Bab 33

56 0 0
                                    

Beruntung orangtuanya menetap di luar kota untuk beberapa hari, jadi Maudya tidak perlu banyak-banyak berbohong tentang di mana dia seharian penuh kemarin. Mengingat dia mengatakan kalau sang suami juga sedang dalam perjalanan kantor ke luar negeri, pasti banyak tanya dari dua insan tersebut.

Di sinilah Maudya saat ini. Di dalam Rumah sakit milik ayahnya yang diberi nama yang sama dengannya. Setelah tahu di mana kamar Abdi, segera kakinya melangkah panjang, tak ingin membuat Abdi berlama-lama tanpa seseorang kerabat yang menjaga.

Begitu pintu kamar di buka, Maudya langsung disuguhkan potret Abdi yang terlelap di brankar. Dia melirik jarum jam yang rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ya, mana mungkin dia bisa sampai dengan cepat, sedang dia berada di Paris.

Lagi-lagi, Maudya dibuat merasa bersalah karena tampak tak peduli pada pria baik itu. Padahal dirinya selalu mendapatkan bantuan serta perlakuan baik dari Abdi walau lelaki uy sendiri juga tengah lelah-lekahnya.

Maudya mengamati Abdi yang tertidur dengan perasaan yang kian asing. Rasanya kemarin dia bisa bersikap gamblang tanpa ada rasa segan atau apa, tapi kenapa kini untuk bercanda dengan Abdi saja dia sungkan? Biasanya dia bisa mendekat, ayu menyentuh Abdi guna mengusik ketenangan pria itu.

"Udah belum natapnya?"

"Uh?" Maudya terperanjat pelan. Tak sadar kakinya mundur satu langkah saat menyadari kalau Abdi rupanya tersadar.

"Kamu ngapain cuma bengong? Kayak aku udah mati aja," ujar Abdi lagi. Dia berusaha bangun lalu duduk di ranjang.

"M-Mas tahu aku datang?" tanyanya, gugup.

"Tahulah."

"Kok bisa? Kan tidur tadi."

Abdi menatap wadah infus yang sudah hampir habis. Dia lantas beranjak dari tempat. "Wangi kamu itu ngalahin bau obat di ruangan ini. Jadi aku tahu," balas Abdi.

Maudya jadi mengangguk samar. "Mau ke mana? Emang udah bisa jalan sendiri?"

"Hei! Kamu pikir aku kena stroke sampe nggak bisa jalan?"

Perempuan itu menaikkan sudut bibirnya, kesal. "Kan cuma nanya. Sensi banget emang!"

Abdi melengkungkan dua sudut bibirnya. Usai mengganti wadah infus, dia kembali menatap Maudya. Segera Abdi mempersilakan Maudya duduk di kursi yang sudah dia sediakan sejak pagi tadi. Sayang, sosok yang ditunggu rupanya datang malam-malam.

"Kamu dari mana aja? Padahal aku tumbang pagi-pagi lho. Kamu telat banget datangnya. Kayak kobaran api yang udah tinggal asap. Kamu datang udah kayak sia-sia," ungkapnya sambil ikut duduk di single sofa.

"Iya-iya, maaf. Mas, jangan bilang-bilang sama mama papa ya? Sebenarnya kemarin aku terbang ke Paris," aku Maudya pada akhirnya.

"Tiba-tiba? Kok nggak ngabarin siapa-siapa? Kamu sama siapa ke sana?" Abdi jadi penasaran.

"Tadinya aku mau kasih perhitungan sama orang-orang yang berniat nusuk aku dari belakang. Eh, nggak tahunya aku yang dapat kejutan."

Wajah Abdi tampak bertanya-tanya atas apa yang dia dengar dari Maudya. Ada dua pertanyaan di dalam jawaban Maudya tadi. Memberi perhitungan? Kejutan?

"Maksudnya?"

Perempuan yang duduk di depan Abdi itu pun mulai menjelaskan. Selama Maudya bercerita, ada banyak tanya-tanya dalam kepala Abdi tentang Bian juga Maya. Berbeda dengan Maudya, Abdi justru tidak menganggap kalau semua yang dilakukan dua orang itu adalah sebuah kebaikan. Justru sebaliknya, Abdi berpikir kalau semua ini seperti percikan api yang hendak membakar Maudya.

"Ternyata kamu benar, Mas. Menilai orang dari satu sudut pandang emang nggak dianjurin banget. Lihat aja, aku jadi malu dua kali di depan Mas Bian sama Maya," ucap Maudya tentang perasaannya.

"Kamu udah selidiki semuanya?" interogasi Abdi.

Dengan keyakinan yang masih lima puluh, lima puluh, Maudya mengangguk. Dia mencoba mengingat-ingat lagi, sejuah apa tadi dia mencari tahu siasat dari setiap hal yang dia dapatkan waktu di Paris. "Udah kok."

Sosok tampan di depannya itu segera menyugar rambutnya kasar. Melihat bagaimana Maudya ragu mengatakan kalau dia sudah menyelidiki segalanya, membuat Abdi jadi gerah sendiri.

"Maudy, bukannya udah dijelasin sama kamu, buat nggak terlalu mengedepankan cara pandang yang gegabah. Ayolah, jangan jadi kayak orang awam gini. Di mana Maudya yang dulu?"

"Maksud kamu apaan sih, Mas? Aku ngelakuin sesuatu yang kalian mau. Kamu bilang jangan terlalu open minded sampe lupa sama hal-hal kritis tentang apa pun itu. Saat aku udah lakuin hal itu, kamu malah nggak terima. Mau kamu apa sih, Mas? Lagi pula, aku juga udah nggak nemuin hal-hal janggal lagi tentang Mas Bian. Jadi, ya udahlah. Bukan aku yang sebenarnya kehilangan diriku, tapi kalian yang seolah-olah menciptakan Maudya yang baru!" ketus perempuan itu, mendadak geram.

"Maudy, kamu masih terlalu awam untuk itu. Kalau kecurigaan kamu diawal emang udah berasal dari hati kamu paling dalam, seharusnya kalimat-kalimat yang aku lontarkan itu jadi bahan pertimbangan saja buat kamu. Bukannya malah ditelan mentah-mentah!"

Giliran Maudya yang mengerutkan dahi. "Terus, mau kamu aku kayak gimana, Mas? Aku harus terus curiga sama suami aku tapi di sisi lainnya juga aku harus menganggap dia seorang suami yang baik karena sudut pandangku yang salah. Aku malah jadi bingung karena kamu, Mas!"

Abdi beranjak bangun. Dia meraih iPad di atas nakas, lantas menggulir beberapa hal yang hendak dia tunjukkan pada Maudya. "Kamu udah tahu tentang ini?" tanyanya seraya menyodorkan tampilan layar iPad di atas meja.

[Amazing! Setelah menjadi pion untuk brand Kaeshya, kini Maya Dayana kembali membuat nama Maudya Masesa kembali naik melalui hasil desainnya yang baru saja di rilis di Paris dua hari lalu.]

"Kamu udah tahu tentang ini?" tanya Abdi. Bagaimana bisa dia tetap tenang, kala artikel itu terus-menerus mengusik kepalanya. Dia benar-benar akan menjadi saksi mata, jika sekiranya ada yang mengklaim kalau busana yang dikenakan Fristy dan Gilbert itu bukanlah hasil rancangan Maudya secara tunggal.

Astaga! Sungguh, kali ini Maudya pun jadi aur-auran tentang gaya pikirnya. Mendapati artikel yang beredar luas yang ditulis oleh wartawan resmi di Paris, lagi-lagi membuatnya serasa jadi orang gila.

Bagaimana bisa Maya mengklaim kalau busana yang digunakan sang sahabat adakah hasil ide Maya. Sungguh berbanding terbalik dengan apa yang dia dapati dari bibir wanita itu. Maya bilang hasil desainnya yang terbaik. Tapi bukannya harusnya mamanya yang ditulis di sana alih-alih Maya?

"Kamu udah pastikan ada hubungan apa Maya sama Bian?" tanya Abdi lagi. Dia akan benar-benar membuat Maudya kembali tegas seperti dulu.

Kepala perempuan itu terangkat. "Mas ... hubungan Mas Bian sama Maya cuma sebatas teman, nggak lebih."

"Jadi kamu masih berpikir kalau laki-laki sama perempuan nggak bisa saling suka? Kata teman cuma pengalihan, Maudy. Yang sebenarnya terjadi, mereka ada hubungan lain lebih dari itu."

"Jangan membuat pernyataan yang tidak mendasar, Mas. Teman tetap bisa jadi teman. Kenapa kita harus jauh-jauh mencari sebuah fakta, kalau kita saja sudah bisa dijadikan sebuah jawaban kalau teman bisa tetap jadi teman."

"Kamu yang nganggap kita ini cuma teman, Maudy. Tapi apa kamu pernah tanya apa yang aku rasakan?"

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang