Bab 17

81 1 0
                                    

Langkah Bian berangsur melambat usai sepasang matanya menangkap kehadiran Maudya yang sudah terlelap bertumpu pada meja makan. Dua iris meta legam itu memindai setiap sentuhan yang dilakukan Maudya di atas meja. Semuanya tampak istimewa dan sempurna.

Refleks tangannya terangkat guna melirik arloji untuk memastikan sang waktu sudah menemui di titik mana. Helaan napas terdengar, usai Bian menyadari kalau dia terlambat dua jam. Hari jadi pernikahannya telah selesai satu jam lalu.

Dengan lembut, kedua bahu sang istri di sentuh upaya membangunkan. Gerakan kecil tersebut tentu merebut kelengahan Maudya hingga kesadaran pun menghampiri. "Mas?"

"Hm ... kenapa tidur di sini?" sahut Bian.

Maudya menatap jam dinding dan menyadari kalau perayaan yang hendak dia rayakan telah usai. Raut wajah kecewa terukir jelas, yang membuat Bian jadi merasa bersalah.

"Hari jadinya udah lewat," kata Maudya memaksakan tersenyum.

"Hey ... kenapa kecewa gitu?" Bian menarik satu kursi kini duduk di dekat sang istri. "Maafin aku udah telat. Aku juga udah usahain buat pulang cepat. Tapi ya gitu ... tapi, Sayang, nggak ada alasan kamu ngerasa kecewa gini. Perayaan ini bukan cuma satu kali satu tahun, tapi setiap hari. Semua hari spesial buat aku selama masih ada kamu. Jadi jangan pikir kalau apa yang kamu siapin ini sia-sia. Kita bisa rayain hari ini, besok, luas, atau selamanya."

Seketika itu senyum tulus walau masih samar terbit dari bibir Maudya. Tatap hangat tertuju satu jurus pada wajah tampan suaminya. Tak bisa menahan, Maudya menangkap dua rahang tegas milik sang suami. "Nggak papa, Mas. Aku nggak akan protesin apa-apa kok. Kamu benar, setiap hari sama kamu itu adalah hari spesial."

Giliran Bian menangkap dua tangan hangat Maudya di wajahnya, lalu menyerang sang istri dengan senyuman penuh arti. Hingga dua detik berikutnya, Maudya menyadari sesuatu yang baru dipergelangan tangan suaminya. Kerutan dahinya tercetak dalam, seolah tidak asing dengan arloji yang menarik perhatiannya itu.

"Mas, kapan kamu beli jam tangan baru?" tanya Maudya hendak melepas rasa penasaran.

"Oh?" Bian terkekeh kering sambil melirik lagi tangannya. "Belum lama. Kemarin atau pagi tadi ya? Lupa, Sayang. Biasalah, karena sibuk jadi nggak begitu diingat-ingat," kilahnya, lagi-lagi mengarang cerita.

"Oh iya?" Maudya kembali mengingat tentang kejadian di toko beberapa jam lalu. Dia tidak salah, arloji ini adalah barang yang pertama yang Maudya pinta pada si petugas sebelum disabotase oleh perempuan tidak jelas. "Di mana kamu beli? Soalnya aku juga mau hadiahin kamu jam yang itu, tapi yang versi itu udah habis," katanya memang kenyataannya.

"Euhm ... toko biasa. Tempat kamu membeli beberapa barang buat aku. Aku ketemu di sana."

"Yah ... jadi aku yang telat ya? Sebelum aku beli yang versi lain, aku sebenarnya udah ketemu sama versi ini, tapi direbut gitu aja sama perempuan yang nggak di kenal."

Bian berjengit samar, entah kenapa tiba-tiba ingat pada Maya. Apa mungkin ...

Perempuan yang maksud Maudya, adalah Maya?

"Oh ya?" Mata Bian beralih pada makanan di atas meja. "Wauu ... amazing. Kamu yang masak?"

"Di bantu sama mas Abdi," jawab Maudya jujur, tidak menyadari pengalihan Bian agar tak membahasnya lagi.

Bian merasa aneh saat sang istri menyebut nama laki-laki lain dengan embel-embel "mas". Setahu Bian, Maudya itu anak tunggal bahkan tidak punya sepupu atau kerabat yang cukup dekat di sebut sebagai "mas" olehnya. "Mas?"

Maudya ikut bangun untuk menyiapkannya makanan. "Oh iya, aku belum cerita ya? Itu lho, Mas. Abdi, teman masa kecil aku, diangkat sama mama papa jadi kakak laki-laki aku. Jadi ya gitu. Aku manggilnya mas. Kata papa, biar lebih sopan," jelasnya lalu menyodorkan satu suap spaghetti.

Sambil mengangguk Bian menerima suapan mie bersaus tersebut. Dia mengecap sebentar sambil menatap mata sang istri yang menunggu jawaban atas rasanya. "Enak. Dia pintar masak juga rupanya?"

"Selain pinter di bidang pendidikan, dia juga memang jago masak, Mas. Papa sama Mama suka sama sikap intelek serta sifat mandirinya mas Abdi," puji Maudya dengan senyuman mengembang tampak bangga.

Tiba-tiba Bian mendengus. Sisa makanan di mulutnya di kunyah malas, sambil di sambut raut wajah yang kini tampak jengkel. Maudya jadi cemas, takut kalau ucapannya lagi-lagi membuat sang suami tersinggung.

"Emang benar ya, mau usaha sebesar apa pun akan tetap sia-sia kalau orang yang diinginkan bukan kita," sindir Bian.

Kerutan yang cukup dalam tercipta di kening Maudya. "Apa maksudnya, Mas?"

"Ya ini. Siapa kamu bilang tadi? Adi? Abi? Adbi? Terserah apalah itu. Dia gampang banget masuk ke dalam hati orangtua kamu. Bahkan di angkat jadi anak pula. Tapi lihat aku? Aku jadi menantu udah hampir tiga tahun, tapi cara pandangnya aja masih kayak nggak suka. Banyak keluhan lagi. Ini itu salah terus di mata mereka. Mungkin emang benar kalau yang pantas jadi menantu mereka itu si Adi Adi itu. Bukannya aku!"

"Mas buk-Mas tunggu!" Sia-sia Maudya hendak menjelaskan, yang diajak berbincang sudah lebih dulu pergi begitu unek-unek dalam dadanya tersampaikan.

Maudya jadi merasa bersalah lagi. Tapi dia juga bingung, kenapa Bian sekarang banyak tersinggungnya bahkan untuk hal-hal yang sepele? Seolah-olah Maudya memang sengaja membuat suaminya itu hendak cemburu.

Sebenarnya bagi Maudya sendiri ini sudah cukup 'keterlaluan'. Dalam konteks apa pun, Bian itu adalah sosok laki-laki dewasa yang punya pola pikir yang produktif. Harusnya untuk hal-hal kecil seperti ini bukan lagi menjadi suatu masalah yang mengharuskan dia bersikap kekanak-kanakan seperti itu. Mungkin bisa dimaklumi oleh Maudya jika hanya sesekali, tapi jika terus-menerus seperti ini dia juga lama-lama bisa gerah.

Tadinya, sosok jelita yang masih berbalut dres hitam itu ingin berbicara, menegaskan semua yang ada di kepalanya. Akan tetapi, tubuh jangkung suaminya sudah terlihat lelap di atas ranjang bahkan tidak ada tanda-tanda Bian membersihkan diri.

Napas berat keluar dari bibirnya.

Maudya berjalan, mendekati. Dia mengamati tubuh suaminya yang tertidur cukup lamat. Masih belum bisa dia terima, kala melihat lagi jam tangan yang dikenakan Bian, kalau bukan dia yang mendapatkan serta memberikan itu sebagai hadiah. Tapi mau bagaimana lagi? Bian memang sesuka itu hingga lebih dulu merebutnya dari pajangan toko.

Dia pun beralih membersihkan jas serta kaos kaki yang berserakan. Kemudian memadamkan lampu, serta menarik gorden tebal untuk menutup jendela yang masih dilindungi tirai putih tipis.

Lagi, helaan napas berat itu mengudara, kala matanya menangkap mobil Bian masih parkir di teras alih-alih di garasi. Dia kembali menatap sang suami, bertanya-tanya, apakah Bian memang se lelah itu akhir-akhir ini?

Mengalah, lagi. Ya, itulah yang kerap di lakukan Maudya demi menjaga utuhnya sebuah pernikahan. Baginya, status yang dia sandang adalah sebuah amanah yang harus tetap dijaga.

Dia turun, masuk ke mobil, hendak memasukkan kendaraan roda empat itu ke tempatnya. Namun, gerakan Maudya terhenti saat mendapati paper bag mini berwarna merah muda di kursi penumpang jok depan. Tangannya segera meraih, serta melihat apa kira-kira isinya.

Sial! Maudya jadi kesemsem sendiri, berpikir kalau tas kecil itu berisikan hadiah sang suami untuknya. Apa Bian memang sengaja melakukan hal tadi agar membuatnya terkesan dengan kejutan ini?

Hitungan detik saja, asumsi itu menguap, lengkungan di dua sudut bibirnya memudar. Alih-alih hadiah, Maudya justru menemukan kotak jam tangan, sebuah note merah muda, serta aroma kopi yang menguar menusuk indera penciumannya.

"Have a nice day, Bra."

Jangan lupa, di ujung kalimat tersebut, ada emoticon love-love yang diarsir menggunakan tinta merah yang sama.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang