Bab 5

180 3 0
                                    

"Abdi yang akan jalani pemeriksaan untuk kamu. Kamu bilang kamu punya masalah hormon, 'kan?"

"Apa?!" Maudya benar-benar dibuat kaget oleh pernyataan sang ibu. "Tapi, Ma?"

"Maudy, jangan ngebantah lagi! Memangnya Mama ini salah apa sih, sampai kamu cemas gitu buat jalani pemeriksaan? Kamu nutupi sesuatu apa, Maudya?" Geram sudah Sandriana mendengar penolakan putrinya.

"Maudy tahu ini cuma pemeriksaan, tapi, 'kan nggak sama Abdi juga. Sama dokter lain, 'kan bisa."

"Mama nggak percaya sama dokter lain." Ibu satu anak itu segera mengibaskan tangannya. "Udah, Mama mau ngurusin pasien dulu. Abdi, Mama serahin dia sama kamu," lanjutnya kemudian lantas berlalu.

"Mama?" Maudya salah fokus pada panggilan yang dilontarkan Sandriana.

"Kenapa? Kamu nggak terima Mama kamu aku panggil mama juga?" celetuk Abdi, sosok jangkung bermata cipit itu.

Sudahlah, mau protes juga untuk apa? Hanya akan menyia-nyiakan tenaganya. Lagi pula, sepertinya panggilan itu sudah cukup layak untuk Abdi. Mengingat lagi kalau laki-laki dengan tinggi 186 itu tumbuh besar di dalam keluarganya. Bukan apa-apa, atau bukan juga anak yang terbuang beliau itu, orangtuanya juga seorang dokter, hanya saja menetap di luar negeri. Karena usia Abdi waktu itu beranjak kelas 12, sayang jika harus ikut pindah. Itu kenapa, orangtuanya menitipkan Abdi di rumah Maudya hanya sampai tamat sekolah saja.

Sejak usia belia sudah keduanya berteman. Hingga pertemanan itu putus saat Abdi melanjutkan pendidikan ke luar negeri yang justru berbeda dengan Maudya yang menetap di tanah air. Masa perpisahan itu ternyata berlangsung hingga 6 tahun. Di mana Abdi kini bermetamorfosis menjadi seorang dokter umum, sedangkan Maudya seorang desainer fashion terkenal.

"Oke, sekarang bilang, gimana kabar kamu? Kita udah enam tahun lho nggak ketemu, kamu nggak kangen aku gitu?" tanya Abdi berusaha mencairkan suasana.

Dalam tatapannya pada Maudya, ada tertinggal kisah-kisah yang belum sepenuhnya tuntas di masa lalu. Binar asing dari dua bola mata bergores keemasan itu, terpancar jelas walau Maudya tidak akan bisa membacanya.

Maudya membuang napas berat. "Kenapa kamu nggak datang ke pernikahan aku? Sok sibuk banget," protesnya.

"Woi, kamu nikah di saat aku lagi sibuk-sibuknya buka klinik. Mana sempat di tinggal."

"Halah, banyak gaya banget. Emang kalau kamu tinggalin satu hari aja klinik bakalan langsung bangkrut gitu? Kan nggak!"

"Udah sih, lagian pernikahan kamu juga udah jalan tiga tahun. Masa masih protes tentang itu lagi. Sekarang bilang, kamu punya masalah apa? Kenapa pula kamu nggak mau aku yang periksa? Takut banget di apa-apain."

"Bukan gitu," sesal Maudya.

"Terus?" Abdi jadi dibuat penasaran.

Mata Maudya satu jurus menatap, sejenak menimbang-nimbang apakah menceritakan tentang suaminya pada teman masa kecilnya ini tidak akan jadi masalah?

"Bian, suami aku, dia punya masalah hormon yang buat kami jadi sulit punya anak, Di," ucapnya akhirnya jujur.

"Kita bisa jalanin beberapa pengobatan untuk itu. Lagi pula itu bukan sesuatu yang rumit. Jalani beberapa tes, setelah itu kita cari tahu di mana masalahnya. Selesai." Abdi mengatakan kalau masalah Maudya itu cukup sederhana.

"Aku tahu itu. Tapi masalahnya, Bian pecandu alkohol, Di. Dia perokok berat. Dua kebiasaannya itu aja udah jadi salah satu faktor, terus gimana mau jalani tes kalau dia aja enggan berhenti?"

Dalam diam Abdi merasa menyesal, bagaimana bisa perempuan sesempurna Maudya ini berakhir dengan laki-laki macam suaminya itu. Andai dulu dia tidak mengejar sebuah tangga masa depan, akankah jalan cerita kisahnya dan Maudya akan berbeda?

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang