Bab 9

114 2 0
                                    

Sukses membuat Maya menurut, buru-buru Bian merapikan diri sebelum benar-benar bertemu pasang mata dengan istrinya. Kerongkongan itu saja sampai kering rasanya sebab ketakutan yang muncul bak belati baru diasah. Nasib mujur, atau mungkin beruntung, Maya mau bekerja sama dengannya. Yang mana Maya saat ini tengah bersembunyi di dalam toilet benar-benar mirip wanita simpanan.

"Eh, kamu. Kenapa tiba-tiba datang? Tanpa ngabarin pula," tanya Bian usai membuka kayu tebal akses ruangan. Bian benar-benar harus menggunakan kemampuan dadakannya memasang wajah santai seperti tidak terjadi apa-apa.

"Mas, kamu nggak ada-lho, Mas kenapa bibir kamu? Kok merah-merah?" ucapan Maudya teralihkan kala menyadari wajah suaminya tampak berantakan.

Sisa gincu merah Maya rupanya tertinggal.

Shit! Serasa ada yang bergoyang-goyang diperutnya akibat debar jantung yang mendadak memompa cepat. Bian benar-benar setakut itu sekarang. Dia berulang kali membahasi kerongkongan demi menahan diri untuk tetap bersikap biasa saja.

Bian memundurkan kepalanya dari tangan Maudya hingga sentuhan wanita itu enyah. "Oh ini, kayaknya ruam karena makan udang tadi malam. Saking banyaknya kerjaan jadi nggak sadar," kilahnya mengarang. Paling bisa.

"Astaga, Mas ... kenapa ceroboh gini?" Maudya kembali mengamati suaminya yang berpenampilan sedikit berantakan. "Mas ... pulang yuk? Aku jadi kayak istri nggak becus biarin suaminya kayak nggak keurus gini. Tugas kantor kasih ke Yuda aja dulu. Kamu kayak capek banget. Aku yang nyetir, kamu istirahat aja, ya?" Nada kasihan bentuk cinta itu terungkap jelas.

Bian adalah definisi orang yang beruntung karena telah memiliki istri yang tidak curigaan macam Maudya. Tentu saja. Maudya itu perempuan yang lahir di dengan prinsip intelek yang tidak muluk-muluk. Dia tidak ingin seperti kebanyakan wanita-wanita diluar sana yang justru beharap dan bergantung pada orang lain hingga keputusan bahagianya ada pada sosok individu.

Maudya juga bukan orang yang asal telan mentah-mentah kabar miring apa pun yang menyerang indera pendengarannya. Semuanya harus sesuai apa yang dia lihat dan data apa yang memvalid'kan pernyataan tersebut. Karena prinsip luasnya inilah dia terkecoh oleh Bian, yang ternyata lebih mahir ber-kamlufase diri dari pada bunglon sekalipun.

Bian segera menurut. Ini adalah hal yang paling tepat untuk menjauh dari sisa-sisa ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Tangan kekar sang suami pun dipeluk erat oleh Maudya, siap membawa suaminya itu pulang untuk kembali di urus. Karena memang saat ini, tampilan Bian sungguh macam duda anak satu yang kehilangan arah hidup.

Saat langkah panjang Maudya sudah lebih jauh dan suara-suara samarnya sudah menghilang, Maya pun akhirnya bernapas lega. Akan tetapi lega yang dia embuskan berbeda dengan apa yang hatinya kini rasakan. Entah kenapa, saat sang mantan lebih peduli terhadap istrinya, saat itu pula Maya mengerutkan bibir, sebal.

Seolah-olah dia mencibir Maudya yang membawa miliknya jauh.

**
Dalam perjalanan-sesuai apa kata Maudya kalau dia yang akan menyetir, sosok cantik tersebut sesekali melirik suaminya yang-sempat izin untuk istirahat walau perjalan hanya dua puluh menit. Berpikir bahwa kesempatan ini bisa dia manfaatkan. Ini waktu yang pas untuk mengajaknya bertemu Abdi untuk konsultasi secara langsung.

Dalam hati Maudya, dia sangat berterimakasih sudah mendatangkan sahabatnya yang bisa dia ajak kompromi dan kerja sama. Dengan begitu, Bian akan lebih merasa nyaman dan tidak akan tersinggung untuk hal-hal yang akan dibahas. Mengingat lelaki disampingnya ini amat sangat berhati sensitif. Tidak akan dipungkiri kalau Bian akan mengamuk jika sekiranya Maudya membawanya ke dokter yang lain.

Jarak dua puluh menit itu pun terkikis. Mobil mewah-yang masih hasil jerih payahnya, akhirnya mendarat di area parkir rumah megahnya. Terlampau mewah karena penghuninya hanya mereka berdua. Terkadang Maudya ingin sekali pindah ke rumah yang lebih kecil, hanya saja katanya Bian lebih nyaman tinggal di rumah yang banyak ruang. Maudya ikut, walau pun rumah ini juga bukan milik Bian, melainkan hadiah pernikahan orangtua Maudya.

"Mas ... bangun. Kita udah sampai," ucap Maudya hati-hati sambil mengelus pelan rahang tegas Bian. Lelaki itu menggeliat ternyata sungguh di bawa ke alam mimpi.

Keterlaluan Bian. Bukannya merasa bersalah yang mungkin dan memang seharusnya sulit untuk abai, dia justru lelap bahkan mengabaikan istrinya yang menyetir tanpa di temani.

"Oh ... udah sampai ya?" Lelaki itu mengusap wajah. Kepalanya menoleh yang mana langsung disuguhi wajah sang istri. "Ya udah turun? Kenapa malah diam?"

"Ya, Mas yang turun duluan. Aku takut Mas malah kliyengan karena baru bangun," kata Maudya khawatir.

Bian hanya manggut-manggut. Bian memang kerap pusing kalau bangun dari tidur yang bukan inginnya. Dan sang istri sudah sangat khatam akan hal itu. Itulah kenapa Maudya meminta Bian turun lebih dulu. Takut-takut kalau suaminya itu malah tumbang di mobil.

Dalam langkahnya, Maudya tengah menimbang-nimbang, kapan agaknya dia mengatakan pada sang suami untuk menemui Abdi. Ada rasa getir sebenarnya, takut kalau suaminya itu justru tersinggung.

Tapi dugaan akan tetap menjadi dugaan kalau tidak ada aksi. Apa pun jawabannya nanti, Maudya akan berdamai dengan hatinya sekiranya dia mendapati penolakan.

"Mas ...," panggil Maudya pada akhirnya. Yang dipanggil menengok sembari menghentikan kaki yang berjalan. "Eum ... itu." Sosok jelita itu jadi dibuat deg-degan. Dia meremas tangan saking gugupnya.

"Kenapa sih? Ada yang penting? Kok jadi kayak takut gitu? Kenapa?" Bian menanti jawaban Maudya dengan pandangan penuh.

Berulang kali Maudya membahasi kerongkongannya. "Tentang konsultasi kemarin, aku udah dapat dokter yang baik. Dia Abdi, Mas. Teman masa kecil aku. Aku yakin, semua permasalahan kamu bisa secepatnya selesai."

Kerutan dahi Bian tercetak. Sepasang alis tebal itu jadi menyatu, sedang berpikir. "Konsultasi tentang apa? Kenapa aku baru tahu tentang ini? Aku bahkan nggak tahu masalahnya di mana?" kata Bian malah bingung.

"Mas, aku nggak pengin buat kamu ngerasa gimana-gimana, tapi kita berdua tahu, Mas. Alasan kita belum juga punya bayi karena kamu, Mas. Kamu nggak sempurna dalam membuahi. Kita butuh konsultasi agar-"

"Oh," potong Bian. Maudya jadi berjengit, takut-takut. "Jadi kamu sekarang udah ikut-ikutan orangtua kamu yang bilang kalau aku nggak normal?"

"Nggak, Mas."

"Maudya, bukannya aku nyuruh kamu buat kasih tahu ke orangtua kamu buat nggak ngatur-ngatur hidup kita lagi? Tapi kenapa jadi penghinaan ini lagi yang aku dapatin?" ujar Bian dengan bibir menipis, sewot.

"Mas, aku nggak lagi ngerendahin kamu. Aku cuma lagi usaha, Mas. Aku juga nggak bodoh sampai buat kamu ngerasa rendah kayak gini. Kita harus ada yang mengalah biar hidup kita tetap jalan ke depan!" tangkas Maudya, menekan. Matanya menatap dalam sepasang mata gelap suaminya.

Bian mendengus, tidak terima. Lagi-lagi, hatinya yang sensitif senantiasa beradu dengan niat baik sang istri. "Emangnya kalau kita nggak punya anak, kita bakal mati gitu? Hidup kita bakal sia-sia hanya karena nggak punya anak?" Mulut Bian memang tidak ada remnya. Lihat saja, Maudya jadi dibuat kecewa atas pertanyaan tersebut.

"Mas ... ka-kamu bilang apa? Kamu-"

"Tapi kamu udah tanya suami kamu, 'kan udah mau punya bayi apa belum?"

Mendadak ingatan tentang ucapan Abdi kemarin melintas di kepala maudya. Sesuatu yang dia lupakan. Dia jadi tak melanjutkan ucapannya, jutsru menelan tawa pahit yang mana tiba-tiba saja matanya ikut ambil peran.

"Udahlah, Sayang ...," ucap Bian mendadak romantis. "Lagian kita bahagia sama hubungan kita. Kamu emang nggak bahagia ada aku di samping kamu?"

Maudya merasakan hangat dua tangan sang suami yang memegangi dua bahunya. Dia lantas menatap lagi dua iris mata gelap nan kini tampak lebih bersahabat.

"Aku cuma mau jadi kayak perempuan lain, Mas. Mereka sempurna karena udah jadi ibu," lirihnya tentang damba yang terpendam.

"Siapa bilang kamu nggak sempurna? Kamu istri yang paling baik, Sayang." Bian mengibas tangannya. "Udahlah, nggak usah kepancing sama gosip-gosip orang diluar sana. Mau punya anak atau enggak, aku tetap cinta sama kamu sampai kapan pun. Jadi jangan pikir aku bakalan bilang kalau kamu nggak sempurna karena nggak punya anak."

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang