Bab 65

100 0 0
                                    

Beberapa jam sebelumnya

Bian akhirnya bertemu tatap dengan Abdi juga sang ayah mertua. Ada momen di mana merasa kalau waktu sedang berhenti hanya padanya. Menatap wajah sang ayah mertua, mengingatkannya tentang tindakan yang dia lakukan beberapa jam yang lalu.

Bian hanya ingin hidup Maudya tidak lagi penuh dengan air mata. Itu kenapa dia menuruti perintah Maya untuk menyabotase seluruh acara yang diselenggarakan oleh istirnya. Dengan status yang masih sah menjadi seorang CEO, juga suami Maudya, tentu tidak sulit baginya untuk memerintah. Walau sempat ada beberapa halangan, akan tetapi rencananya tetap berhasil. Dia benar-benar mengkhianati sang istri hingga titik terakhir.

"Brengsek!" Abdi tak tahan. Tangannya yang mengepal kuat kini melayang satu jurus ke wajah Bian. Laki-laki di sana meringis hampir tersungkur. "Aku udah ingatin kamu, tapi kenapa masih kamu lakuin tindakan bodoh ini, Bian?" pekik Abdi, benar-benar murka.

Bian mendesis kecil. Dia menjilat ujung bibirnya sambil menatap kemarahan yang terpancar sempurna dari wajah Abdi. "Aku harus lakuin ini agar Maudya tetap baik-baik aja. Aku nggak-"

"Omong kosong!" Kali ini Abdi mencengkeram kerah kemeja Bian hingga pria itu bungkam. "Kamu emang nggak akan pernah berubah, Bian. Kamu benar-benar manusia yang nggak tahu diri! Kurang apa Maudya ngasih semuanya sama kamu? Dia bahkan rela kehilangan jati dirinya cuma untuk kamu! Tapi ini balasan kamu, hah?"

"I know!" balas Bian, memekik. Dia menepis tangan Abdi hingga terlepas. "Aku tahu apa yang aku lakuin ini salah! Tapi asal kamu tahu, aku lakuin ini biar dia nggak celaka. Maya ngancam bakalan celakain Maudya kalau aku nggak lakuin apa yang dia mau!" pungkasnya mengakui.

Tak terasa, sepasang mata yang ikut menanam kemarahan itu mulai berkaca-kaca. Kepalanya mengingat tentang cinta tulus sang istri sebelum menjadi dingin tak tersentuh seperti kemarin.

Abdi mendengkus. "Jadi kamu pikir kamu ngelakuin ini bisa buat Maudya senang? Kamu pikir dengan kamu buat semua ini, Maudya bakalan baik lagi ke kamu, Bian?"

"Sudahlah, Abdi. Kenapa kamu ini selalu saja sibuk mengurus Maudya? Aku ini suaminya. Setiap rumah tangga pasti ada masa tegangnya. Dan kamu nggak akan ngerti gimana cinta Maudya yang bakalan buat hubungan kami kembali seperti semula!"

"What the fuck!" umpat Abdi, satu kali lagi memukul wajah Bian. Kali ini Bian sampai tersungkur menghantam dinding. "He's mine now! Berhenti ngomong yang nggak-nggak tentang Maudya lagi!" kecam Abdi, menekan setiap ucapannya.

Bian melepaskan napas tawa sumbang. "Apa?" Lengah, Abdi tersungkur sebab tendangan dari Bian. "Nggak akan ada yang bisa ngambil dia dari aku, termasuk kamu!" pekik Bian, menggelegar.

Tak tahan lagi, Antonio yang sedari tadi sibuk menghubungi beberapa petugas yang berwajib, akhirnya membekukan sendiri Bian dengan kemampuan medisnya. Antonio tahu, di mana titik lemahnya seorang manusia. Sehingga Bian dengan cepat tumbang, dan kini dalam cengkeraman Antonio.

"Saya sudah sangat muak lihat kamu! Bersyukurlah karena saya nggak akan sampai melenyapkan kamu!" desis Antonio dengan amarah yang membara.

Bian meringis merasa lehernya tak bisa digerakkan. Napasnya tertahan sebab sang ayah mertua memelintir tangannya ke belakang badan. Dia hanya bisa menghela napas satu-satu, tidak kuat menahan sakit.

"Pa, biar aku aja yang nahan dia. Papa-"

"Nggak! Kamu cari dulu Yuda. Papa nggak tahu di mana anak itu. Papa yakin, Bian udah lakuin sesuatu sama dia," sela Antonio, memberitahu tentang Yuda yang tak terlihat sama sekali.

Abdi baru ingat tentang laki-laki itu. Ya, sejak acara di mulai Abdi tidak melihat di mana keberadaan asisten terpercaya Maudya itu. Segera, Abdi menurut lantas melirik sana-sini hendak menebak di mana agaknya Yuda berada.

Baru saja akan melangkah, Abdi dikejutkan oleh kehadiran Yuda yang sudah babak belur.

"Astaga, Yuda!" pekiknya, segera menghampiri. "Kamu nggak apa-apa? Bian yang lakuin ini?"

Yuda meringis kala Abdi memeganginya. "Pak, saya baik-baik aja. Gimana sama Nyonya? Gimana sama acara ini, Pak?" tanya Yuda, harap-harap cemas.

"Kamu nggak usah mikirin itu lagi. Lebih baik kamu ke Rumah sakit sekarang. Saya panggilkan ambulans biar kamu bisa segera-"

"Nggak udah, Pak." Yuda menahan tangan Abdi yang hendak menghubungi seseorang. "Lebih baik Anda lihat keadaan Nyonya Maudya. Saya takut kalau terjadi apa-apa sama Nyonya, Pak."

"Yuda, Maudya baik-baik aja. Dia lagi sama ibunya sekarang. Kamu nggak usah khawatir. Lebih baik-"

"Dokter Sandriana yang nyelamatin saya, Pak. Kalau dia ada bersama kita, lantas siapa yang ....?"

Mendengar pengakuan Yuda, tiba-tiba saja membuat dada Abdi berdebar kencang. Dia menatap sang ayah yang ternyata ikut membuat mimik yang sama.

"Di, Yuda nggak baik-baik aja-"

"Maudya sama siapa, Ma?" potong Abdi tepat saat Sandriana berjalan mendekat ke arah mereka.

"Maudya sendiri. Katanya Maya ada sama kalian, mana dia?"

Tepat saat ucapan Sandriana terlontar, saat itu juga Abdi menarik langkahnya secepat mungkin berlari guna menghampiri Maudya. Lift terlalu menyebalkan untuk saat ini! Tak ada pilihan, Abdi berlari menapaki setiap anak tangga darurat dari lantai tujuh ke lantai tiga. Degup jantungnya kini tak lagi beraturan. Dia benar-benar panik sekarang.

Ya Tuhan, jaga Maudya satu kali ini saja. Setelah itu, dia akan berjanji akan menjaga Maudya hari ini dan seterusnya. Begitulah kira-kira doa yang terpanjat dalam hati Abdi.

***
Apa yang sudah direncanakan kemarin akhirnya berakhir sia-sia. Seluruh harapan Maudya untuk pamerannya telah pupus bersama dengan panggung yang kini terlihat berantakan.

Semua hal yang dia impikan melayang jauh bersamaan dengan lemahnya sang tubuh. Setiap inci dari bahagia kemarin sukses dipetik kasar hingga tak tersisa apa pun untuk memperindah sebuah harapan.

Maudya kini hanya bisa menelan pahit kenyataan. Mengutuk siapa pun tak akan mampu mengembalikan apa yang telah hilang darinya. Hingga jalan satu-satunya adalah menerima dengan ikhlas walau terpaksa.

"Bian dan Nyonya Maudya sudah resmi bercerai. Bian juga sedang menjalani proses hukum. Kami juga akan mengabari tentang kelanjutan tindak lanjutan yang diterima Maya, Pak. Kami akan secepatnya memberikan kabar baik pada kalian," ucap lelaki berdasi itu pada Antonio.

"Terimakasih. Saya akan memberikan semua masalah ini untuk kamu urus. Pastikan kalau mereka semua mendapatkan balasan yang setimpal," jawab Antonio.

"Baik, Pak. Kalau begitu kami permisi dulu. Selamat siang, Pak." Sosok laki-laki berdasi yang kini menghilang di tikungan lorong itu tidak lain adalah pengacara pribadi Antonio.

Entah hukuman apa yang akan didapati Maya dan Bian, yang pastinya Antonio ingin hukuman itu akan benar-benar setimpal dengan apa yang putrinya alami saat ini.

Sementara itu, Abdi tidak terlihat di mana pun sejak beberapa jam yang lalu. Entah apa yang kini terjadi pada perasaan Abdi setelah mengetahui tentang penjelasan dokter tentang keadaan Maudya.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang