Bab 22

69 0 0
                                    

Fix!

Tubuh Abdi akan jadi bahan ukuran untuk busana yang akan dirancang Maudya. Begitu usai memilih desain yang mana yang akan dijahit, Maudya pun beralih meraih tape meter siap mengukur tubuh Abdi. "Diri yang tegak, Mas!"

Abdi jadi bingung. "Mau ngapain?"

"Makan kamu!" kelakarnya. Maudya mendekat segera mengeluarkan tangan Abdi yang tenggelam di dalam saku. "Ya mau ngukurlah. Emang bisa bikin busana tanpa ukuran orangnya? Bisa-bisa suami Fristy nggak pake baju nanti."

Abdi tidak lagi menjawab. Dia sudah lebih dulu dibuat deg-degan atas aksi Maudya yang memegangi tangannya guna simetris. Kian berdebar jantung lelaki itu, saat Maudya menyilangkan meteran dari belakang badannya hingga berhenti melingkar di dadanya. Aksi itu sudah seperti Maudya hendak memeluk tubuh padat Abdi.

Lelaki nan tampan pemilik klinik di negaranya sana, mendongakkan kepalanya penuh, cemas kalau dia justru terpesona lagi pada wajah Maudya. Abdi merasakan setiap sentuhan Maudya, hingga dia inisiatif menarik tali tirai bambu saat Maudya yang akan mengukur pinggangnya. Bukan apa-apa, kadang pikiran setiap manusia itu beda-beda. Bagaimana jika ada yang menggiring opini buruk tentangnya dan Maudya? Hal itulah yang jadi perhitungan bagi Abdi hingga memilih membuka penutup dinding kaca transparan bentuk akses mata menatap ke arah mereka.

"Done!" seru Maudya. Dia bangun lagi usai membungkuk sedikit untuk mengukur tinggi dari pinggang hingga ke pangkal kaki Abdi.

Abdi tampak seperti baru tenggelam dan kembali lega usai kepergian Maudya ke mejanya. Napasnya tertahan entah kerena apa.
"Udah, gitu aja nih?"

"Yap." Perempuan itu segera menoleh saat pertanyaan Abdi benar-benar sudah benar-benar masuk ke kepalanya. "Udah mau pergi? Buru-buru amat sih? Nanti kalau Mas pulang, yang ngantar aku pulang siapa? Lagian aku nggak ada teman ngobrol di sini. Di sini ya, beberapa menit lagi aja. Please ...."

"Lima menit aja!" tekan Abdi turut duduk di sofa yang tak jauh dari Maudya.

Perempuan itu mengembangkan senyumannya seketika. Mana peduli dia tentang ancaman Abdi yang katanya hanya menetap selama lima menit lagi. Maudya yakin, kalau Abdi akan tetap bersamanya beberapa jam ke depan. Maudya yakin itu!

"Gimana sama perayaan hari jadi kamu kemarin? Sukses?" tanya Abdi. Sebenarnya dia juga bingung mau berbicara tentang apa. Dia hanya tidak ingin keheningan ini menguasai mereka berdua yang ujung-ujungnya jadi canggung.

Mendengar itu Maudya jadi memikirkan lagi tentang kejadian malam kemarin. Sukses apanya? Sukses membuat hati kesal iya! Jangankan melihat beberapa aksinya yang sudah berupaya hebat, untuk memujinya atau sekadar mengucapakan untuk hari jadi itu saja tidak. Maudya segera menghilangkan rasa-rasa lelah yang lagi-lagi menguasai kepalanya. "Baik kok."

"Singkat banget, kayak usia nenek!" komentar Abdi. Mata Maudya seketika menyipit, tajam.

"Aku bilangin mama papa!"

Abdi jadi tertawa kecil. "Lagian, jawaban kamu kayak nggak niat banget. Kayak rugi aja bagi-bagi pengalaman."

"Udah ah! Lagian ngapain jadi bahas aku? Coba bahas Mas sesekali. Cerita ke aku, who is that girl? Orang indo or-"

"Gadis apaan? Ada-ada aja ya kalau ngegosip!" bantah Abdi secepatnya.

"Duh, nggak usah bohong deh sama aku. Mas lagi kepincut sama perempuan, 'kan? Nggak usah malu kali kalau emang lagi jatuh cinta. Kayak aku nggak pernah aja," goda Maudya tetap tak percaya kalau Abdi masih sendiri.

Abdi belum juga mau menjawab. Dia sibuk mengamati Maudya yang kini tengah sibuk melilitkan kain ke patung tanpa kepala di depannya. Lihatlah lihai dan lentiknya tangan cantik itu. Sesuatu yang sangat sulit untuk diabaikan, sebab setiap gerakannya entah kenapa seolah meninggal kesan yang mendalam.

Maudya melirik dari balik bahu, dan menyadari kalau laki-laki itu justru diam, melamun. "Oi! Malah melamun. Kebiasaan banget!".

Abdi segera mengerjap-erjap. "Nggak kok. Lagi mikirin sesuatu aja," kilahnya.

"Mikirin Mbak pacar ya? Huuuuu ...." Maudya tak akan berhenti menggoda. Dia yang justru antusias akan hubungan Abdi yang nyatanya hanya ada di dalam asumsinya.

"Kamu belum cerita tentang rencana hari jadi yang ada di catatan kamu. Segitu pentingnyakah acara itu?" Pembahasan kembali berubah. Abdi juga penasaran tentang resolusi impian Maudya tahun ini.

"Uem? Oh tentang itu?" Maudya menyelipkan jarum untuk mengaitkan sisi kain. "Impian banget itu, Mas. Bisa ngadain pameran yang semua isinya hasil-hasil rancangan aku dari tahun ke tahun hingga genap berdirinya lima tahun usia Maudya Butik."

"Oh gitu." Abdi manggut-manggut, akhirnya mengerti.

Kala Maudya sibuk dengan pekerjaan yang juga ditemani oleh sahabat kecilnya, ada sang suami yang baru saja usai dari olahraganya. Dia lagi-lagi terkapar, benar-benar puas akan tindakan Maya yang super cekatan. Setiap inchi tubuhnya rasanya ikut ber-hore-ria, seolah ingin mengatakan pada dunia bahwa mereka semua merasa bahagia.

"Keluar yuk? Kita makan." Suara Maya terdengar, mengalihkan kepala Bian. Dia mendapati Maya sudah rapi lagi dengan balutan dres merah ketat.

Bian bangun, lantas duduk di atas ranjang. "Oke. Sebentar ya, aku mandi dulu."

Bian benar-benar sudah kehilangan kendali akan dirinya. Sudah sejauh ini pun, dia masih enggan untuk menyudahi. Bagaimana bisa Bian tetap tenang, sedangkan dia sendiri tahu, secerdas apa istrinya. Bagaimana nanti jika Maudya tahu, kalau dia bermain curang di belakang?

Harusnya Bian sudah harus menyudahi. Apa itu alasannya, pernyataan ini sungguh sangat menyalahi aturan sebuah hubungan suci yang dia sandang.

**
Sial! Bian jadi buru-buru kembali ke kantor sebab panggilan dari Yuda yang mengatakan kalau ada Maudya di Butik. Dia ingat tentang pesannya pada sang istri yang akan pulang terlambat sebab kedatangan konsumen.

Kalau begini caranya, dia bisa ketahuan!

Yang terkena imbasnya bukan hanya Bian, tapi juga Maya. Mau tak mau, Maya ikut mengekori laki-laki itu untuk kembali ke kantor. Dia juga mendapatkan pesan dari Yuda, kalau kedatangan Maudya ke Butik juga ingin melihat perkembangan terbaru tentang hasil riset untuk pasar internasional.

Keduanya jadi bak orang yang dikejar-kejar. Begitu tiba di lobi kantor, Bian memberikan isyarat pada Maya untuk berjalan agak jauh darinya juga penuh hormat. Akan berbahaya jika banyak mata yang menyadari tentang interaksi mereka. Walau tidak suka, Maya tetap mau menurut.

Tibalah keduanya di lantai tiga, tempat di mana ruangan Bian dan Maudya yang bersampingan walau dengan jarak yang cukup lumayan. Bian sudah menyiapkan diri untuk menjawab setiap tanya Maudya padanya. Bahkan dia berlatih membuat raut wajah yang tampak tenang agar meyakinkan saat bertemu dengan Maudya nanti.

Bersamaan dengan langkah Bian yang tiba-tiba terhenti, kaki Maya juga ikut stop berjalan dan sontak mengamati Bian yang tiba-tiba tak melanjutkan langkahnya. Pandangannya terarah pada pandangan Bian yang menetap ke arah ruangan di depannya yang menampilkan dua sejoli yang tak Maya sangka.

Di dalam sana, di ruangan yang tengah mengambil atensi Bian, ada Abdi dan Maudya yang sedang berdiri berhadapan tanpa jarak. Abdi tak berniat apa-apa, dia hanya menuruti perintah Maudya yang hendak mengukur ulang lingkar dadanya. Itu kenapa, pose mereka jadi tampak ambigu di mana Bian, hingga pikiran buruk lantas menggebu dalam kepalanya.

Yang diperhatikan tak sengaja beralih tatap, yang justru mengajak sepasang matanya menangkap kehadiran Bian yang berdiri bergeming di depan ruangannya. Refleks, Maudya mendorong tubuh Abdi.

"Mas Bian!!"

Suara Maudya itu lantas membuat Abdi membalikkan badan, dan juga menemukan Bian yang berjalan cepat ke arahnya. Begitu membuka pintu ruangan, tak sungkan-sungkan Bian melayangkan pukulan keras tepat di wajah Abdi. Laki-laki itu mendesis.

"Dasar laki-laki bajingan!" umpat Bian kelewat marah.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang