Bab 41

48 1 0
                                    

Satu malaman Maudya dibuat kepikiran tentang hal yang dikatakan Abdi. Dia bahkan hampir saja merasa gila saat dia ingat lagi kalau sang tamu bulanan memang sudah terlambat datang.

Tidak! Bukan ini yang diharapkan Maudya. Dia tidak akan bisa menerima jika sekiranya apa yang dia pikirkan memang terjadi. Bukan tidak ingin menunjukkan rasa kesal pada apa yang akan dia dapatkan, hanya saja waktunya tidak tepat. Bahkan terkahir kali dia melakukan itu adalah sebuah penghinaan baginya. Lantas bagaimana mungkin dia bisa menerima kehadiran sosok baru dalam hidupnya bahkan bertahan di dalam raganya.

Kian murka dada Maudya begitu meringkas seluruh kisah hidupnya yang tampak pelik. Dia meremas rambut demi menumpahkan segala emosi di sana.

Sial! Maudya benar-benar hampir gila sekarang. Lihat saja, dia masih berbaring di atas ranjang bahkan setelah mentari sudah meninggi di atas sana. Dia juga abai tentang Bian yang pergi tanpa pamit padanya. Laki-laki itu sudah menghilang begitu dia membuka mata.

Satu-satunya yang ingin dilakukannya hanyalah memastikan apakah benar dia senang mengandung atau tidak. Dan untuk memeriksa sendiri saja lagi-lagi Maudya tidak sanggup. Dia benar-benar belum siap jika memang harus diemban sebuah tanggung jawab sebesar itu.

Tak ada pilihan lain, daripada gila sendirian, lebih baik dia menemui Abdi yang sudah berjanji kemarin akan melakukan pemeriksaan padanya. Juga tentang pernyataan Abdi, yang jika diperiksa ke dokter hasilnya lebih maksimal dan minim akan samar-samar.

Dengan langkah gontai dia mulai bersiap-siap. Tanpa Maudya sadari, Abdi tetaplah orang yang ada di kepalanya untuk menumpahkan seluruh masalah yang dia hadapi. Akan tetapi, kebencian yang dia anggap cukup mendasar tersebut itu adalah sesuatu yang memang tidak bisa dielakkan. Abdi tetap salah di matanya yang tak segan-segan masuk ke dalam urusan pribadinya tanpa pikir panjang.

***
Beruntung Antonio dan Sandriana sedang sibuk di divisi lain. Jadi mereka tidak akan menyadari kalau putri mereka itu datang untuk melakukan sebuah pemeriksaan.

"Permisi, apa Dokter Abdi ada?" tanya Maudya pada meja resepsionis.

"Dokter Abdi kebetulan sedang praktik, Mbak. Tapi tenang aja, beliau sudah memberikan saya pesan untuk menggantikannya. Saya yang akan melakukan pemeriksaan untuk, Anda," sahut seorang perawat yang sudah berjaga di meja. Abdi menyuruh beberapa orang menjaga meja kalau-kalau Maudya datang.

"Lho, tapi saya belum membuat janji apa-apa. Kenapa udah tahu kalau saya mau datang?" Dia jadi bingung.

"Saya tidak tahu, Mbak. Dokter Abdi hanya mengatakan hal itu saja."

Maudya hanya bisa mengangguk-angguk lagi. Walau dia tidak yakin bagaimana Abdi bisa tahu dia akan datang, tetap saja Maudya menurut untuk ikut si perawat. Hasilnya akan tetap sama walau bukan orang yang sama yang memeriksanya, 'kan?

Serangkaian pemeriksaan segera di jalani Maudya. Selama pemeriksaan itu pula dia harap-harap cemas. Berharap kalau ada gejala lain yang bukan hamil, serta cemas jika sekiranya hal itu benar.

Jika dia hamil ... bagaimana nasib anaknya nanti?

Menjalani beberapa pemeriksaan basic tidaklah begitu rumit. Itu kenapa Maudya sudah selesai dan kini tinggal menunggu hasil. Sembari menunggu, Maudya sengaja berdiam diri di ruangan Abdi. Karena siapa pun yang akan masuk ke dalam ruangan ini, pastinya akan mengetuk terlebih dahulu. Ini hanya jaga-jaga, jika sekiranya orangtuanya muncul. Dia bisa dapat waktu tambahan untuk bersembunyi karena benar-benar tidak sanggup untuk mengejutkan orang tua itu.

Padahal dia sudah berulang kali datang ke ruangan ini, tapi baru sekarang dia tertarik untuk melihat-lihat. Sembari berjalan pelan, matanya terus mengamati interior serta furniture-furniture yang disusun rapi. Juga beberapa hiasan dinding yang identik sekali dengan sosok dokternya.

Tak sadar, dia sudah sampai di meja pribadi laki-laki itu. Hal pertama yang dia lihat adalah sebuah pigura kecil bergaya monokrom yang bertengger di atas meja. Potret siapa lagi kalau bukan gambarnya dan si empunya ruangan. Tampak bahagia sekali dua sosok yang saling merengkuh itu. Sehingga kebahagiaan yang terukir di sana membuat Maudya jadi panas dada sendiri yang lantas menelungkupkan bingkai itu hingga tak tampak lagi potretnya.

Hendak berlalu, tiba-tiba layar monitor yang cukup besar di meja itu menyala. Maudya menunda kepalanya untuk menoleh jauh, ternyata kepo melihat ada apa gerangan yang membuat layar-yang dia tahu untuk mengirimi file digital tentang kondisi pasien, menyala. 

Alih-alih mendapatkan jawaban atas tanyanya, matanya sudah lebih dulu membulat saat melihat wallpaper monitor di depannya. Tetap saja, dan lagi-lagi, potretnya yang muncul. Kali ini potret dirinya yang tengah sibuk mengaitkan kain pada patung yang Maudya yakini Abdi memotretnya diam-diam.

Kian percayalah Maudya, kalau Abdi benar-benar se-obsesi itu terhadapnya.

Namun, yang membuat layar besar itu menyala bukankah apa-apa selain masuknya sebuah pesan surel. Maudya tidak ingin lebih jauh menggali rasa penasarannya, dia pun segera menjauh lagi. Akan tetapi, matanya tak sengaja membaca alamat surel yang baru masuk yang Maudya tidak cukup siang dengan nama itu.

Untuk memastikan, dia kembali menatap sudut bawah kanan monitor tentang nama surel yang masuk. Ya, tidak salah lagi, itu alamat surel milik Yuda pekerjanya. Tapi, kenapa dia mengirimkan surel pada Abdi? Apa yang membuat mereka berkaitan satu sama lain?

Tak ingin mati penasaran-meski sudah mengatakan dalam diri untuk tetap menjaga sebuah privasi, tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan apa yang ada di depan matanya itu.

Tanpa pikir panjang lagi, jari tangan Maudya pun menekan mouse membuka surel. Mendadak saja jantungnya serasa memompa kala mendapati pesan teks dari surel yang barusan di kirim Yuda.

[Mbak Maya sepertinya akan menyabotase acara pameran yang akan diadakan Nyonya, Pak.]

Tanpa sadar denyut kepalanya mengajak tubuh mungil itu ikut terpengaruh. Hampir dia terjatuh jika tidak secepatnya menahan diri dengan memegang kuat kursi. Ringisan kecil terdengar dari bibirnya.

Apa yang dia dapati hari ini? Kenapa Yuda bisa mengatakan hal tersebut pada Abdi sedangkan terhadapnya Yuda hanya mengatakan hal yang biasa?

Tak terasa, embun dalam dua bola matanya mulai berangsur luruh. Berulang kali dia mengerjap-erjap guna membuat penglihatannya kembali membaik.

Pesan di sana ternyata sudah ada banyak. Ini bukan yang pertama. Jari telunjuknya menggulir mouse guna melihat pesan terdahulu.

Bruk!

Maudya limbung, terjatuh. Dadanya berdebar kencang tatkala pesan yang dia baca begitu saja masuk ke dalam hatinya.

Bagaimana tidak? Pesan berupa foto dan video yang baru saja membuatnya terjatuh adalah aksi Bian yang mengajak Maya masuk ke dalam kamar hotel, juga foto Bian bersama Maya dengan Maya yang separuh telanjang.

Mendadak Maudya merasa napasnya benar-benar sesak. Dia menepuk-nepuk dada, berharap sesuatu yang menahan di tenggorokannya segera enyah. Bak air terjun yang mengalir bebas, begitulah kira-kira derasnya air matanya tatkala mengingat lagi sebesar apa dia mencintai suaminya bahkan tega berbohong hanya agar rumah tangganya tetap terjaga.

Persetan!

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang