Bab 10

155 1 0
                                    

Keributan kecil pagi itu meluap. Maudya lagi-lagi termakan oleh ucapan manis suaminya. Pikiran tentang anak yang sempat memenuhi kepalanya, kini bebas pergi entah kenapa. Bukan dia hendak mengabaikan ingin yang terpendam tersebut, hanya saja keputusan suaminya adalah yang paling benar. Jika Bian saja belum siap, maka dirinya kelak berjalan akan berat sebelah. Bisa-bisa dia berhenti ditengah jalan jika sekiranya hanya dia yang mendamba tapi tidak dengan sang suami.

Tentang tidak ada kabarnya tadi malam pun, ikut meluap dari pikiran maudya. Padahal dia amat penasaran sama beberapa hal tentang Butik. Namun, karena pertengkaran kecil tersebut, membuat Maudya menunda. Dia takut jika sekiranya suaminya akan kembali sentimen dan bisa saja dia tidak dicakapi tiga hari. Maudya tidak mau hal itu terjadi.

"Lho, Mas, mau ke mana? Padahal baru pulang. Aku baru aja selesai masak buat makan siang." Bahu Maudya terangkat saat mendapati sang suami sudah kembali rapi alih-alih menggenakan pakaian rumah.

Pria dengan kemeja hitam itu sedang berjalan sambil memasang arlojinya. Hingga tiba di depan meja makan yang mana Maudya memang baru selesai menata. "Ada rapat. Kamu ingat, 'kan tentang perencanaan buka desain baru di luar negeri? Beberapa orang-orang udah punya ide biar brand kita balik memuncak. Sayang kalau di lewatkan."

Waktu yang pas!

"Oh iya? Jadi kamu udah dapat orang yang menempati trend analisa buat di sana dong?"

Sontak kepala Bian menoleh, tapi tidak langsung menjawab. Dia masih menimbang-nimbang dalam kepala, apakah sebaiknya dia mengatakan tentang Maya atau tidak sama sekali? Tapi jika disembunyikan pun cepat atau lambat pasti istirnya ini akan tahu. Sebaiknya cari posisi aman.

"Oh udah. Udah dari beberapa pekan lalu. Aku nggak sempat ngasih tahu kamu. Maklumlah, aku sibuk di kantor. Jadi lupa terus," jawabnya pada akhirnya tetap ada unsur kebohongan di sana.

Maudya akhirnya membuang napas lega. Dia pikir suaminya sedang menyembunyikan sesuatu. Dia jadi kesal sendiri sama dirinya yang sempat menduga akan ada sesuatu yang aneh. Maudya memukul pelan kepalanya.

"Eh, why? Kok jadi mukul kepala sendiri? Mau aku bantu pukulin?" ujar Bian tidak serius.

Maudya tentu tahu. Dia menyipitkan matanya. "Jahat!"

Susunan gigi Bian terpampang. "Udah, ah. Aku pergi dulu ya? Kasihan kalau mereka nunggu lama."

"Nggak makan dulu, Mas? Aku sudah masak tahu." Bibir Maudya mengerucut, sedikit kecewa.

Tak ingin ada drama lagi, Bian memutuskan meraih sendok makan dan menyuapi dirinya beberapa sendok nasi dan telor dadar-selalu saja, keasinan! Kadang Bian jadi ingin mengatakan pada Maudya untuk tidak perlu lagi memasak.

Dia ahli menjahit, tapi sangat buruk urusan dapur!

"Eumm, udah," katanya dengan mulut penuh. "Aku pergi, ya? Jangan ngambek. Ntar aku lempar ke kandang monyet!" lanjutnya usai setengah makanan dimulutnya tertelan-paksa.

Maudya jadi terkikik geli. "Iya-iya. Udah gih, sana. Hati-hati ya, Mas?"

Bian mengangguk sambil merengkuh pelan tubuh mungil itu. Dibandingkan Maya, Maudya memang kalah telak. Lihat saja, bahkan Bian tidak merasa ada yang menempel di dadanya tidak sama seperti saat bersama Maya.

"Oke, dah ... see you."

***
Setelah kepergian Bian, Maudya jadi kembali sendirian. Senyap sudah isi rumahnya. Sebelah dua belas dengan kuburan. Bahkan Maudya bisa mendengar detak jarum jam yang membuat suasana kesendiriannya jadi horor.

"Ck. Sepi banget."

Begitu berdecak sendirian, bunyi klakson mobil dari luar pun mendadak membuatnya menoleh. Segera kaki dengan alas rumahan itu berjalan cepat, guna mencari tahu siapa agaknya yang muncul di area rumahnya dengan klakson pula?

"Woi, sibuk nggak?"

Maudya menegaskan penglihatannya pada mobil mewah yang kaca jok depan dekat setir turun. Suara itu segera Maudya kenali siapa pemiliknya. Dengan langkah yang sedikit malas, dia berjalan lebih dekat.

"Kenapa? Tumben ke rumah, nggak dinas?" tanyanya yang kini bersandar di kap dekat setir. Si empunya mobil masih enggan turun.

"Mama papa nyuruh jemput. Katanya kamu pasti lagi sendirian," jelas sosok jangkung yang menyipitkan matanya untuk menatap Maudya. Sinar matahari tidak bersahabat.

"Tahu aja," tutur Maudya tetap bergeming di tempat.

"Ya udah naik. Kamu mau aku bawa di atas kap?" tukas Abdi, si pemilik mobil.

Maudya menyipitkan matanya. "Tunggu, aku ganti baju dulu. Kayak gembel gini aku ketemu sama mama papa? Bisa diomelin lima jam. Bilang kalau semenjak nikah jadi kayak anak terlantar."

Tawa tertahan menghembus dari bibir Abdi. Untungnya dia bisa menahan. "Benar sih. Kayak anak ilang malah," tambahnya alih-alih membela.

Maudya jadi sebal, hampir memukul pria itu. Andai Abdi tidak mengangkat dua tangannya, pasti kepala yang ditumbuhi rambut tebal nan hitam itu tepat sasaran untuk pukulannya.

"Buruan ah! Malah mau kdrt pula," desak Abdi.

"Aku bakal turun lagi kalau purnama udah ganti jadi sabit!" cetus Maudya sambil berjalan pergi dengan derap langkah yang sengaja di hentakkan.

***
Orangtua Maudya memang kerap memanggilnya untuk pulang jika Maudya tertangkap sendirian. Orang tua itu sangat tahu kalau Maudya benci kesendirian. Itu kenapa Maudya tampak biasa saja jika di panggil pulang. Dia akan mengirimkan pesan pada sang suami lalu pulang di waktu yang sama seperti Bian.

Acara makan siang ini juga sekalian untuk membahas kedatangan Abdi, lagi. Juga untuk berbincang-bincang setelah enam tahun tak bersua juga tak bercengkerama setelah Abdi dan Maudya sama-sama dewasa dan punya kehidupan sendiri.

"Wao ... Mama yang masak, Ma?" decak kagum Maudya kala matanya menangkap banyak hidangan nikmat di atas meja.

"Ya enggaklah. Apa gunanya fasilitas negara kalau nggak dimaafkan?" cetus sang ibu dari balik pintu kulkas.

"Udah terharu tadi."

Abdi malah ketawa kecil dibuatnya. Lelaki jangkung dengan alis tebal itu lantas menarik satu kursi yang tadinya hendak mempersilakan Maudya duduk, tapi perempuan itu tidak menyadari justru duduk dikursi sebelahnya.

Abdi jadi mendengus tawa kecil. Melihat bagaimana Maudya kini tampak antusias pada makanannya membuat Abdi menaikkan sekilas kedua alisnya lantas mendesah lalu ikut duduk di kursi yang dia tarik tadi.

"Papa mana, Ma? Belum balik?" tanya Maudya. Belum juga semua orang berkumpul, perempuan itu malah sudah lahap menyantap ayam kecap yang dihidangkan sang ibu.

"Ya ampun, Maudy, semua orang bahkan belum duduk, kamu udah habis dua potong aja!" kesal Sandriana. Dia baru membawa jus jeruk dan meletakkan di atas meja.

"Biasa, Ma, guguk lepas," ujar Abdi mengatai.

Maudya langsung melirik tajam. "Badan kamu aja emang yang berubah, lidah kamu masih sama. Sama-sama nggak ada remnya!" balasnya dengan bibir yang menipis tajam.

"Kan, emang benar. Mana suka tulang pula." Abdi berdecak-decak sambil menggeleng. "Kasihan banget, mana masih muda."

"Mama!" pekik Maudya tidak tahan. Teriakan itu hanya formalitas, senjata yang paling ampuh sebenarnya adalah tendangan mautnya pada kursi yang diduduki Abdi. Jelas saja tidak bergerak lagi, tubuh Abdi sudah tidak seringan dulu.

"Upss ... nggak mempan." Pria itu mengejeknya. Wajah ejekan yang sangat-sangat dibenci oleh Maudya.

"Eh eh, kalian ini, udah pada dewasa masih aja hobi berantem. Nggak malu sama umur?" ujar sang kepala rumah tangga yang juga membuat gerakan Maudya yang hendak melayangkan sendok makan terhenti.

"Entah tuh, Pa. Kayak kucing sama anjing aja," tambah Sandriana.

"Dia guguknya, Ma." Abdi menunjuk Maudya yang tepat di sampingnya.

"Diam atau beneran aku lempar? ancam Maudya kemudian dengan tangan yang diisi sendok makan siap melempar jika sekiranya Abdi tetap ngeyel.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang