Bab 66

128 0 0
                                    

Beberapa teman-teman juga kerabat tidak hentinya berdatangan untuk memberikan semangat pada Antonio. Tentunya kejadian ini membuatnya lemah dan hilang selera untuk melakukan aktivitas apa pun.

Menyendiri memang paling nyaman untuk saat ini. Baik Antonio, Sandriana juga Abdi tak terlihat bersama setelah satu kali dua puluh empat jam insiden Maudya berlalu. Kompak, ketiganya sama-sama lenyap dari pandangan masing-masing. Satu-satunya alasan adalah, tidak ingin terlihat lemah di hadapan satu sama lain.

Di dalam ruangan pribadinya, Antonio sekali lagi mengusap wajah yang dibasahi beberapa tetes air mata. Tangan kekarnya membuka kacamata, lantas memijat pangkal hidung untuk meredakan pusing kepala yang sepertinya kian bertambah.

Matanya kembali mengerjap-erjap manakala pintu di depan sana diketuk. Tak ingin membuat siapa pun yang melihatnya jadi iba, buru-buru Antonio memasang kembali kacamatanya lalu memberikan akses untuk orang dia luar sana untuk masuk.

"Anton, you're good? Everything is fine, right?"

Suara itu mendadak saja membuat tubuh padat Antonio berdiri. Sepasang matanya seolah tak percaya atas apa yang saat ini dia lihat. Buru-buru, kaki jenjangnya melangkah mendapati sosok tamu yang tadi baru saja bertanya.

"Thomas, sorry ... aku nggak bisa jaga kebahagiaan Abdi. Aku gagal lagi," kata Antonio, menyesal.

"Hei ...." Thomas menepuk bahu Antonio. "Nggak ada yang gagal, Ton. Kita cuma nggak lagi beruntung aja."

"Tapi semuanya mungkin akan baik-baik aja kalau aku bisa lebih bijak. Abdi mungkin nggak akan seterpuruk ini."

"Udahlah, Mas. Benar apa kata Papa Abdi. Kita nggak gagal, kita cuma kurang beruntung." Sosok perempuan yang tak lain adalah ibu kandung Abdi, menceletuk ikut menenangkan Antonio.

"Tapi, Mbak ...."

"Udah, udah." Thomas menepuk bahu Antonio. "Lebih baik saat ini kita hadapi kenyataan, Ton. Kita nggak bisa lama-lama ikut dalam kesedihan sementara anak-anak kita lagi butuh kita. Gimana jika sekiranya kita semua malah ikut terpuruk? Itu jauh lebih menyedihkan, Ton. Kita ini orang tua, kita harus lebih bisa mengendalikan emosi untuk membuat keadaan kita lebih baik," lanjut Thomas memberikan dukungan pada Antonio.

Sang dokter itu pun menghela napas untuk melepaskan sesak dalam dadanya. Dia mengangguk-angguk samar, sesekali menjauhkan pandangan untuk menyamarkan sepasang mata yang kembali berkaca-kaca.

"Kapan kalian datang? Harunya hubungi aku. Aku jemput ke bandara," tanya Antonio tiba-tiba ingat tentang kedatangan orangtua Abdi yang tak memberi kabar.

"Ngasih tahu kamu buat apa? Buat bikin kamu tambah pusing?" Thomas, sosok laki-laki paruh baya yang sudah tampak lebih tua dari Antonio itu pun menarik satu kursi lantas duduk. "Aku nggak nggak akan seegois itu, Ton. Yang aku pikirin saat ini, gimana keadaan anak-anak kita. Apa mereka baik-baik aja? Saat kamu bilang kalau rencana kita kemarin rupanya berhasil, aku nggak henti-hentinya mengucap syukur. Tapi kenapa bayaran yang harus kita keluarkan sebesar ini?"

"Udahlah, Pa." Sarah menenangkan sang suami. "Mama temuin Abdi dulu. Mama bakal kasih dukungan penuh sama dia biar sedihnya nggak berlarut-larut."

Thomas mengangguk-angguk. Sarah pun melempar senyum tipis pada Antonio, mengisyaratkan kalau dia pergi dulu. Antonio itu mengangguk satu kali bentuk mengiyakan.

***

Terlalu sempit pemikiran seseorang jika menganggap kalau kehamilan Maudya tidaklah membuat keluarga ikut bahagia. Mengingat bagaimana kelakuan bejad Bian, tak memungkiri seluruh keluarga itu menerima dengan lapang dada kehadiran 'anggota baru' dalam hidup mereka.

Nyatanya, orangtua Abdi juga ikut merasakan emosional kala mereka tahu kalau Maudya akhirnya mengandung. Hanya Maudya yang kemarin sempat tidak menyukai karena menaruh rasa dendam pada Bian. Tapi lain dari itu semua, janin yang di kandung Maudya adalah harapan untuk semua orang.

Nahas, belum sempat mengatakan ucapan selamat pada Maudya tentang kehamilannya, justru yang dinanti-nantikan telah kembali ke pangkuan sang kuasa. Harapan yang kemarin pupus begitu saja. Cinta dan kehangatan yang sudah menguasai banyak hati, mendadak diruntuhkan oleh kenyataan pahit.

Sebab pendarahan yang dialami Maudya, ternyata menyebabkan janinnya tak bertahan. Karana shock bercampur benturan yang dia dapatkan, berimbas pada sosok lain didalam tubuhnya.

Beruntung, nyawa Maudya masih bisa diselamatkan. Walau belum juga sadar, para keluarga sudah bisa bernapas lega karena keadaan Maudya sudah mulai membaik.

Salah satu orang yang ikut terpuruk atas kejadian ini tidak lain ada Abdi sendiri. Dia terus mengingat bagaimana dia dan Maudya membicarakan tentang si bayi. Tapi kini, untuk menatap mata Maudya saja dia tidak berani. Ada perasaan bersalah yang amat besar dalam hatinya. Dia terus saja mengutuk diri dan mencap dirinya sebagai orang yang patuh disalahkan atas kemalangan yang mereka terima.

***
Suara pintu ruangan diketuk mengajak mata sembab Abdi menoleh paksa. Dia sudah mengatakan pada asistennya untuk tidak memperbolehkan siapa pun masuk untuk menemuinya. Lantas siapa yang berani mengetuk pintu itu?

Walau dengan langkah yang berat, Abdi tetap berjalan guna membuka pintu ruangan yang sengaja di kunci rapat. Begitu kayu kokoh itu terbuka, saat itu pula kelemahan yang Abdi rasakan kian bertambah.

"Mama ....". lirihnya tak tahan untuk tak menangis.

Sarah tak tahan, langsung menangkap tubuh tinggi sang putra upaya menenangkan. Tubuh tegap itu kini lemah tak berdaya. Sarah tidak tahu kapan agaknya Abdi pernah sesedih ini. Yang jelas, kali pertama dia melihat kesengsaraan sedang mengusik puteranya.

"Stthhh ... nggak apa-apa. Semuanya bakal baik-baik aja kok. Nggak usah sedih gitu ah," ucap sang ibu sambil menepuk lembut punggung Abdi.

"Abdi salah, Ma. Abdi nggak jaga Maudya ...." Kembali suara parau itu terdengar. "Semua kebahagiaan Maudya sudah hancur. Abdi nggak sanggup ketemu Maudya, Ma."

"Hei ... kok ngomongnya gitu?" Sara menarik diri guna menatap mata sang putra. "Nggak ada yang salah diantara kalian, Sayang. lagi pula, kenapa kamu malah nggak mau ketemu Maudya? Kamu nggak tahu seberapa sakit hatinya kalau kamu justru menjauh?"

Abdi memijat pelipisnya. "Tapi semua ini karena Abdi. Harusnya -"

"Nggak usah perlu di salahkan!" potong Sarah. "Kalian itu dua orang yang memang ditakdirin buat bersama. Untuk menguji cinta kalian kuat atau nggak, ya dengan kayak gini, Di. Kalian harus bisa ngelewatin cobaan ini agar cinta kalian memang pantas untuk disandingkan."

"Gimana sama Maudya, Ma? Gimana kalau ternyata Maudya malah marah sama Abdi?"

"Kamu belum temuin dia. Kenapa udah mikir yang nggak-nggak?" Tangan hangat sang itu mengusap wajah Abdi yang tampak lelah. "Udah, nggak usah nebak-nebak nggak jelas gini. Kamu belum ketemu sama Maudya, 'kan? Temui dia dulu. Kasih dia penjelasan juga tentunya semangat. Maudya adalah cinta kamu, Nak. Kamu yang pantas ada di sampingnya di saat-saat kayak gini. Ya?" papar Sarah menasehati.

Abdi membisu sejenak. Apa yang dikatakan oleh ibunya emang benar. Jika bukan dia yang ikut memberikan semangat pada Maudya, lantas tak seharusnya dia menaruh rasa bersalah yang meyakini dirinya akan dikutuk habis oleh Maudya.

Lelaki itu pun mengangguk, kini menurut. Kakinya segera melangkah, siap menemui Maudya yang katanya sudah siuman dari beberapa menit yang lalu.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang