Bab 67 End

329 2 0
                                    

Di ambang pintu ruangan tempat Maudya dirawat, Abdi bertemu dengan dua ayahnya yang tampaknya baru menemui Maudya. Tanpa kata, hanya mata yang berbicara. Ketiganya sama-sama diam namun saling meyakinkan lewat sorot mata yang terpancar.

Hingga masuklah kini tubuh jangkung Abdi dilahap ruangan dingin tempat di mana Maudya tengah berbaring. Menatap perempuan itu mendadak saja membuatnya ingin mengumpat pada diri. Dia tidak rela dan merasa tidak adil. Kenapa justru Maudya yang menanggung semuanya sedangkan dia hanya berdiam diri saja.

Kehadiran Abdi disadari oleh Maudya. Matanya segera dibuka dan tentu saja tebakan hatinya benar yang mengatakan kalau yang datang kali ini adalah sosok yang dia nanti.

Ya, sejak dia tersadar, hanya Abdi yang ingin dia lihat lebih dulu. Dia ingin memastikan apakah laki-laki yang dia cintai itu tetap baik-baik saja atau justru sedang terpuruk.

Senyuman Abdi langsung menyapa. Raut wajah itu dipaksa tetap baik-baik saja. Abdi tidak ingin membuat Maudya merasa kalau dia hendak meminta sebuah kata semangat walau sebenarnya itulah yang diharapkan Abdi.

"Udah sadar? Ada yang sakit? Kamu haus? Lapar? Bilang aja apa yang buat kamu nggak nyaman. Aku bakal usahain buat obatin semuanya," papar Abdi tak memberi jeda pada pertanyaannya.

Alih-alih merasa dirinya sedang menjalani musibah yang berat, Maudya jutsru menyadari bagaimana kini luka sedang menyerang laki-laki tinggi di sebelahnya ini.

Cinta Abdi memang tidak pernah diragukan lagi. Setulus itu dia meletakkan kasih sayang pada Maudya tanpa syarat apa pun.

Maudya menyelipkan tangannya pada telapak tangan Abdi yang sejak tadi tampak mengepal. Tatap hangat Maudya ditangkap jelas oleh Abdi hingga membuatnya meneguk ludah membebaskan sesuatu yang mencekik ditenggorokan.

"Everything is alright," ucap Maudya. "Aku nggak papa, Di. Aku udah tahu semuanya dari Mama. Nggak usah nutupin apa-apa lagi dari aku. Dan nggak usah ngerasa kalau kamu salah. Aku sama sekali nggak nganggap kalau masalah yang aku hadapi ini adalah bentuk kegagalan kamu. Yang sebenarnya, kamu nggak seharusnya dibawa-bawa sama masalah ini," lanjutnya menenangkan.

Diluar prediksi Abdi. Dia pikir Maudya akan bersikap emosional hingga tak ingin menemuinya. Ternyata asumsinya salah. Perempuan itu terlampau bijaksana seperti dugaannya.

"Maaf ... aku harusnya bias buat kamu lebih bahagia. Tapi ...."

Abdi menelan kembali kata-katanya kala Maudya hendak duduk. Sigap, Abdi membantu sosok jelita berbungkus baju khas Rumah sakit itu untuk bisa duduk bersandar pada brankar yang sudah diset.

"Apaan sih? Kok ngomongnya gitu? Emang kamu pikir aku bakalan nyalahin kamu. Bakalan marah-marah, terus nggak mau ketemu sama siapa pun?" tangkas Maudya menebak tepat sasaran isi kepala Abdi. Tangan Maudya menarik tangan Abdi mengajak pria itu duduk di atas brankar di dekatnya. "Ayolah, Di. Aku bukan anak kecil atau cewek-cewek yang baru puber. Aku bisa memahami situasi ini dengan kepala bijak. Nggak mungkin aku bisa jatuhin semua kesalahan ini sama kamu."

"Kamu beneran nggak marah? Kamu nggak nyalahin aku?" tanya Abdi. Sorot matanya satu jurus menatap Maudya.

Senyum manis wanita itu terbentuk. Dia menggeleng pelan lalu menjawab, "Kenapa aku marah sama orang yang udah lindungin aku? Malah aku yang harusnya ngerasa bersalah, karena nggak bisa jaga calon anggota baru kita. Dia ninggalin kita bahkan sebelum kita tahu namanya."

Tak tahan, Abdi pun segera melayangkan pelukan yang mana dirinyalah yang lebih membutuhkan hal itu. Di dalam dekap hangat tersebut, Abdi punya kesempatan untuk menumpahkan segala sesak dalam dadanya. Dia punya waktu untuk menenangkan hati yang hancur entah retak di mana.

"Makasih udah kuat. Aku nggak tahu bisa apa aku tanpa kamu ...." Suara parau itu membuat pengakuan.

Maudya ikut menahan tangis. Dia mengangguk-angguk dalam pelukan Abdi. "Makasih udah mau nemanin aku sampai saat ini, Di. Aku baru sadar ternyata aku dicintai besar-besaran sama orang yang tampan kayak kamu. Harusnya dari awal aku menyadari ini."

Abdi perlahan menarik diri. "Jadi kalau aku nggak tampan, kamu nggak akan sadar sampai kapan pun?" Mata Abdi sedikit menyipit.

Maudya mengatupkan bibirnya seketika. Lantas senyum yang menjalar hingga mata itu terukir. "Nggak, Di. Tampan kamu ini bonus. Yang buat aku sadar itu karena sikap kamu. Cinta kamu nggak ada apa-apanya dari apa pun. Itu yang buat aku sadar telah dicintai sama kamu," tutur Maudya memberi penjelasan.

"Oh ya?" Laki-laki itu berniat mengajak Maudya hilang sejenak dari kesedihan.

"Iya. Beneran!" Maudya mengangkat tangannya membentuk dua jari. "Nggak bohong!"

Abdi merebut tangan yang terangkat lantas mengecup punggung tangannya. "Jangan anggap aku orang lain lagi, Maudy. Anggap aku sebagai sosok yang bisa ngilangin semua suka dukamu. Aku nggak mau jadi orang yang hanya dapat kabar-kabar burung alih-alih dari kamu langsung."

Maudya itu memegang tangan Abdi. "Tapi kamu kakak aku. Emang boleh?"

Abdi segera melepaskan tatap tajam penuh dengan ancaman. "Siapa bilang kau kakak kamu? Kamu aja yang jadi adik, aku nggak mau jadi kakak!" tekannya.

Maudya mengulum senyum. "Tapi, 'kan emang benar. Kamu kakak aku adik. Apa salahnya?"

"Maudy!" tegur Abdi. Yang bersangkutan hanya mengangkat kedua alisnya. "Mana ada seorang kakak yang ungkapin cinta sama adiknya. Kamu ngawur aja!"

"Bagi aku kamu tetap kakak kalau masih kayak gitu. Sekali kakak tetap kakak, titik!"

Deg!

Mendadak saja degup jantungnya memompa cepat, manakala Abdi dengan gerakan cepat membungkam mulutnya. Sialnya, alih-alih berontak, Maudya justru membisu, bergeming, tak menyangka kalau akhirnya dia bisa merasakan hangatnya bibir Abdi yang kini mengecupnya.

Beberapa detik, dia membeku. Dia tak pernah membayangkan akan merasakan ini. Namun, beberapa detik berikutnya, kala Abdi menangkap bola mata Maudya perlahan menutup, saat itu pula Maudya mendapatkan kecupan yang kian bersemangat.

Tangan Abdi terlepas dari genggamannya, terangkat ke atas menggenggam dua rahangnya guna membuat posisi yang nyaman untuk Abdi. Saat itu pula, tangan Maudya melingkar di caruk leher Abdi guna menikmati permainan yang dipimpin sosok tampan di depannya.

***
Ternyata, sejauh apa pun seseorang melangkah untuk mencari letak kebahagiaan, tetap orang-orang terdekat yang bisa membuat kenyamanan itu ada.

Bahagia yang dicari tak selamanya ada pada orang yang jauh. Ada kesempatan orang-orang terdekatlah yang justru memberikan sebuah bahagia yang tengah dicari.

Cintanya Abdi ternyata sudah tidak terhalang status. Dia berhasil membuat dirinya ditempatkan ditempat yang seharusnya. Dia berhasil meluluhkan sosok cinta yang mulanya tiada menaruh harapan. Dan dia akhirnya berhasil membuat kedua orangtuanya yakin bahwa cinta yang mereka anggap tulus itu memang ada.

Hingga akhirnya, hubungan yang baru telah dibuka dengan kisah yang baru. Cinta Abdi akan diperlihatkan mulai hari ini, di mana dia dengan lantang mengucapakan kalimat akad dan siap menjadi pengganti untuk Antonio dan tentunya untuk Bian.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang