Bab 55

53 0 0
                                    

Dari lantai dua yang memiliki akses penuh untuk menatap ke lantai dasar, Maudya berhenti melangkah dan melihat tingkah Bian yang terlihat berontak saat tak diperbolehkan masuk oleh petugas yang di sewa Maudya.

Sebelumya dia sudah membatasi akses untuk Bian masuk ke dalam Butiknya. Bukan hanya gitu, Maudya juga sudah membekukan seluruh finansial seperti kartu atm juga beberapa akses lainnya.

"Biarkan dia masuk. Bawa dia ke ruangan saya," titah Maudya sambil membuang wajahnya dari pandangan ke bawah sana.

"Tapi, Nyonya? Apakah Anda akan baik-baik saja? Sebaiknya hubungi Pak Abdi," kata Yuda, khawatir.

"Yuda, saya bisa mengatasinya. Lagian kenapa kamu terlihat suka banget sama Abdi? Jangan-jangan kamu ...." Maudya menyipitkan matanya menatap Yuda.

Laki-laki muda di sana segera mengembangkan senyumannya. "Saya sebenarnya suka sama Pak Abdi, Nyonya," akunya kemudian.

"Hah? Yuda kamu ... gay ...." Maudya tercengang .

"Astaga bukan begitu, Nyonya." Yuda jadi ikut kaget. Dia mana berpikir ke arah Maudya menjabarkan rasa sukanya. "Saya hanya suka dalam aspek personaliti Pak Abdi. Selain dia bijaksana, pintar dan tampan, dia juga punya segala aspek untuk dijadikan sebuah panutan, Nyonya. Saya hanya mengaguminya sebagai orang yang ingin mengikuti jejaknya, bukan seperti yang Anda pikiran," jelasnya memberikan klarifikasi dadakan.

Mulut Maudya membentuk o sambil mengangguk. "Saya pikir kamu juga suka sama dia untuk perasaan romantisme."

"Nggaklah, Nyonya. Nggak ada yang bisa ngisi kehidupan Pak Abdi selain Anda," ungkap Yuda.

"Eh, apa-apaan kamu. Jangan buat pernyataan yang nggak-nggak!"

Yuda langsung mengatupkan bibirnya. "Baik, Nyonya."

"Usahlah, Yuda. Lebih baik kamu bawa dia sebelum lebih banyak buat keributan. Saya juga jadi pusing dengar suaranya," tukas Maudya lantas melenggang pergi.

Yuda langsung melakukan perintah. Dia turun ke lantai dasar dan menyuruh petugas yang bertugas untuk melepaskan Bian guna membiarkan laki-laki itu masuk.

Sementara di atas sana, di dalam ruangan Maudya yang sudah dia isi, tak ada tanda-tanda tiba-tiba saja Maya muncul dari balik pintu. Maudya mengira kalau yang masuk adalah suaminya, hingga kerutan didahinya muncul begitu mendapati justru Maya yang muncul.

"Hai ... senang rasanya bisa ngobrol sama kamu dengan wajah masing-masing tanpa topeng," ucap Maya santai sambil duduk di kursi tamu bersebrangan dengan Maudya.

"Mau apa kamu? Bukannya saya udah bilang, jangan membahas hal yang tidak penting. Kamu udah lakuin tugas kamu?" sahut Maudya tetap tenang.

"Wau ... reaksi yang cukup tenang. Aku kira kamu bakal kejang-kejang atau marah-marah mungkin. Kebanyakan perempuan gitu soalnya kalau udah ketemu sama selingkuhan suaminya," cibir Maya.

Giliran Maudya yang menerbitkan senyum manisnya. "Saya terbiasa kehilangan sesuatu yang saya cintai dan saya juga nggak terbiasa berdampingan sama hal yang tidak berguna. Jadi, saya nggak akan marah-marah karena apa yang kamu miliki itu memang berniat saya buang."

Maya sialan! Hampir saja jantung Maudya copot karena tiba-tiba dia memukul meja. Untungnya Maudya tetap bisa menjaga eksistensinya sebagai sosok yang tidak terusik sama sekali tentang kecurangan yang hendak disombongkan Maya.

"Jangan terlalu percaya diri. Kamu itu cuma pelampiasan sama Bian. Jadi jangan berpikir kalau kamu itu yang buang dia. Yang sebenarnya terjadi, kamu itulah sampah yang sebenarnya!" desis Maya berupaya membuat Maudya panas.

"Oh ya? Nama kamu, kaki kamu, atap yang kamu pakai untuk berlindung, semuanya milik saya. Dan kamu masih bisa menatap saya di sini pun itu karena kebaikan saya. Apa kamu pikir sebuah sampah bisa memberikan fasilitas yang baik yang sedang kamu dapati hari ini?" balas Maudya tak kalah pedas.

Sebelum Maya kembali berujar, lebih dulu Maudya bangun dari duduknya sambil berkata, "Udahlah, Maya. Jangan mengajak saya ribut hanya untuk sesuatu yang nggak jelas. Kalau kamu emang mau sama pria bajingan itu, silakan ambil. Saya nggak akan keberatan. Bukannya saya udah bilang kalau apa pun yang kamu punya hari ini dan itu masih ada sangkut pautnya dengan saya, maka saya ikhlas memberikannya. Hitung-hitung saya lagi sedekah sama orang yang lebih membutuhkan."

"Shit!" umpat Maya ikut berdiri. "Kamu itu terlalu percaya diri! Liat aja nanti, kamu bakal nyesal karena udah remehin aku!" kecam Maya dengan api amarah di matanya.

"Kamu mau saya berikan sebuah pilihan? Pergi sekarang dari hadapan saya atau saya pecat kamu sekarang juga!" ancam Maudya sudah terlampau geram.

Maya harus benar-benar bisa mengendalikan dirinya agar rencana yang sudah dia susun. Jika dia kehilangan kesabaran hari ini, maka seluruh hal yang sudah dia harapkan akan ikut musnah bersama dengan dirinya.

"Kamu akan menyesali ini!" kata Maya lantas melangkah dari posisinya. Bersamaan itu napas lega Maudya berhembus. Dia mengakui kalau akhir-akhir ini dirinya cepat sekali terbawa emosi. Apa ini bawaan dari kehamilannya?

Mungkin Maya dan Bian berpapasan tadi, karena saat Maya hilang dipintu masuk beberapa detik berikutnya Bian pun muncul. Maudya buru-buru memenangkan hatinya sambil duduk. Astaga, kenapa mendadak saja degup jantungnya memompa dua kali lipat. Juga kepalanya kenapa harus memunculkan bayangan aksi-aksi buruk Bian padanya tempo lalu?

Sial! Maudya jadi pusing seketika.

"Maudya! Are you oke?" tanya Bian yang buru-buru menangkap dua bahu sang istri yang hendak tumbang.

"Lepas!" desis Maudya sambil menghentakkan tangan Bian. "Menjauh dariku, Bian!"

"Sayang-"

"Menjauh aku bilang!" selanya dengan nada tinggi. Tatap tajam penuh kebencian itu terpancar jelas di mata Maudya. "Jangan coba buat aku lebih benci sama kamu!"

Bian meneguk ludah. Sejak kapan agaknya dia mendapatkan tatap murka isterinya ini? Sejak kemarin dia masih mendapatkan sebuah sorot mata hangat yang penuh cinta. Kenapa mendadak hatinya merasa perih karena itu?

"Maudya, aku minta maaf, aku-"

"Bilang apa yang kamu mau dan segera pergi dari depanku sekarang!" Lagi-lagi Maudya menyela ucapan Bian.

"Maudya tenanglah. Tolong jangan bersikap kayak gini, Sayang," tutur Bian berniat damai.

"Jangan sentuh aku, Bian!" pekik Maudya geram. "Aku udah bilang sama kamu, jangan coba-coba buat pernyataan apa pun. Aku benar-benar udah muak sama kamu. Selesai acara pameran ini, kita akan resmi berpisah. Jadi mulai hari ini, bersiap-siaplah dan pergi bersama selingkuhmu itu!" tegasnya membuat keputusan.

"Nggak." Bian menggeleng cepat. "Nggak, Maudy, aku nggak mau cerai. Aku nggak mau pisah dari kamu."

"Bian lepasin!"

Maudya terus berontak sebab Bian yang terus memeganginya. Laki-laki itu tulus memang ingin kembali, akan tetapi luka yang dirasakan Maudya sudah tidak punya penawar lagi dari Bian.

"Bian aku bilang lepasin aku-auuhhh!"

Demi melepaskan tangannya dari genggaman sang suami, tak sengaja entakkan itu membuatnya memukul meja cukup kuat hingga area pergelangan tangannya terbentur kuat pada ujung meja.

"Maudy!"

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang