Bab 63

75 0 0
                                    

Antonio berhasil membekukan orang-orang yang bertugas di belakang layar untuk Maya. Menurut penjelasan yang dia terima, Bianlah yang sudah memerintahkan para orang-orang ini untuk mengubah skenario. Geram, Antonio yang sudah tahu tentang tabiat Bian juga selingkuhnya itu, langsung saja memamerkan setiap adegan mesra yang sudah sangat banyak tertangkap kamera.

"Pa, di mana Bian?" Begitu mendapati Antonio, Abdi langsung bertanya keberadaan Bian.

"Papa juga belum tahu, Di." Lelaki tua itu memijat pelipisnya.

"Papa nggak apa-apa? Istirahat aja, Pa. Biar Abdi yang urus semuanya," ucap Abdi jadi ikut khawatir tentang keadaan Antonio.

"Papa nggak apa-apa, Di. Papa cuma sedih aja. Harusnya ini adalah hari spesial untuk Maudya. Harusnya hari ini juga kejutan kita akan berlangsung istimewa. Tapi ...." Ayah satu anak itu tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya.

Inisiatif, Abdi menepuk-nepuk pelan bahu Antonio berharap ayah angkatnya itu bisa tenang. "Abdi bakal cari di mana pun dia pergi, Pa. Bian harus benar-benar bertanggung jawab atas semua perbuatannya ini."

Suasana biru itu mendadak terusik oleh pekikan Maya yang tiba-tiba muncul. Abdi juga Antonio menoleh bersamaan, lantas dengan cepat langkah Abdi terangkat guna menahan langkah Maya yang sepertinya berniat melarikan diri.

"Minggir!" hardik Maya pada Abdi. Tatapnya sudah penuh api yang membara.

Melihat wajah Maya saja sebenarnya sudah membuat Abdi naik pitam. Serasa amarahnya sudah sampai puncak kepala. Jika saja yang dihadapannya ini adalah Bian, sudah dipastikan tangan Abdi akan berlumuran darah.

"Kamu pikir masih bisa lari dari sini?" Abdi mendekat, dengan gerakan cepat dia mencengkeram pergelangan tangan Maya. "Mana Bian? Kalian berdua harus membayar semua ini!"

Maya terperanjat cukup besar berkat bentakan Abdi. Berontak pun tak bisa, sebab cengkeraman tangan Abdi sudah seperti tali yang mengikat, kuat.

"Lepasin aku!" Maya memekik. "Dengar ya, aku nggak akan maafin semua ini! Aku juga nggak akan biarin Bian atau istrinya itu bahagia!"

Plak!

Pipi Maya benar-benar rasa di bakar sebab pukulan yang cukup kuat mendarat ke wajahnya dari sosok jangkung yang tidak lain adalah Antonio.
Maya kaget, pun sama halnya dengan Abdi. Tatap kemarahan terpancar jelas di dua bola mata Antonio juga tak luput dari tatap Maya dengan sorot yang sama.

"Berani-beraninya kamu ngancam putri saya!" bentak Antonio. "Saya nggak akan maafin tingkah kalian yang ini! Ingat, kalau kamu nggak membusuk dipenjara, saya nggak akan pernah berhenti buat kalian menderita!"

Dengkusan kecil membalas ancaman Antonio. Ayah satu anak itu kian menukikkan alisnya, heran dengan tanggapan Maya yang tampak tak terusik sama sekali. "Kalian pikir aku takut? Nggak! Aku sama sekali nggak takut sama ancaman kalian," ucap Maya dengan nada remeh. Tatapnya berpindah pada Abdi. "Masih ingat apa yang kamu bilang kemarin? Bahwa lebih buruk penjara dari pada kematian. Benar?"

"Berhenti bicara omong kosong!" sergah Abdi. Tangan Maya yang terlepas tadi dengan cepat ditarik kembali. "Ayo ikut. Kamu harus bisa mempertanggungjawabkan semua ini! Aku masih bisa ngasih kamu kesempatan, Maya. Jadi jangan tunggu aku ikut tak punya hati seperti kalian!"

Tak ingin lagi mendengar omong kosong gadis berbaju ketat itu, Abdi pun segera menariknya guna membawa ke tempat yang seharusnya. Maya harus mempertanggungjawabkan semua hal yang sudah dia lakukan. Dan jawaban satu-satunya adalah jeruji besi!

Sialnya, saat Maya ditarik paksa oleh Abdi, di sisi lain ada para awak media yang sudah heboh mengejar-ngejar Bian yang katanya sudah muncul. Sosok yang sangat Abdi tunggu-tunggu kehadirannya, mengajak kakinya melangkah cepat menghampiri, lantas lupa tentang Maya yang mungkin bisa melakukan hal lain.

Antonio lebih dulu berlari mengejar Bian. Hingga tinggallah Maya kembali seorang diri. Kesempatan, dia berjalan cepat guna mencari di mana agaknya Maudya disembunyikan.

Dia tidak akan rela hancur sendirian. Jika dia tidak memiliki bahagia, maka harus sama dengan Maudya. Jika dia tidak mendapatkan apa pun dari segala hal yang sudah dia lakukan, maka Maudya pun harus merasakan hal yang sama.

Benar, Maya memang sudah buta akan dendam dan emosi yang tak mendasar. Dia termakan godaan belis tentang rasa iri yang kian membludak. Cintanya memang tidak tulus terhadap Bian, hanya saja akan lebih mengenaskan baginya jika dia justru hanya mendapatkan ampas lantas Maudya tetap menemukan bahagia.

Maya berlari dengan kewaspadaan. Banyak orang-orang yang kini mengejarnya. Kebetulan lift sedang terbuka, kesempatan baginya melarikan diri dengan transportasi kotak itu. Entahlah, Maya hanya asal menekan tombol lantai. Akan tetapi, cukup bertepatan dengan posisi Maudya yang sekarang sedang sendirian di ruangan.

Sandriana harus mengurus beberapa file penting yang hendak disabotase lagi oleh pesuruh Bian. Mana mungkin Sandriana diam saja, kala properti yang sudah putrinya kumpulan dengan segala upaya direnggut begitu saja oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Karena itulah, Maudya kini sendirian. Mendengar pintu ruangan di ketuk, buru-buru Maudya berlari dengan cepat membuka.

Naas, berpikir yang datang adalah sang ibu, justru potret seksi Maya yang langsung menyorot kedua matanya.

"Wau ... padahal aku cuma nebak aja tadi. Nggak nyangka ternyata benar ada kamu di sini," ucap Maya dengan senyum miring. "Gitu emang kalau udah jodoh."

Raut wajah Maudya berubah benci. Tatap kemarahan terpancar sempurna, seakan mampu membakar Maya hidup-hidup saya itu juga. "Mau apa kamu ke sini? Kenapa, acaranya berantakan? Nggak berlangsung sempurna kayak yang kamu mau?" balas Maudya tak kalah membuat Maya tersulut emosi.

Geram, Maya pun mendorong pintu yang masih setengah terbuka hingga membuat Maudya terhempas pintu lantas terjatuh. Bibirnya segera mendesis, merasa kesakitan saat sikunya membentur sudut meja.

Buru-buru Maya mengurung dirinya ikut bersama Maudya. Pintu ruangan benar-benar ditutup rapat olehnya. Setelah itu, senyum iblis kembali tercetak, benar-benar dibalut amarah yang cukup besar untuk Maudya.

"Apa-apaan kamu, Maya! Kamu pikir bisa mencelakakan saya? Kamu bakal nyesal kalau sampai kamu gegabah!" ancam Maudya.

Hanya sedikit kekuatan yang tersisa sebenarnya. Maudya saat ini benar-benar merasa diancam. Apalagi saat dia terbentur tadi, mendadak tenaganya hilang sebab kaget.

Tak punya ruang yang bisa membuat Maya tampak berhenti, Maudya pun buru-buru merebut ponsel di atas meja, siap menghubungi siapa yang pertama terdapat di kontaknya.

"Arghhh!" Maudya menjerit tatkala Maya menarik ponselnya yang langsung melempar ke sembarang arah. "Maya jangan lancang kamu!"

"Lancang? Oh come on, itu bukan lancang tapi cara mengajak bermain. Kenapa kamu tampak ketakutan gini? Sampai berkeringat kayak gini lagi," tutur Maya sambil mengusap pelipis Maudya yang saat itu langsung ditepis.

"Menjauh kamu! Saya benar-benar nggak main-main sekarang, Maya. Kamu bisa terluka kalau kayak gini caranya!"

"Oh ya?" Maya lantas menarik kuat rambut Maudya guna membuktikan kalau ucapan Maudya tadi hanya sebatas ancaman. "Kayak gini maksud kamu?"

Brak!

Tubuh yang diisi satu nyawa lain itu sukses menghantam meja hingga isi di sana ikut berantakan.

Ya Tuhan! Maudya saat ini sungguh merasakan sakit yang luar biasa. Tidak, kali ini bukan tangannya yang terbentur ujung meja melainkan perutnya. Sungguh bidikan yang pas. Dia terhempas dengan cara yang cukup menyakitkan.

"Arghhhh...." rintih Maudya kesakitan. Tangannya mencengkram kuat perut yang terasa seperti dililit kuat.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang