak masuk ke dalam kerongkongan Bian, muncrat seketika. Sang istri bahkan kaget, dan refleks menarik satu tissue. "Are you oke?" Maudya tampak panik.

"Ah ... ya, aku nggak papa kok. Kayaknya ada yang gosipin aku deh di luar, makanya jadi keselek gini," tutur Bian, menyamarkan rasa kagetnya.

Astaga! Kenapa dia bisa se ceroboh itu? Akan jadi masalah jika Maudya menyadari sesuatu. Dan ketakutan akan asumsi itu, mengajak Bian menatap sang istri yang masih berdiri di sisi kirinya dengan raut panik.

"Kamu nih, Mas, percayaan aja yang kayak gituan." Maudya memukul bahu Bian.

"Eum ... Sayang, kamu jangan marah, ya? Sebenarnya, jam tangan itu pemberian dari seseorang," ungkap Bian yang mana langsung membuat dada Maudya berdebar hebat.

Tidak! Apa jangan-jangan apa yang dia pikirkan sejak semalaman itu benar? "Hadiah dari siapa?"

"Teman lama. Sama kayak kamu sama anak angkat orangtua kamu itu. Kami juga kenal udah lama. Sempat nggak ada kabar beberapa tahun, tapi setelah dia balik ke indo, dia ngasih gift ini ke aku. Cuma sebatas itu. Nothing more."

"Girl?"

"Eum ... ya." Bian segera bangun dan memegang dua bahu Maudya sambil menatapnya penuh arti. "Please, don't be jealous like this. Kamu tahu, 'kan, nggak ada wanita mana pun yang bisa gantiin kamu di hati aku? Kalau kamu nggak suka, buang aja jamnya. Jam tangan dari kamu seribu kali lebih bagus dan lebih bermakna darinya," yakinkan Bian dengan segala upaya.

Dan merosot sudah bahu tegang Bian, kala raut wajah tak bersahabat sang istri berubah sumringah lagi. Maudya segera mengembangkan sebuah senyuman, untuk meyakinkan sang suami kalau dia sedang tidak cemburu seperti apa dugaannya. "Kenapa di buang, Mas? Nggak sopan kalau kita buang pemberian orang lain. Siapa tahu dia tulus?"

"Aku cuma mengantisipasi aja, Sayang. Siapa tahu kamu emang nggak suka."

Maudya menggeleng. "Nggak papa kok, Mas. Aku juga terbiasa memberi juga menerima. Jadi aku tahu gimana perasaan di masing-masing posisi itu. So, its okey. Bahas tentang dia kita udahin aja. Nanti gimana kalau aku beneran cemburu?"

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang