Bab 42

51 0 0
                                    

Sekuat tenaga Maudya bangun mengajak tubuh penuh 'luka' itu untuk tetap berdiri. Tangannya yang berkulit pucat memamerkan urat-urat kebiruan yang menandakan seluruh tenaga itu berhenti di sana guna membopong tubuh yang lemah.

Sudut meja menjadi alat untuk membantunya berdiri. Sial! Maudya sungguh hancur sekarang. Dia benar-benar tidak bisa melihat lagi secerah apa mentari yang bersinar di luar sana. Kehidupannya sudah terlanjur gelap, hingga mengajak kedua tangan menghempaskan isi meja Abdi guna meluapkan segala amarah.

Sembari memekik tertahan, bersamaan itu pula isi meja Abdi hancur berantakan. Tidak hanya sampai di sana, Maudya juga meruntuhkan meja yang berdiri kokoh dengan seluruh amarah yang ada. Layar monitor, beberapa pigura, serta name plate Adbi yang terbuat dari kaca, ikut menjadi sasaran dan berakhir berserakan di lantai.

Puas meluapkan emosinya, tangis pun mengambil alih peran. Tangis yang pecah lagi-lagi mengajak tubuh itu kembali lemah. Tubuhnya lagi-lagi limbung lantas terjatuh hingga bersimpuh di antara barang-barang yang berserakan di sekitarnya.

Dalam sakit itu, Maudya tak bisa mengendalikan kepalanya yang memutar momen manis antara dia dan sang suami. Awal pertama berjumpa, perjuangan Bian, juga sikap romantis sang suami, terus saja menusuk kepalanya yang ujung-ujungnya berkahir luka.

Bagaimana bisa, sosok yang sudah dia berikan segalanya, sudah dia bela di hadapan seluruh manusia, bahkan rela di anggap tidak normal hanya untuk membuat sang suami tidak merasa  direndahkan, namun tega berbuat curang di belakangnya.

Kemewahan, kebahagiaan, serta gaya hidup yang layak, Maudyalah yang memberikan segalanya. Tapi pantaskah pengkhianatan ini yang menjadi balasan untuknya?

Di sisi lain Abdi sudah usai menjalani dinas pagi ini. Sengaja dia buru-buru melangkah guna mendapati Maudya yang katanya sudah menunggunya. Dalam kepala Abdi, dia sudah memastikan kalau Maudya memang tengah hamil. Tebakannya itu tidak akan melesat. Dia yakin itu!

Alih-alih merasa kecewa, perasaan Abdi justru menggebu-gebu. Dia tidak bisa percaya kalau Maudya akhirnya akan menjadi ibu. Seolah dialah yang hendak menjadi ayah, seantusias itu pulalah dia ingin menyambut raga baru di dalam raga Maudya.

Beberapa jarak yang dia tempuh akhirnya terkikis. Dengan debar yang cukup cepat di dada, Abdi segera membuka pintu ruangannya berharap mendapati Maudya dengan keadaan yang baik.

Ironi, keadaan di dalam sana sontak membuat darah Abdi seolah tumpah semuanya.

"Maudya!!!" pekiknya. Kaki jenjang itu segara berlari cepat guna menghampiri. "Ke-kenapa? Ma-Maudyy ... lepasin itu. Ada apa?" tanya Abdi benar-benar panik.

Siapa yang tidak panik saat melihat perempuan yang dia cintai tengah berencana menyayat nadi dengan pisau bedah ditangannya? Bahkan saat melihat seluruh ruangan yang sudah hancur berantakan saja, dia sudah bergetar menahan kekagetannya.

"Maudya ... bicara baik-baik. Jangan ceroboh kayak gini," bujuk Abdi sambil mendekat dengan langkah samar.

Wajah Maudya berangsur pucat. Matanya memerah, sembab. Rambut panjang terawat itu, kini berantakan yang beberapa helainya menutupi wajahnya yang basah sebab air mata.

"Kamu tahu semuanya tentang Bian?"

Pertanyaan lirih itu sontak saja membuat Abdi terperanjat. Dia menatap penuh tebakan pada wajah Maudya. "Apa maksud–”

"Jawab, Abdi!!" bentak Maudya. Sorot matanya benar-benar berapi-api menatap laki-laki yang hampir mendekat itu.

Tidak! Abdi tidak boleh lengah. Dia harus bisa mengatasi kemarahan Maudya ini. Jika tidak, Abdi akan menyesalinya seumur hidup.

"Letakkan dulu pisaunya, Maudy. Ayo kita ngomong baik-baik," bujuknya lagi dengan lembut. 

"Kenapa Abdi? Kenapa kamu menyembunyikannya semua ini dari aku? Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau Mas Bian selingkuh?" rintihnya dengan suara parau.

Kelengahan Maudya itu dijadikan kesempatan bagi Abdi untuk merebut pisau bedah yang cukup tajam tersebut. Sayang, niat ingin langsung mencampakkan, gerakan Maudya tidak memberikannya pilihan selain memegang  mata pisau yang hendak disayatkan ke tangannya.

"Stop, please...." kata Abdi penuh harap. Dia memegangi bahu Maudya dengan pisau ditangan kanannya yang sudah menyayat telapak tangannya.

"Minggir! Lepasin aku, Abdi! Lepasin!" Maudya berontak. Dia berusaha mendorong tubuh Abdi yang ikut bersimpuh dengannya.

Suara nyaring dari pisau yang terlempar akhirnya membuat Abdi lega. Dian menelan ludah berulang kali, benar-benar panik. Tangis Maudya yang terus menyayat dadanya, mengajak tubuh kekar itu untuk merengkuh tubuh lemah perempuan didepannya.

"Jangan gini ... jangan lukain diri kamu cuma untuk orang lain, Maudy. Masih banyak orang yang sayang sama kamu...." bujuk Abdi. Suaranya sedikit parau. Ada rasa sakit yang ikut dia rasakan saat melihat sosok tegar, ceria, penuh ambisi ini justru menyerah.

Tenaga Maudya berangsur habis. Dia masih menangis di dalam pelukan hangat Abdi. Setiap detik rasanya seperti racun yang berangsur membunuhnya. Kenyataan pahit yang baru dia dapati ini sungguh kenyataan yang paling menyakitkan. Jika itu adalah luka fisik mungkin Maudya masih bisa menahannya. Namun, seperih-perihnya luka tusuk, lebih perih luka dikhianati.

Hanya berselang beberapa detik, tubuh yang ada dipelukan lelaki itu tak lagi berdaya hingga akhirnya tumbang. Menyadari Maudya sudah tidak sadar, kian menyerang kepanikan bagi Abdi. Mengingat tangannya yang kini bercucuran darah, Abdi menyempatkan menyibak kemejanya untuk menahan luka ditangannya agar tidak merembes ke mana-mana, barulah dia segera membawa perempuan itu ke ruang perawatan.

***

Kejadian ini hanya beberapa staf-staf Rumah sakit saja yang tahu. Karena itu Abdi bisa membuat keadaan tetap tenang alih-alih gempar. Abdi tidak ingin orangtua Maudya tahu tentang keadaannya saat ini. Setidaknya Abdi harus memastikan dulu kalau saat ini Maudya baik-baik saja.

Beberapa perawatan sudah didapati sosok jelita itu. Tubuhnya sudah berbaring rapi di ruang naratama yang sengaja Abdi ganti nama pasiennya. Akan banyak orang yang penasaran jika nama di sana tertulis nama Maudya.

"Sudah jalan tiga minggu, Dok."

Abdi menerima kerta hasil pemeriksaan Maudya yang sudah keluar. Mendengar ucapan perawat yang membenarkan kalau Maudya memang sedang hamil, entah kenapa membuat perasaannya jadi kian kalut tak beraturan.

"Baiklah, terimakasih. Kamu boleh keluar," ucap Abdi. Dia kembali menatap sosok cantik di brankar sana, lantas kembali mendesah berat.

Refleks, tangan yang kini diperban memukul meja di depannya cukup kuat. Emosi di dalam sana diluapkan hingga cairan merah kembali tembus pada perban putih yang membalut.

Ya, Maudya benar. Abdi tahu semua tentang kecurangan Bian. Dia juga yang memerintahkan Yuda untuk terus mengabari Maudya kabar-kabar baik tentang Bian. Tujuan Abdi hanya tidak ingin membuat Maudya semakin tersakiti. Abdi benar-benar ikut hancur jika perempuan yang dia cintai ini merasakan perih.

Sayang, hal yang sudah dia sembunyikan akhirnya terungkap juga di mata Maudya. Kini, dia bak penjahat dua kali dimata perempuan itu. Niat baiknya lagi-lagi dianggap salah. Tapi sialnya, Abdi tidak peduli tentang itu. Jika sekalinya pun Maudya tidak akan mau menemuinya lagi, tidak akan jadi masalah untuk Abdi, asalkan Maudya tetap bahagia tanpa kekurangan apa pun.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang