Bab 51

46 0 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Sepertinya baru lima menit yang lalu Abdi memejamkan matanya, akan tetapi lelap itu kembali dipenggal oleh dering ponsel yang seolah memekik ditelinganya. Dengan gerakan yang sedikit malas, atau lebih tepatnya memaksakan, tangannya meraba sisi nakas yang mana ponsel terus berdering bahkan seakan bisa berjalan sendiri.

"Ya?" Suara serak Abdi bertanya.

"Pak Abdi ada yang nggak beres, Pak! Pak Bian sama Mbak Maya lagi menuju ke rumah Nyonya Maudya!"

Bum!

Meledak sudah kesadaran Abdi begitu mendengar pertanyaan cepat dari seseorang yang sudah dia yakini Yuda. "Apa? Kok bisa-ah, tetap awasi mereka. Saya akan ke sana!" tegas Abdi tak banyak bercakap.

Segera tubuh yang tadi sudah hampir lelap itu bangun dengan cepat. Tanpa basa-basi lagi, Abdi segera meraih jaket serta kunci mobilnya bergegas pergi ke rumah Maudya.

Apa kira-kira yang hendak diperbuat Bian sehingga berani membawa Maya ke sana? Beruntung saja tidak ada Maudya di rumah itu. Jika sekiranya Abdi tidak membawa Maudya tadi ... Ya Tuhan, apa yang akan terjadi pada wanita malang itu?

Dengan langkah cepat Abdi keluar dari rumah. Kali ini dia harus benar-benar bisa membungkam kedua orang itu. Dengan ancaman video-yang sempat dilihat Maudya, itu saja mereka tidak juga merasa terancam, mungkin Abdi harus melakukan tindakan yang lebih jauh.

Abdi tidak tahu apa alasan Maudya tetap bertahan pada Bian, yang Abdi tahu, kalau Bian melakukan suatu hal yang buruk akan berdampak pada impiannya Maudya. Dan itu juga akan membuat Abdi mengutuk diri jika sekiranya dia gagal menahan rencana busuk Bian.

Yuda sudah mengawasi keduanya hampir satu kali dia puluh empat jam. Dan inilah puncaknya. Dia sedikit lengah karena baru menyadari saat Bian dan Maya sudah mulai masuk ke dalam rumah. Dia tidak bisa menahan begitu saja, bisa-bisa dia yang kena tendang oleh Bian jika sekiranya berani melakukan hal tersebut.

Gelisah bercampur panik sudah Yuda menunggu kedatangan Abdi. Dia terus melirik-lirik kanan-kiri, berharap mobil Abdi cepat menampakkan rupa. Kedua insan itu sudah lebih masuk, dan yang membuat Yuda sebegitu khawatirnya, adalah tentang atasannya, Maudya. Bagaimana keadaan wanita itu jika mengetahui kalau suaminya membawa pulang selingkuhnya?

Yuda mendadak melambaikan tangan saat mobil hitam yang dia kenali muncul di depan mata. Segera, begitu mendarat cukup sembarang, kaki jenjang Abdi berlari cepat menghampiri Yuda.

"Mereka udah masuk, Pak. Gimana ini? Gimana sama Nyonya ...."

"Tenang, Yud. Maudya ada di rumah orangtuanya sekarang. Dia nggak di sini," ucap Abdi menenangkan Yuda.

Barulah napas lega laki-laki itu berhembus. Benar-benar lapang rasanya perasaan begitu mendengar pernyataan Abdi tadi. "Tunggu diluar aja. Aku yang akan masuk!" tambah Abdi.

"Baik, Pak!"

Abdi mengangguk-angguk, lantas bergegas masuk ke dalam rumah. Sudah sesak rasanya dadanya begitu memijaki lantai rumah Maudya yang mana diisi oleh manusia tidak berguna macam Bian dan tentunya selingkuhnya.

Di atas sana, di kamarnya, Bian tengah mencari-cari berkas-berkas penting yang menguntungkannya. Bian tahu, cepat atau lambat Maudya akan membuatnya menjadi gembel lagi. Dan sebelum itu terjadi, dia harus sudah bisa menguasai beberapa aset yang sempat dia bentuk dari segi perkembangannya.

"Bra, kok kamu tahu istri kamu nggak lagi di rumah?" tanya Maya yang terlihat ikut menggeledah.

"Dia jarang berani sendiri, May. Maudya itu perempuan yang cemen sebenarnya. Mana mungkin dia bisa tidur sendiri tanpa seseorang di sampingnya. Dan itu sudah pasti kalau dia lagi nginap di rumah orangtuanya," jawab Bian paling tahu.

Dia merogoh laci dan beberapa nakas Sehingga muncullah surat-surat kendaraan, dan beberapa gedung yang sempat dia jadikan namanya. Ya, ini sudah lebih dari cukup! Bian seolah mendapatkan setumpuk emas yang berharga sampai-sampai dia menciumi lembar-lembar dokumen ditangannya.

"May, udah dapat. Ayo kita pergi!" kata Bian.

"Tunggu, Bra. Aku harus dapatin dokumen penyelenggaraan pameran itu. Aku nggak terima kalau Maudya yang justru membuat pameran yang aku impikan, Bra. Aku mau surat itu diubah menjadi namaku. Aku juga ikut membaut persiapan untuk itu, aku nggak mau bukan yang yang jadi peran utamanya!" cetus Maya keki sendiri karena tidak menemukan yang dia cari.

"May, buat apa sih pameran itu? Cuma bakar uang, May," kata Bian, abai akan obses Maya yang sudah berulang kali mengatakan kalau pameran itu adalah impiannya.

Maya memukul meja lantas menatap Bian penuh tatap jengkel. "Bra, ini itu impian aku. Aku harus wujudtin walau apa pun yang terjadi! Udah cukup istri kamu yang buat aku kesal, kamu jangan lagi, Bra. Aku capek!

Bian terdiam, selanjutnya menerima. Dia meletakkan beberapa berkas ditangan hendak itu mencari berkas yang dicari Maya. Akan tetapi, niat hati ingin mencari sebuah lembar pernyataan Penyelenggaraan Pameran, justru yang dia dapati adalah pernyataan asing di sebuah kertas putih yang bertuliskan nama sang istri.

Penasaran, Bian pun membuka amplop kuning yang kertas di dalamnya ikut dilipat agar sesuai dengan bungkus.

'Surat Pemeriksaan Kandungan'.

Mendadak kaki jenjangnya goyah hingga terlihat akan bergetar. Tiba-tiba saja dadanya berdebar kencang begitu mendapat surat pernyataan yang baru saja dia baca.

Apa? Maudya hamil?

Sial! Kenapa Bian mendadak bergeming, seolah tak menyangka. Dia berpikir kalau dia tidak akan pernah bisa membuahi sang istri mengingat keadaannya. Tapi apa yang saat ini dia dapati? Dia akan menjadi ayah? Apakah itu benar?

Brak!!

Baik Bian maupun Maya sama-sama terperanjat kala pintu kamar ditendang paksa dari luar. Kaget, kertas ditangannya terjatuh. Perlahan kepalanya meneleng ke arah pintu kamar dan kaget begitu mendapati potret jangkung Abdi.

"Ngapain kalian? Selingkuh aja rupanya nggak cukup buat kalian merasa bersalah ya?" Abdi mendengus sambil berjalan. "Kalian benar-benar nggak layak disebut sebagai manusia lagi," sambungnya memaki.

Jantung Maya berdetak dua kali lebih cepat. Dia tidak menyangka kalau Abdi akan memergokinya lagi setelah sempat mengancam lewat ponsel. Gadis berbaju ketat itu meneguk ludahnya, getir sambil diam-diam menatap Bian.

"Kamu tahu Maudya hamil?" Alih-alih sebal sebab perkataan Abdi, Bian justru bertanya satu jurus yang mana membuat Abdi juga Maya terperanjat.

"Maudya itu istri kamu atau istriku?" serang Abdi.

"Jadi benar kalau dia lagi hamil?" Tanpa sadar Bian terpengaruh. Dia mendadak goyah. "Mana Maudya? Bawa dia balik ke sini. Kenapa kamu tertarik banget sama istri orang, hah?" bentuknya kemudian.

Geram, Abdi kian mengikis jarak. "Apa katamu? Tertarik sama istrimu?" Abdi tertawa sumbang detik berikutnya kepalan tangannya mendarat ke rahang tegas Bian. "Fuck you, Bajingan!"

Bersamaan dengan tubuh Bian yang tersungkur, saat itu pula Maya berjengit hebat, kaget. Matanya membola menatap Abdi yang tampak berapi-api.

Sementara Bian meringis memegangi sudut bibirnya. Tatap tajam Abdi kembali ditangkap sepasang matanya yang tak kalah membara. Sembari bangun, senyum seriangaian itu terbit lalu berucap, "He's mine! Sadari posisimu, Abdi. Sampai kapan pun, Maudya akan tetap jadi istriku. Jangan berharap kalau dia akan menjadi milikmu!"

"Aku nggak tertarik sama siapa pun, Bian. Kamu tahu? Aku cuma nggak terima aja kalau benalu kayak kamu tumbuh subur dihidup Maudya-ahgh!"

Bian segera menbalas dengan pukulan yang sama begitu kalimat pedas Abdi terlontar. Seolah satu sama, Abdi juga terhempas hingga punggungnya menghantam meja. Nyeri.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang