Bab 14

90 1 0
                                    

Spaghetti saus aglio e olio mix steak buatan Abdi akhirnya selesai. Dia segera mengemas ke dalam wadah agar lebih mudah di bawa pulang oleh Maudya. Dalam geraknya yang tengah memasukkan makanan, Abdi sekilas melirik arlojinya yang mana waktu kini menunjukkan pukul lima sore. Ternyata seharian sudah dia menemani Maudya. Bahkan Abdi jadi lupa mandi hingga merasa tubuhnya sedikit lengket akibat keringat.

"Maudy, masih lama nggak? Aku mandi dulu ya?" teriak Abdi. Perempuan itu sedang di dalam kamarnya yang memang terletak di lantai dasar.

"Iya, Mas! Tinggalin aja! Biar aku yang masukin ke wadah!" balas Maudya ikut berteriak. Takut kalau Abdi tidak mendengar.

Perempuan itu akan terlambat menyiapkan kejutan. Itu kenapa dia memilih untuk mandi di rumah ini dan menyiapkan diri lebih dulu. Takut kalau sekiranya pas dijalan macet, akan kian banyak waktu yang terbuang dan kejutan yang dia siapkan akan gagal.

Sukses kini tubuh ideal ala orang Korea itu dibungkus dengan dres selutut berlengan panjang se siku. Warna hitam memang tidak di sarankan dikenakan oleh Maudya. Bukan apa-apa, karena dia akan terlihat bersinar mirip putri keraton.

Apalagi dengan hairstyle yang dibagian puncak kepala separuh diikat dan separuhnya di biarkan terurai. Poni kepanjangan itu ikut ambil peran. Maudya harusnya memotong poninya karena sudah berada tepat di tengah mata. Tapi biarlah dulu. Tidak ada waktu untuk potong memotong saat ini.

Serasa sudah cukup untuk membuat sang suami terkesan akan penampilannya, Maudya pun segera bergegas kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan yang hendak dia bawa. Tapi lihatlah betapa puasnya senyum itu tertarik kala matanya sudah mendapati tempat makanan yang akan dia bawa sudah rapi. Sudah diisi oleh Abdi dengan apik dan benar-benar sempurna.

Senyumannya tak berhenti mengembang.

Suara ketukan langkah kaki mengalihkan pandangannya, dan lantas mendapati Abdi yang sudah kembali rapi dan tentunya tampak bercahaya. Aura dokter dalam diri pria itu tersorot sempurna melihat betapa perfeksionisnya gaya pakaiannya.

Sibuk mengenakan arloji, baru Abdi menyadari kalau Maudya menatapnya sedari tadi. Dan begitu sepasang mata legamnya menatap tampilan Maudya, betapa terkesima dirinya. Sungguh, jika ada yang menobatkan Maudya sebagai perempuan tercantik di dunia, maka Abdi tidak akan menyangkal.

Apa karena Maudya juga persis seperti tipe perempuan ideal Abdi?

"Makasih ya, Mas Abdiiii," ucap Maudya gemas.

"Sama-sama. Gimana mau langsung pulang?"

"Nggak dulu!" Maudya melirik jam tangannya. "Kita cari kado dulu yang cocok untuk Mas Bian. Temani sebentar ya, Mas?" pinta Maudya memohon.

"Malas! Kamu nggak tahu ini udah mulai malam? Kamu cari kado bakal dapatnya tahun depan! Udah, nggak usah kado-kadoan lagi. Kalau emang mau, pergi sendiri. Kaki aku belum sembuh ini," tukas Abdi membalas. Dia menolak.

"Serius! Cuma bentaran doang. Kita cuma cari jam tangan aja. Habis itu Mas antar aku pulang. Beneran, cuma itu doang!" Maudya mengangkat tangan dengan jari membentuk peace.

"Cuma beli langsung pulang!"

"Sip!" Maudya mengangguk mantap.

***
Maudya memutuskan untuk membeli arloji baru sebagai kado untuk Bian. Istrinya itu tahu bagaimana sukanya Bian mengoleksi jam tangan hanya saja yang satu merek.

"Coba yang itu, Mbak," pinta Maudya pada si petugas.

Kala satu kotak arloji hitam itu mendarat di depannya, entah dari mana datangnya orang asing yang merebut benda tersebut. Tentu saja Maudya menoleh cepat, bukannya tidak terima, dia hanya sekedar ingin tahu siapa yang merebut hasil permintaannya.

"Saya ambil yang ini, Mbak." Orang tadi menyodorkan lalu tersenyum ramah. "Oh maaf, apa saya baru saja merebut milik Anda?"

Maudya tertawa kering, garing. "Nggak, nggak, Mbak. Ambil aja. Saya juga baru liat-liat kok," sahutnya mengalah.

Sosok perempuan di sana lantas mengangguk. Dari ekor mata, perempuan berbusana ketat yang seolah menyiksa bagian-bagian tertentunya yang merasa sesak itu, melirik Maudya dengan senyum miring yang Maudya tidak ketahui.

Siapa sangka, sosok yang merebut arloji pilihannya itu adalah Maya. Hanya Maudya yang tidak mengenal siapa sosok itu. Tapi tidak dengan Maya. Nama Maudya itu sudah meroket walau potretnya hanya beberapa. Tapi bukan berarti Maya tidak pernah melihat potret perempuan lebih kecil darinya ini.

"Kalau kamu mau, aku bisa balikin kok. Siapa tahu emang udah srek di hati kamu," tutur Maya dengan senyum ramah.

Maudya tersenyum kecil. "Itu sebenarnya buat suami saya, Mbak. Beliau itu suka sekali sama merek jam yang ini," ceritanya dengan tatap membayangkan sang suami.

"Oh ya? Kalau gitu kita sama." Maya kini bisa mendapatkan tatapan Maudya. "Kekasih gelap saya juga suka sama jam yang ini. Dia pasti senang kalau saya kasih sebagai hadiah pernikahannya."

Tentu saja kerutan dahi di wajah Maudya tercetak. Dia tidak berpikir akan bertemu perempuan dengan perkataan konyol seperti saat ini. Karena tidak saling mengenal, Maudya jadi mengurung niat untuk mengkritisi. Walau sebenarnya gatal sekali lidahnya untuk mengingatkan perempuan ini, jika sekiranya apa yang dia katakan adalah fakta.

"O-oh, ya?" Maudya hanya bisa mengangguk, hendak abai. Akan tetapi, Maya terlampau jengkel pada Maudya entah sebab apa.

"Aku boleh bilang sesuatu?" tutur Maya.

Maudya menoleh lagi saat sedang sibuk-sibuknya memilih jam yang lain. Sebenarnya warna serta model yang tadi sudah sangat cocok untuk suaminya. Tapi mau bagaimana lagi?

"Uh? Boleh kok, Mbak."

"Jaga suami kamu. Zaman sekarang laki-laki nggak bisa hidup cuma sama satu perempuan. Jadi jika sekiranya-"

"Yang ini aja, Mbak," potong Maudya sambil menunjuk jam tangan pilihannya pada si petugas. Maya jadi keki karena tidak ditanggapi oleh Maudya. "Saya nggak butuh omongan seperti itu, Mbak. Suami saya berbeda dengan pria lain. Jangan samakan dia dengan orang yang mungkin sealiran dengan Anda."

Embusan napas tawa segera keluar dari mulut Maya. "Sorry to say. But ... Itu faktanya. Jangan salahkan saya kalau sekiranya nanti kamu tidur tanpa suami lagi."

Alih-alih Maya, Maudya yang justru dibuat keki. Dari mana datangnya perempuan tidak jelas ini? Ucapan serta gayanya sama. Sama-sama tidak jelas dan banyak gayanya.

"Ini, Mbak. Silakan," ujar si petugas. Hal yang membuat Maudya jadi cepat-cepat ingin lepas dari Maya.

Usai membayar, dia pun segera pergi sebelum sempat satu kali lagi mengamati wajah Maya yang akan Maudya ingat sampai kekesalan di hatinya memudar. Seenaknya saja mengatakan kalau suami akan segera berpindah hati!

Di sisi yang lain, embusan napas Abdi kian membesar. Salah memang dia percaya pada wanita yang katanya akan berbelanja sebentar. Itu memang keputusan yang kurang bijaksana! Lihat saja, katanya hanya menunggu paling tidak sepuluh menit, tapi kenyataannya, Abdi sudah menunggu lebih dari dua puluh menit.

Tak sabar, juga sebab langit jingga yang kian diganti gulita, Abdi hendak menyusul Maudya ke dalam toko. Namun, belum sempat membuka pintu mobil, matanya lebih dulu menangkap sosok yang dirasa familiar yang juga didukung oleh mobil si sosok tersebut yang Abdi kenal platnya. Itu mobil milik Maudya. Abdi sangat tahu itu!

Sosok pria di dekat mobil di depannya sana sedang berdiri bersandarkan mobil, sambil mengamati ponselnya. Demi memastikan lagi apa benar sosok tersebut adalah orang yang dia kenal, Abdi segera membuka browser mencari nama Bian di sana.

Ya, tebakannya tidak melesat. Walau tidak pernah berjumpa, sosok Bian memang kerap muncul di iklan sosial media. Itu kenapa Abdi kenal walau tak juga sempat bersua secara formal.

Antusias, Abdi segera membuka pintu mobil hendak menemui Bian. Dua detik berikutnya, kaki jenjang beralas sepatu pantofel itu pun terpaksa berhenti. Buru-buru Abdi masuk lagi, dan mengamati Bian dari dalam mobil yang saat ini tengah di datangi seorang perempuan yang sebelumnya Abdi tidak kenal.

Semuanya masih aman di mata Abdi, tapi tidak sesaat dia melihat perempuan berbusana ketat itu melayangkan pelukan serta kecupan di rahang suami temannya itu.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang