Bab 39

47 0 0
                                    

Maudya mendesah berat, menunjukkan kalau dirinya sedang tidak bersahabat hari ini. Pasalnya, Bian ternyata enggan di ajak untuk acara Hari Jadi Rumah sakit. Dalam benaknya, pasti Bian sedang merencanakan sesuatu saat dia pergi. Atau mungkin dia merasa bebas kalau Maudya tidak ada.

Dengan emosi yang terkumpul dalam dada, Maudya merampas ponsel di atas nakas dan segera mengirimi pesan pada Yuda untuk terus mengawasi Bian saat dia tak ada. Semua yang dilakukan suaminya itu harus bisa Yuda sampaikan padnaya tanpa terkecuali.

Dan seperti biasa, Yuda akan menurut. Dia patuh dengan cepat untuk perintah yang Maudya berikan. Kadang Maudya jadi lupa bersyukur, kalau ternyata dia masih punya orang-orang kepercayaan seperti Yuda ini. Andai Yuda juga melakukan kecurangan di belakangnya, akan lebih terluka Maudya saat ini.

Sementara itu, dia sudah cukup elegan di balut gaun yang tampak menggantung. Gaun berwarna hijau emerald yang dia desain sendiri. Gaun berbahan tile dengan puring satin silk, dengan tambahan desain tangan panjang bentuk balon yang sengaja transparan mengikuti bahan utama si gaun.

Warna tersebut begitu cocok dikulit pucatnya. Apalagi didukung oleh hair style yang biasa dia gunakan. Sehingga muncullah kembali aura putri kebanggan keluarga Masesa, yang begitu elegan dan cantik tak terkalahkan.

Begitulah kira-kira pendapat orangtuanya.

Hendak merebut kunci mobil, pandangannya mendadak mengabur didominasi denyut kepala yang cukup tajam. Perempuan itu sampai meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya sedikit memijat.

Begitu sedikit merasa mendingan, tangannya segera merebut kunci mobil serta melangkah panjang meninggalkan kamar. Acaranya akan segera berlangsung. Sedikit memalukan jika dia justru datang terlambat. Pasti orangtuanya juga akan mengomelinya habis-habisan.

Sekitar dua puluh menit bagi Maudya untuk menempuh perjalanan. Dan saat itu pula, sudah empat pesan baru yang masuk dari Yuda. Dia mencoba mengabaikan itu untuk sementara. Karena jika dia fokus sekarang, dia akan kehilangan momen indah ini. Sudah sangat lama rasanya dia tidak berbaur dengan keluarga tanpa ada yang harus mengubah tawa palsu.

Tentu saja, gedung yang dipilih untuk menggelar acara itu sudah terlihat ramai. Orang-orang sudah berdatangan dan pastinya 70 persen yang hadir bergelar seorang dokter. Dan lebihnya kolega-kolega sang ayah di bidang lain. Lihat saja, raut-raut wajah serta gaya pakaian orang-orang yang hadir cukup menunjukkan kalau mereka adalah orang-orang yang perfeksionis dalam menjaga kerapian serta kebersihan.

Maudy segera berjalan panjang sedikit cepat untuk mendapati sang ibu yang sudah dia dapati kehadirannya. Begitu tiba, Maudya segera melepaskan sebuah pelukan yang mana seluruh pelukan itu seolah menuangkan segala kepedihan yang dia alami akhir-akhir ini.

"Maudya, kangen ...." lirihnya yang masih memeluk tubuh hangat itu dari belakang.

Sandriana tampak keget karena tiba-tiba disosor begitu saja. Begitu tahu yang datang adalah putri kesayangannya, segera senyum manis itu muncul. Sang ibu memegang punggung tangan Maudya dengan lembut. "Kenapa nih anak orang? Tiba-tiba romantis gini?"

Wajah Maudya dibuat memelas sambil menarik diri. Dia kini bisa mengamati wajah damai sang ibu hingga membuatnya sedikit berkaca-kaca. Hati kecilnya secara dicubit, ketika ingat lagi kalau tidak ada cinta yang lebih tulus dari cinta sang ibu. Bahkan setelah ditinggalkan untuk cinta yang lain, cinta ibu masih tetap sama. Masih tetap mencintai kekurangan dan terus bangga akan kelebihan anaknya.

"Hei, hei, kenapa sih? Kok jadi melo gini?" ucap Sandriana saat menatap wajah Maudya yang tampak sayu.

Maudya kembali memeluk sekali lagi. "Maudy kangen... Mama jangan buru-buru tua, ya?"

"Sembarangan!" Sandriana gemas lantas memukul punggung Maudya lembut. "Siapa pun orangnya bakal tua juga seiring berjalannya waktu. Emang kamu nggak akan tua nanti?"

Maudya menarik diri. "Tapi Mama jangan buru-buru. Kan Maudya masih mau jadi anak Mama," katanya penuh damba.

"Emang kalau Mama udah tua kamu bakal jadi anak orang lain gitu? Aneh kamu ini, Maudya! Kenapa? Kamu merasa bersalah sama Mama karena nggak dengerin nasehat Mama dulu?"

Semburan itu tidak melesat terkena hati kecil Maudya. Bagaimana bisa ibunya itu tahu, kalau saat ini dia sedang menyesal?

"Apaan sih?" kilahnya enggan membuka semua keluh kesah yang dia hadapi.

"Udah ah. Mana suami kamu, kenapa nggak ikut?" Sandrina mengibas tangannya.

Mendengar itu Maudya jadi kesal sendiri. "Dia ada urusan kantor, Ma. Mama tahu, 'kan, sebentar lagi acara pameran Maudy akan digelar. Jadi banyak yang harus disiapkan," kilahnya untuk kedua kalinya.

Sandrina tidak terlalu banyak bertanya lagi. Melihat, menyadari, merasakan ada yang aneh dari sikap putrinya ini sudah membuatnya yakin kalau Maudya sedang tidak baik-baik saja. Walau sudah menjalani hidupnya sendiri, akan tetapi Sandriana tetaplah seorang ibu yang masih memiliki insting yang baik tentang anaknya.

"Halo ... queennya, Papa. Udah datang rupanya," ujar Antonio sambil berjalan dari sisi kiri Maudya. Sosok gempal tersebut segera melayangkan pelukan hangatnya, yang segera dibalas dengan pelukan erat oleh Maudya.

Tak sadar, Maudya meneteskan air mata. Dia ingat lagi, sejak kecil hingga dia dewasa kini, tidak pernah sekalipun dia dapat perlakuan yang kurang baik dari dua orang tua ini. Walau kadang dia banyak membantah, bahkan berbohong, namun tetap saja dia mendapatkan tempat yang tidak dimiliki orang lain. Dia tetaplah seorang tuan putri dengan sejuta kisah sayang yang menyerang.

Air bening dari dua matanya kian deras, seiring dia ingat tentang perlakuan Bian padanya waktu itu. Dia tidak pernah menyangka akan dapat tindakan tidak baik seperti itu sedangkan dia putri yang paling di jaga oleh sosok terhormat seperti ayah ibunya.

Kepedihan itu mengajak Maudya kian memeluk sang ayah yang erat, menumpahkan segala sesak yang ada. Hingga Antonio merasa aneh, dan lantas melirik istrinya. Sandrina mengangkat bahu, juga sama bingungnya dengan sang suami.

"Eh eh, kenapa nih? Anak Papa nggak apa-apa, 'kan?" tanya Antonio sambil menarik diri. "Lho, kok nangis? Perasaan yang meluknya kencang banget Maudy deh," tambahnya.

Dengan senyum yang terkulum, Maudya menggeleng kecil. Segera dia tepis air matanya, bergegas memasang wajah santai lagi upaya tidak membuat ayahnya khawatir. Dia tidak bisa bercerita sekarang tentang bagaimana dia menjalani kesehariannya. Luka akan bertambah jika ayah dan ibunya tahu apa yang dia alami dia pekan lalu.

"Nggak kok, Pa. Maudy cuma kangen. Kayaknya udah lama kita nggak ketemu ya, 'kan?" lirihnya dengan nada manja khasnya.

"Kamu, 'kan sibuk, Sayang. Katanya mau buat acara pameran."

Maudya mengangguk-angguk.

Tak berselang lama, sosok jangkung Abdi muncul yang mana lebih dulu dia telah mengamati potret cantik Maudya yang segera mendorong raganya untuk mendekat.

Mendapati Abdi berjalan ke arahnya dengan senyum yang terkulum, seketika itu pula Maudya memasang wajah jengkel penuh ketidaksukaan. Seolah kepedihan yang dia alami itu terjadi karena Abdi.

"Hai ... apa kabar?" sapa Abdi begitu tiba di depan Maudya.

"Pa, Maudya ke sana dulu, ya? Kayaknya Maudya tadi liat teman deh. Sebentar," pamit perempuan itu lantas segera melenggang pergi. Benar-benar mengabaikan Abdi.

Sikapnya barusan membuat heran Antonio dan Sandriana. Suami istri itu saling bertukar pandang seolah bertanya, ada apa gerangan antara Maudya dan Abdi? Tidak biasanya interaksi dingin ini mereka dapati.

Sementara itu, Abdi menelan pahit sebuah kenyataan. Sebisa mungkin dia mengukir senyum di bibir, guna membuat orangtua angkatnya tidak banyak berpikiran aneh. Kalau hal itu terjadi, cepat atau lambat Antonio dan Sandriana akan mengetahui kalau Abdi, anak yang mereka angkat, rupanya menaruh perasaan romantisme pada putri kandung merka.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang